“Mau ambil apa, Bu? Biar Aya yang ambilkan.”Ibu menggeleng, terus berusaha menggapai.“Bu, nanti ibu jatuh,” kataku.Tapi ibu bergeming, tetap tak menanggapiku. Hatiku meringis pedih.“Bu ... Aya ngambil keputusan ini bukan hanya kerena pemikiran sesaat.”Aku berusaha bicara, meski ibu memilih tidur memunggungiku.“Maafkan Aya jika karena permasalahan rumah tangga kami membuat ibu jatuh sakit seperti ini. Maafkan Aya.”“Apa yang selama ini ibu lihat bukanlah gambaran keadaan kami yang sebenarnya, Bu.”“Dari awal menikah hubungan dan komunikasi Aya dan Mas Adam sudah sangat tidak normal.”“Hampir tiap hari selama tiga tahun pernikahan kami Aya menerima kekerasan verbal dari Mas Adam. Tapi Aya menyembunyikan semuanya dari ibu.”Aku terus saja bicara, menyambung kalimat demi kalimat. Meski ibu tak berpaling.“Selama ini Aya menyembunyikan karena berharap suatu saat Mas Adam bisa berubah dan komunikasi dan hubungan kami bisa normal sebagaimana layaknya hubungan suami istri.”“Tapi Mas Ad
“Tapi kamu membuka hubungan dengannya.”Aku mengangguk.“Benar, Bu. Aya tidak akan mengingkari itu, dan Aya juga mengakui kesalahan itu. Aya sendirian, Bu. Tak ada satu pun yang memahami, tak ada satu pun yang tau apa yang selama ini Aya alami, tak ada satu pun yang mengerti betapa mental Aya sudah sangat tertekan oleh kekerasan verbal Mas Adam.”Rasa mual menghinggapi ketika aku kembali mengingat perjalanan panjangku dalam tekanannya selama ini.“Cuma Ivan yang mengerti Aya, Bu.”“Begitulah cara kerja setan menghancurkan ikatan pernikahan.”Kalimat ibu menohok jantungku.“Dan Aya akan semakin banyak dosa jika masih melanjutkan pernikahan ini, Bu. Hubungan kami hanya akan mendatangkan pertengkaran dan perselisihan. Aya juga nggak mau mengikat Mas Adam dengan pernikahan, sementara hatinya tertaut pada wanita lain. Mas Adam menyukai salah satu rekan kerjanya, Bu. Dan dia mengakui semua itu di hadapan Aya.”Aku masih terus menjelaskan pada ibu, berusaha meyakinkannya jika pernikahanku da
[Aku di parkiran rumah sakit.]Pesan yang masuk tepat di saat aku sedang menyusun kalimat untuk mengajaknya bertemu. Dan dia memang selalu muncul di waktu yang tepat.“Ke arah kiri, mobilku parkir di sudut. Biar asik mojoknya.”Ck! Dia selalu begitu, bicara semaunya, tapi itu membuatku tertawa.“Hai, Sunshine,” sapanya. Dia tersenyum, membukakan pintu mobilnya. Lalu berjalan memutar dan masuk kembali lewat pintu sebelahnya.“Dari mana?” Keningku mengeryit melihat penampilannya yang tak biasa. Jika biasanya dia masih berkeliaran dengan setelan kemeja pakaian kerjanya di jam segini, kali ini Ivan mengenakan kaos dengan celana jeans. Penampilan casualnya membuatnya terlihat makin menarik. Sangat menarik malah, sampai aku tak menyadari jika dari tadi aku menatapnya tak berkedip.“Kenapa?” tanyanya heran.Aku buru-buru memalingkan muka, semoga saja dia tak menyadari bahwa aku sedang mengagumi penampilannya.“Dari mana?” tanyaku lagi. “Tumben gini.” Aku menarik kaosnya.“Ehh, jangan ditarik
“Hah? H-hamil? Tapi kan ... kita belum sejauh itu.”“Kita belum making love, Ay!” lanjutnya lagi. Sambil berusaha tertawa, tapi tawanya terdengar dipaksakan.Mungkin dia mengira aku bercanda, tapi aku juga menangkap ketakutannya.“Kamu bercanda kan, Sayang.”“Nggak, Van. Aku nggak bercanda. Aku ... aku memang sedang hamil.”Hening.“Anak Adam," ucapku lagi.Dia menarik napas dalam-dalam. Hening membuatku menatap matanya.“Kenapa harus sekarang, Ay?” Dia balas menatap dengan tatapan penuh kekecewaan.“Aku bingung. Harus bagaimana. Aku ... tak mau kembali padanya. Tapi ... aku sedang mengandung benihnya.” Aku mulai terisak.“Adam sudah tau?”Aku menggeleng. Dia kembali menarik napas panjang.“Kamu boleh ninggalin aku, Van. Aku nggak mungkin menahanmu dengan kondisiku yang seperti ini.”Dia menoleh.“Aku tak pernah berniat meninggalkanmu, Ay. Sudah kubilang aku sudah tidak bisa mundur. Tapi bagaimana jika Adam bersikeras mempertahankanmu karena bayi itu. Apa kamu akan kembali padanya?”A
“Selamat atas kehamilanmu.”Kalimat terakhirnya membuatku tak kuasa menahan gejolak di dada. Gejolak haru, sedih tapi juga bahagia. Wanita mana yang tak bahagia saat tau dirinya hamil, apalagi aku sudah sangat lama menanti saat-saat bahagia ini. Sayangnya, kebahagiaanku akan kehamilan justru datang di saat aku sedang menghadapi masalah pelik seperti saat ini. Rasa haru yang nenyeruak adalah ketika kalimat itu justru datang dari lelaki lain, bukan ayah dari jabang bayi. Sungguh ini tak pernah terlintas di dalam benakku. Dulu, saat masih sangat menanti kehamilan, aku selalu berkhayal jika nantinya suamiku lah yang akan menjadi orang pertama yang kukabari tentang kehamilanku, lalu kami akan berpelukan bahagia setelahnya. Namun kenyataannya bukan suamiku, bukan Mas Adam lelaki pertama yang kukabari, tapi justru Ivan lah lelaki pertama yang tau mengenai kehamilanku. Lelaki yang belakangan dicap sebagai orang ketiga dalam retaknya rumah tanggaku.Ucapan selamat darinya tadi juga sekaligus m
“Baiklah, Bu. Aya akan pulang nanti, setidaknya sampai ada yang menemani ibu di rumah.”Tak ada lagi pembicaraan setelahnya, kubiarkan ibu beristirahat di kamar sementara aku menyusun obat-obatan sesuai dengan resep yang diberikan dokter. Aku masih memilah-milah obat-obatan ibu agar untuk memudahkan ibu atau adik-adikku merawat ibu ketika ponselku berdering.[Bilangin Candra kalau berkendara jangan ngebut seperti tadi. Apalagi bawa orang sakit dan juga wanita hamil.]Pesan dari IN.Ini adalah pesan pertama yang dikirimnya setelah pertemuan terakhir kami di parkiran rumah sakit malam itu. Candra memang sedikit mengebut tadi karena mengejar jadwal kuliahnya, tapi dari mana Ivan tau?[Kamu tau dari mana Candra ngebut?] balasku.[Aku akan selalu menjagamu dari jauh.]Aku tak lagi membalasnya, semata hanya karena tak ingin kembali membuka komunikasi dengannya padahal kami sudah sepakat untuk saling menjauh sementara waktu. Tapi isi pesannya tadi membuat hatiku berbunga-bunga.Aku akan sela
“Dengan Mbak Cahaya?”Aku mengangguk.“Ini ada paket buat Mbak.”Aku menautkan alis, karena tak merasa memesan sesuatu. Paket apa? Dari siapa?Aku urung bertanya setelah si kurir menjelaskan siapa pengirimnya.“Dari IN,” kata si kurir.[Kenapa ngirim makanan?]Aku memilih mengirim pesan saat membuka isi paket yang ternyata makanan dari sebuah restoran terkenal, dengan menu lengkap dan porsi yang banyak, bahkan mungkin porsi doubel. Namun, ternyata pesanku tak langsung terbaca olehnya.Rasa lapar dan aroma sedap dari makanan yang di hadapanku membuatku memilih melahapnya. Tak seperti kemarin-kemarin, aku sangat menikmati makanan ini dan tak ada rasa mual terasa saat aku melahapnya. Makananku sudah hampir habis ketika ponselku berdering.[Semoga suka makanannya.][Makan yang banyak, ya.][Ingat, kamu sekarang nggak hanya sendiri. Tapi berdua dengan bayimu.][Sehat selalu kalian berdua.]Dia mengirim empat pesan sekaligus.[Terima kasih.]Aku membalas, tapi kali ini pesanku tak terkirim,
“Kenapa menyembunyikan dari Mama, Nak. Kenapa Aya nggak bilang kalau sedang hamil? Kenapa nggak bilang kalau Adam nggak pulang ke rumah sejak kembali dari tugasnya?”“Ma ....”Mama melepaskan pelukannya.“Aya, Mama dan Papa sudah tua, Nak. Belakangan ini Mama bahkan sudah mulai merasa lelah dengan aktifitas Mama. Mama sudah lama ingin menimang cucu.”Mama Indah menjeda kalimatnya.“Mama bahagia sekali mendengar kamu hamil, Nak. Pantas saja waktu di rumah sakit Aya pucat muntah-muntah. Bodohnya Mama tak menyadari jika di dalam perut Aya ada cucu Mama.”Lalu Mama Indah bercerita bahwa pagi tadi beliau mampir ke rumah ibuku sebelum berangkat ke kantor, dan ternyata dari ibuku lah mama mendengar kabar kehamilanku.“Tadi waktu rapat sidang mama udah nggak bisa konsen, Aya. Semua rekan pria terlihat seperti Adam dan yang wanita terlihat seperti Aya di mata Mama. Di pikiran Mama benar-benar hanya ada kalian berdua dan juga calon bayi kalian. Mama rasa kehamilanmu ini adalah jawaban dari Alla
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber