“Ay!” Suara itu mengusik tidurku.“Aya!” Aku membuka mata yang rasanya seperti lengket karena masih sangat mengantuk.“Aku nggak bisa tidur.” Ada embusan napas hangat yang menerpa pipiku, disertai dengan pelukan erat dari lengannya yang terbuka tanpa baju.“Ini jam berapa?” Mau tak mau aku memaksa membuka mata, lalu melirik jam digital di atas nakas. Jam tiga pagi, masih terlalu pagi untuk bangun kurasa, tetapi lelaki yang sedang menghimpitku dengan lengannya ini membuatku melawan rasa kantuk.“Nggak bisa tidur, Ay,” keluhnya lagi.“Kenapa, hmm?” Aku menoleh, mengecup pipinya sekilas.“Banyak pikiran.”Aku memutuskan menemaninya, mendengarkan embusan napas beratnya berkali-kali, juga ceritanya tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.Tengah malam menjelang subuh, kami berdua tenggelam dalam pembicaraan serius. Berpelukan dalam selimut menerawang masa depan yang terbentang dengan segala tantangannya.“Aku mau buka butik di Twin. Boleh, ya? Iin dan yang lainnya akan
“Eh! Nggak papa kan, Sayang?” Ivan meletakkan handuk lalu mengusap perutku.“Drama apa lagi ini ya Tuhan!” Kak Dian menepuk keningnya.“Aya hamil, Kak. Eh ... maksudnya kemungkinan hamil.”“Hah!?” Kak Dian melotot. “Beneran, Ay?” Wanita itu menghampiriku.“Ngg-nggak, Kak. Ehh ... maksudnya belum tau, tapi kayaknya nggak deh, Nggak ngerasain apa-apa soalnya.”“Lah terus kenapa ni anak tadi bilang Aya hamil?”“Cuma dugaan aja, Kak.” Lalu kuceritakan bagaimana tadi malam Ivan merasa mual lalu tiba-tiba saja pemikiran itu muncul di kepalaku.Lelaki yang sedang kubicarakan itu sendiri sedang menjauh dari kami ketika teleponnya berdering. Dari sofa tempatku duduk, bisa kulihat dia sedang berbicara di telepon dengan ekspresi marah dan tegang, meski aku tak bisa mendengarkan apa yang dibicarakannya.“Waktu baru balik dari Maldives juga Ivan muntah-muntah, Kak.” Aku menjelaskan lagi ke Kak Dian.“Oohh ... kalo itu sih dia emang gitu, Ay. Kalo lagi banyak beban pikiran, lagi stress, ya gitu mua
Selain pesan dari Tari, Candra adikku juga datang ke rumah hari ini setelah tahu keputusan Ivan adalah mundur dari kasus ini. Candra yang datang bersama ibu dan kembarannya membuat rumah kami ramai oleh hebohnya Kia dan Cindar. Kini aku mengerti mengapa Ivan memilih langkah ini, memilih mengorbankan nama baiknya. Karena jika saja kasus ini berlanjut, mungkin akan ada yang berubah dari kehangatan keluargaku.“Kak Ivan sudah banyak sekali berkorban, banyak sekali dirugikan oleh keadaan ini. Aku janji akan bantu Kak Ivan bangkit.”Itu yang dijanjikan Candra padaku. Adik bungsuku yang kini sudah dewasa, yang kabarnya sudah memiliki nama di bidang yang digelutinya. Menurut ibuku, dengan ditutupnya kasus ini, Candra berencana akan melamar Lisa – perawat yang dulu disewa Ivan untuk merawat ibu. Kabar yang belakangan kudengar, Candra dan Lisa menjalin hubungan serius.Sebagai seorang kakak, aku tak serta merta melepaskan Candra dari tanggungjawabnya. Keterlibatannya meski tanpa kesengajaan te
“Aku nggak bisa jelasin apa-apa. Tapi kamu harus ikut aku sekarang, Aya!”Sisanya, aku hanya mematung melihat Mas Adam menjelaskan sesuatu ke Candra. Lalu kemudian adikku itu membujukku pembicaraan singkat mereka.“Kita ikut Mas Adam, Kak. Kak Aya nggak usah khawatir, aku ada dan akan ngelindungin Kakak dari apa pun.”Mata Candra kutatap penuh harap.“Apa pun.” Candra meyakinkan.***Rumah tanpa pagar yang cukup besar yang letaknya terpisah dari deretan rumah-rumah lainnya menjadi tujuan kami setelah tadi Candra mengajakku ikut ke mobil Mas Adam. Aku masih menerka-nerka untuk apa kami ke sini saat mendengar suara pukulan yang cukup keras disusul suara batuk-batuk dan napas tersengal dari dalam rumah.“Hentikan, Van! Kalo dia mati gimana?”Aku segera masuk demi mendengar seseorang menyebut nama Ivan. Dan pemandangan itu tersaji di depan mataku sesaat setelah pintu kubuka. Seseorang meringkuk di lantai memegangi perut, dengan sudut bibir dan area hidungnya terlihat berdarah.Napasku ber
Luka-luka Ivan tak memang tak memerlukan perawatan intensif, berbeda dengan Toni yang kudengar dari pembicaraannya dengan Supri tadi harus menginap di rumah sakit karena beberapa luka serius di tubuhnya. Membayangkan sosok yang terkapar di lantai saat aku tiba di lokasi kejadian tadi, kurasa sangat wajar Toni mendapatkan perawatan intensif.Beberapa petugas dari kepolisian juga mendatangi kami di rumah sakit dan membuat beberapa pasang mata di ruang UGD terus menatap penuh tanya. Aku sendiri sebenarnya sudah gemetar melihat beberapa petugas berseragam yang datang, namun saat berhadapan dengan Ivan, petugas petugas itu justru terlihat bertanya dengan santai dan justru lebih terlihat seperti bercengkrama dengan Ivan yang masih berada di ranjang pasien.Saat para petugas selesai dengan pekerjaannya dan meninggalkan ruangan, aku buru-buru kembali menutup tirai demi menghindari tatapan mata dari sekitar.“Kenal di mana sama bapak-bapak polisi tadi?” tanyaku penasaran.Ivan yang sedang mena
“Maafin aku, Kak. Aku nggak ....”“Maaf, Tari. Aku udah nggak butuh penjelasan apa pun. Aku sudah mengambil keputusan ini, jadi nggak perlu lagi membahasnya.”Tari menunduk.“Sebaiknya kamu pulang.”“Aku janji akan bantu Kak Ivan bangkit kembali untuk menebus semua kesalahanku kemarin.”“Nggak, Tari. Kalo mau bantu, aku hanya minta satu hal ke kamu. Jaga Wira baik-baik, karena tanganku nggak bisa selalu sampai ke dia. Aku nggak bisa selalu ada untuk dia.”Wanita di depanku kembali menggigit bibirnya.“Oiya, satu lagi. Salam untuk Wica, dia anak yang lucu.”Ingatanku melayang pada sosok anak bungsu Tari. Saat menjenguknya di rumah sakit bersama Ivan waktu itu, anak kecil itu memang terlihat nyaman di dekat Ivan.Kurasa ada senyum di bibir Tari. “Wica juga sering nanyain Kak Ivan, katanya Om yang waktu itu bawa ke dokter, yang dipanggil ayah sama abangnya. Kayaknya dia ingat pas kita video call waktu itu.”Aku terbelalak menatap wajah penuh perban yang terbaring di ranjang. Dengan spont
“Ay, kata Ivan kamu mau buka butik lagi. Bener, nggak?” Kak Dian yang memang meneleponku sepanjang hari ini kembali menelpon setibaku dan Candra di rumah.“Iya, Kak. Rencana mau buka di Twin.”“Oh gitu. Ivan juga mau berkantor di sana sementara, kan?”“Rencananya gitu, Kak.”Ada tawa yang terdengar dari speaker ponselku. “Gue nggak yakin dia bisa kerja maksimal kalo kalian deketan gitu, Ay. Bukannya kerja ntar malah ngerjain kamu mulu.”“Nggak, Kak. Kami janji akan sama-sama profesional.”Kak Dian masih berbasa-basi. Menurutnya hari ini dia sebenarnya ingin terbang dari Surabaya langsung memantau adiknya, tetapi kondisi tak memungkinkan. Sementara ponsel Ivan sedari tadi masih belum bisa dihubungi, makanya Kak Dian terus menerus menelepon ke nomorku untuk memantau adiknya.Aku juga bercerita bahwa Ivan tadi pergi dengan Mas Adam setelah menjalani perawatan di rumah sakit, juga bercerita tentang kekhawatiranku kalau saja malam ini ia harus menginap di kantor polisi karena kasus ini. Ak
Sejak kejadian perkelahiannya dengan Toni, Ivan berstatus wajib lapor. Firasat Kak Dian terbukti benar karena adiknya itu memang kembali ke rumah malam itu, meski akhirnya ia menghabiskan malam dengan berdiskusi panjang bersama kedua sahabatnya.Rencana untuk merenovasi Twin juga mulai berjalan. Ivan mulai merancang letak kantor dan butik nantinya. Aku pun mulai kembali menghubungi pelanggan-pelangganku dulu dan memperkenalkan beberapa racangan terbaruku. Sambil menemaninya memulihkan luka-luka, aku mengisi waktu dengan mengamati tren fashion terbaru lalu mencoba mendesainnya sesuai dengan ide yang ada di kepala.Demi membiarkannya beristirahat dan memulihkan kondisi, aku lebih memilih tidur di kamar Kia setelah memastikan bayi besarku itu tertidur pulas. Hal itu membuatnya beberapa hari protes karena terbangun pagi hari tanpaku di sampingnya. Akan tetapi, strategi membiarkannya beristirahat sendirian ini berhasil karena dua malam berturut-turut dia benar-benar memulihkan kondisi deng
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber