PoV CahayaKurasa ada yang berubah dari Mas Adam beberapa hari ini. Sejak membawaku pulang dari rumah sakit setelah semalam dirawat inap karena kram perut, dia terlihat lebih pendiam. Dia juga tak berkomentar saat aku memilih tidur di kamar tamu karena aku memang masih belum ingin masuk ke dalam kamar kami, rasa trauma itu masih menghantuiku. Aku juga memilih tak banyak berinteraksi dengannya karena melihatnya selalu membuat perutku bergejolak mual.Pagi ini, setelah merasa sudah lebih segar, aku rencananya akan kembali bekerja ke butikku setelah beberapa hari kutinggalkan. Jika biasanya aku baru keluar kamar jika Mas Adam sudah berangkat untuk menghindari bertemu dengannya, maka pagi ini aku keluar lebih awal dari kamar tamu.“Nggak usah bikinin sarapan.” Suaranya terdengar dari belakangku saat aku sedang di dapur.Aku tak menoleh sama sekali, selain karena memang tak ingin melihat wajahnya, aku juga masih ingat apa yang diucapkannya pagi itu sebelum dia berangkat tugas.“Tak perlu m
“Mbak Aya sudah sehat?” Iin dan karyawanku menyambutku.“Maaf ya, belakangan ini aku kurang fokus dengan butik.”Kondisi kesehatan dan kondisi kehidupanku memang membuatku beberapa waktu belakangan mengabaikan butikku. Padahal seharusnya aku lebih giat lagi memajukan butik ini, mengingat ini adalah satu-satunya sumber penghasilanku nanti jika sudah berpisah dengan Mas Adam.“Kenapa etalase kosong gini, In?” tanyaku saat melihat beberapa etalase hanya terisi hanger, dan beberapa patung bahkan sudah tak ‘memakai baju’.“Beberapa hari ini butik ramai, Mbak. Banyak pelanggan baru. Kemarin ada rombongan karyawan dari perusahaan apa gitu pada nyari gaun di sini, katanya untuk dipakai di acara opening cabang baru kalau nggak salah.”Aku mengeryitkan kening.“Rombongan karyawan?”“Iya, Mbak. Mereka borong gaun-gaun kita, makanya etalase sampai kosong gitu.”“Fa ... ingat nggak kemarin pelanggan yang datang rame-rame itu dari PT apa?” Iin bertanya pada Syifa -salah satu rekannya, dengan sediki
Pria itu terlihat sibuk menelepon, dari penampilan dan barang-barang yang dibawanya, aku sudah bisa menebak jika dia akan kembali bertugas ke daerah-daerah tambang seperti biasanya. Entah di mana, karena aku tak berniat bertanya. Namun saat aku hendak masuk ke dalam kamar tamu, pria itu memanggil namaku.“Aya.”Aku menghentikan langkah, namun enggan menoleh karena tak ingin merasakan mual. Aku tau, mungkin baginya aku tak menghargainya, tapi aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin mencari kenyamanan agar tak merasa mual dan muntah yang akan membuat hariku menjadi tak bersemangat.“Aku akan ke luar kota selama 3 hari.”Aku mengangguk.“Pulanglah ke rumah ibumu untuk sementara, aku tak bisa menjagamu untuk beberapa hari ke depan.”“Nggak apa, Mas. Aku bisa sendiri. Hati-hati di jalan,” jawabku, lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.Aku tak bisa menjagamu? Apa dia merasa menjagaku selama ini? Bukan kamu, Mas! Bukan kamu yang menjagaku. Kamu tak pernah menjagaku! Dia yang menjagaku,
Dia masih berbicara beberapa kalimat sebelum akhirnya dia memanggil nama itu.“Ivan Nicholas.”Lalu sesaat kemudian lelaki itu sudah berdiri di sana, di samping Imelda, dengan ekspresi kebingungan. Aku tak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya karena aku memilih menunduk dan menatap riak-riak air di kolam renang. Masih terdengar hiruk pikuk di tengah pesta, namun aku memilih berdiri dan menjauh setelah sebelumnya pamit pada teman-temanku dan meminta mereka menyampaikan pada Imelda bahwa aku pamit duluan dengan alasan tak enak badan. Aku masih sempat melihat Ivan tengah mengobrol dengan orangtua Imelda sebelum aku berlalu dari sana.Aku menyusut mata, menyesali kenapa malam ini berada di sini dan memenuhi undangan Imelda. Karena harus menyaksikan hal yang membuat dadaku sesak. Harus kuakui, Ivan memang terlihat sangat cocok dengan Imelda, apalagi orang tua Imelda pun sepertinya sudah kenal baik dengannya. Dan poin pentingnya lagi, Ivan dan Imelda sama-sama masih single. Lalu aku? Aku h
“Van ... kamu nggak pingsan, kan?” tanyaku ketika melihat pria itu tak bergerak, bersandar ke belakang tetap dengan kepala terkulai.Dia menggeleng pelan.“Jangan bikin aku panik dong,” pintaku. “Kita ke dokter, ya,” lanjutku.Dia menggeleng.“Tapi kamu lemas gini, Van.”“Bentar lagi juga sembuh.”“Hah?”“Obatnya udah di depan mata.”“Hah?”“Aku kangen kamu.”Pipiku memanas, bukan hanya karena merasa tersanjung, tapi juga karena merasa malu pada supir taksi yang kini terlihat sedang tersenyum simpul dari pantulan spion kabin.“Adam tugas lagi?” tanyanya dengan mata terpejam.“Iya.”“Ke mana?”“Nggak tau.”Dia menarik napas, matanya masih terpejam.“Naif sekali kamu, Aya. Suamimu bukan sedang bertugas, tapi sedang liburan bareng tim work nya.”“Hah? Liburan? Bareng tim? Bareng Nindya?” Tanpa sadar aku bertanya.“Bareng tim, Aya. Bukan bareng Nindya, tapi juga termasuk Nindya.”Aku terdiam.“Kamu cemburu?”Aku masih terdiam.“Kamu cemburu pada dua pria sekaligus, Aya. Yang mana sebenarn
Ivan sudah tertidur saat aku kembali ke sofa, napasnya naik turun dengan teratur. Dengan gerakan perlahan kuangkat kepalanya untuk menyelipkan bantal di bawahnya. Namun pria itu menggeliat saat aku meletakkan bantal di bawah kepalanya. Matanya membuka, tepat di saat aku menunduk meletakkan bantal di sana. Dadaku berdesir menyadari jarak yang begitu dekat, aku bahkan bisa merasakan panasnya embusan napasnya.“Nginap di sini, ya. Temanin aku,” katanya dengan suara lemah.“Nggak bisa.”“Kalau aku mati gimana?”“Ck! Cuma demam gini udah mikirin mati. Udah makan belum?”“Belum,” jawabnya lemah.“Astaga! Kenapa tadi nggak ngomong. Udah minum obat pula! Mau makan apa aku pesen online aja.”“Mau makan masakan kamu.”“Ha? Ini udah malem.”“Ya udah nggak usah makan kalo gitu.”Aku mencebik kesal. Pria ini sepertinya sengaja mengerjaiku. Sayangnya, aku selalu terhipnotis olehnya, hingga tanpa sadar sudah berada di dapurnya, membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan untuk diolah.Dia sudah tert
“Lama nggak ketemu, kamu kangen nggak?”Aku tak menjawabnya, tapi justru balik bertanya. “Kenapa jadi sakit gini? Banyak kerjaan?”“Nggak kuat nahan kangen,” jawabnya.Aduh, hatiku meluap-luap oleh perasaan bahagia. Dia menatapku dengan mata redup.“Nikah yuk, Ay. Nggak sabaran liat kamu tinggal di sini.”Ck! Berlama-lama di sini bisa membuat jantungku copot karena kalimat-kalimat ajaib pria ini. Maka aku memilih berpamitan, meski dia masih terus menahanku. Dengan langkah tertatih dan mimik malas dia mengantarku ke depan pintu.“Udah pesan taksinya?”“Baru mau pesan.” Aku mengutak atik ponselku memesan taksi lewat applikasi online. Dia masih setia berdiri menungguku meski aku sudah menyuruhnya untuk masuk.Dan saat taksinya datang, dia kembali menunduk mendekatkan wajahnya di dekat perutku.“Baik-baik, ya. Jaga ibumu baik-baik,” bisiknya.Aku menelan ludah, entah perasaan apa yang mengusai hatiku kini. Haru, senang, bahagia dan sedih sekaligus.Lalu aku tak dapat lagi mengontrol dirik
Tunggu dulu! Kenapa aku jadi tidur di sofa? Bukannya sebelumnya aku yang tidur di lantai? Tapi kenapa kini posisi kami tertukar. Ivan menggeliat, kulihat keningnya berkilau oleh butir-butir keringat. Demamnya pasti sudah turun karena dia sudah mulai berkeringat. Aku turun dari sofa, berjalan ke arah dapur mengambil segelas air putih.Pria itu sudah duduk dengan senyum dan rambutnya yang acak-acakan ketika aku kembali.“Kenapa tidur di bawah?” tanyaku.“Nggak enak di atas terus, Ay. Sesekali di bawah dong.” Dia mengedipkan mata.Buru-buru kulempar bantal sofa ke arahnya, dan tepat mengenai kepalanya.“Otak isinya kotor mulu!”Dia tertawa.“Kasihan liat kamu meringkuk di bawah, Ay. Makanya kuangkat ke sofa.”“Lancang sekali kamu!”Dia terkekeh. “Nanti ajarin, ya, Ay.”“Ajarin apa?”“Posisi atas bawah.” Dia kembali tertawa, kali ini lebih nyaring. Lalu mengelak saat aku kembali melempar bantal ke arahnya.“Udah berapa cewek yang kamu modusin gini?”“Aku nggak pernah modusin cewek,” jawab
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber