“Aya? Ngapain di sini?”Huhh! Aku menelan ludah. Mas Adam tiba-tiba saja muncul di depanku.“L-lagi makan malam,” jawabku gugup, tetapi menatapnya.“Maksudku ngapain di depan toilet? Ini toilet pria.”Ah, iya. Aku lupa.“Aku ....”“Hey! Kenapa nyusul ke sini?” Beruntung Ivan datang dan segera menghampiriku.“Loh ... Adam?!” sapanya kemudian pada sahabatnya. “Di sini juga? Sama siapa?”Kulihat Mas Adam menggaruk tengkuknya. “Iya, lagi dinner bareng Nindya.”“Oh, ya udah. Kita duluan, ya.”“Ayo, Sayang.” Lengan kokoh itu merangkul pundakku, membawaku menjauh dari toilet.“Kita ke mana?” tanyaku saat menyadari bahwa lelaki ini menggiring bukan ke arah meja kami tadi.“Temanin bentar.” Dia merus menggiring langkahku dalam rangkulannya hingga kami berdua tiba di parkiran. Suara remote kunci mobilnya berbunyi. “Masuk.” Senyumnya tipis sekali saat membuka pintu depan untukku.Ragu-ragu, aku tetap mengikuti keinginannya. Tadinya kupikir Ivan akan memutari badan mobil dan duduk di kursinya, te
Ada Mas Adam di meja kami sewaktu aku dan Ivan kembali bergabung. Lelaki itu hanya melirik sekilas saat kami berdua tiba di sana, tentu saja dengan genggaman tangan Ivan yang mencengkram jemariku. Mas Adam terlihat berbincang santai dengan ibu dan Candra.Aku insecure.Kurasa Ivan tak main-main dengan kalimatnya itu, karena jemariku terasa semakin erat dalam genggamannya saat ia melihat keakraban ibu dan adikku dengan Mas Adam. Memang hanya aku yang tahu bagaimana kedekatan keluargaku dulu pada Mas Adam, dan kurasa itu tak berubah meski kami telah bercerai. Sama sepertiku pada Mama Indah. Kejadian di villa waktu itu memang pernah membuat ibuku begitu marah pada Mas Adam, tetapi yang aku tahu, Mas Adam dan Mama Indah pun sudah berkali-kali datang meminta maaf pada ibu meski aku sendiri waktu itu masih trauma.Beberapa kali kulihat Mas Adam tertawa kecil ketika mengobrol dengan ibuku, sebelum kemudian berpamitan pada kami semua lalu kembali ke meja di sudut resto di mana Nindya sedang m
Selesai menyusut tangis, setelah perdebatan ‘seandainya’ tadi, Ivan membuka pintu mobil lalu berjalan memutari badan mobil.“Tukeran lagi, biar aku yang nyetir,” katanya setelah membuka pintu.“Udah nggak mual?” tanyaku.“Masih, tapi bisa ditahan kok.” Dia menarik lenganku lembut, membantuku keluar dari mobil. “Dari pada nyuruh kamu yang nyetir, takut kenapa kenapa.”Aku tertawa lepas ketika merasakan usapannya lagi di perutku.“Terserah,” jawabku sambil memutar bola mata. Rasanya menyesal kenapa tadi pikiran ‘sedang hamil’ itu tiba-tiba muncul di kepalaku, padahal aku tak merasakan perubahan apa pun pada tubuhku layaknya orang yang sedang hamil.“Tidur aja, Sayang. Ntar sampai rumah kubangunin, kamu harus banyak istirahat.”Oke, kurasa lelaki tercinta ini mulai berlebihan. Dan memang sebaiknya aku tidur saja agar tak semakin risih mendengar ucapan ucapan ajaibnya.Udara dingin dari embusan AC mobil dan lantunan music lembut dari tape mobil yang sesekali diiringi siulan atau senandung
“Sedekat apa? Terus apa maksudnya nggak percaya kita udah nikah?” Aku tak membiarkannya menyelesaikan kalimat.“Ayaaa ... tenang deh, Sayang.”“Dih! Gimana mau tenang denger suami disapa mesra sama perempuan cantik, mana tangannya lembut banget lagi.”“Hah?!”“Iya! Tangannya lembuut banget. Kamu pasti tau, kan?”“Loh, kok aku?”“Kan mantan pacar kamu! Pasti udah pernah pegangan tangan, kan?” tanyaku berapi-api.“Pasti udah pernah ciuman juga, kan?” Kali ini suaraku melemah, tak sanggup mendengarkan jawabannya tentu saja.Akan tetapi, lelaki yang tetap berkonsentrasi menyetir itu justru tertawa.“Kamu pikir aku ngapain, Ay? Selama pacaran sama orang lain, aku nggak pernah kepikiran megang tangan, apalagi sampai ciuman. Paling cuma makan bareng, atau teman cerita.”Dia tersenyum tipis. “Sama kamu doang yang bikin aku selalu pengen meluk, curi-curi nyium kening, pura-pura bertamu tengah malam dengan alesan mau nengokin cedera kakimu padahal aslinya pengen ngeliat kamu dan dengar suara ka
“Ay!” Suara itu mengusik tidurku.“Aya!” Aku membuka mata yang rasanya seperti lengket karena masih sangat mengantuk.“Aku nggak bisa tidur.” Ada embusan napas hangat yang menerpa pipiku, disertai dengan pelukan erat dari lengannya yang terbuka tanpa baju.“Ini jam berapa?” Mau tak mau aku memaksa membuka mata, lalu melirik jam digital di atas nakas. Jam tiga pagi, masih terlalu pagi untuk bangun kurasa, tetapi lelaki yang sedang menghimpitku dengan lengannya ini membuatku melawan rasa kantuk.“Nggak bisa tidur, Ay,” keluhnya lagi.“Kenapa, hmm?” Aku menoleh, mengecup pipinya sekilas.“Banyak pikiran.”Aku memutuskan menemaninya, mendengarkan embusan napas beratnya berkali-kali, juga ceritanya tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.Tengah malam menjelang subuh, kami berdua tenggelam dalam pembicaraan serius. Berpelukan dalam selimut menerawang masa depan yang terbentang dengan segala tantangannya.“Aku mau buka butik di Twin. Boleh, ya? Iin dan yang lainnya akan
“Eh! Nggak papa kan, Sayang?” Ivan meletakkan handuk lalu mengusap perutku.“Drama apa lagi ini ya Tuhan!” Kak Dian menepuk keningnya.“Aya hamil, Kak. Eh ... maksudnya kemungkinan hamil.”“Hah!?” Kak Dian melotot. “Beneran, Ay?” Wanita itu menghampiriku.“Ngg-nggak, Kak. Ehh ... maksudnya belum tau, tapi kayaknya nggak deh, Nggak ngerasain apa-apa soalnya.”“Lah terus kenapa ni anak tadi bilang Aya hamil?”“Cuma dugaan aja, Kak.” Lalu kuceritakan bagaimana tadi malam Ivan merasa mual lalu tiba-tiba saja pemikiran itu muncul di kepalaku.Lelaki yang sedang kubicarakan itu sendiri sedang menjauh dari kami ketika teleponnya berdering. Dari sofa tempatku duduk, bisa kulihat dia sedang berbicara di telepon dengan ekspresi marah dan tegang, meski aku tak bisa mendengarkan apa yang dibicarakannya.“Waktu baru balik dari Maldives juga Ivan muntah-muntah, Kak.” Aku menjelaskan lagi ke Kak Dian.“Oohh ... kalo itu sih dia emang gitu, Ay. Kalo lagi banyak beban pikiran, lagi stress, ya gitu mua
Selain pesan dari Tari, Candra adikku juga datang ke rumah hari ini setelah tahu keputusan Ivan adalah mundur dari kasus ini. Candra yang datang bersama ibu dan kembarannya membuat rumah kami ramai oleh hebohnya Kia dan Cindar. Kini aku mengerti mengapa Ivan memilih langkah ini, memilih mengorbankan nama baiknya. Karena jika saja kasus ini berlanjut, mungkin akan ada yang berubah dari kehangatan keluargaku.“Kak Ivan sudah banyak sekali berkorban, banyak sekali dirugikan oleh keadaan ini. Aku janji akan bantu Kak Ivan bangkit.”Itu yang dijanjikan Candra padaku. Adik bungsuku yang kini sudah dewasa, yang kabarnya sudah memiliki nama di bidang yang digelutinya. Menurut ibuku, dengan ditutupnya kasus ini, Candra berencana akan melamar Lisa – perawat yang dulu disewa Ivan untuk merawat ibu. Kabar yang belakangan kudengar, Candra dan Lisa menjalin hubungan serius.Sebagai seorang kakak, aku tak serta merta melepaskan Candra dari tanggungjawabnya. Keterlibatannya meski tanpa kesengajaan te
“Aku nggak bisa jelasin apa-apa. Tapi kamu harus ikut aku sekarang, Aya!”Sisanya, aku hanya mematung melihat Mas Adam menjelaskan sesuatu ke Candra. Lalu kemudian adikku itu membujukku pembicaraan singkat mereka.“Kita ikut Mas Adam, Kak. Kak Aya nggak usah khawatir, aku ada dan akan ngelindungin Kakak dari apa pun.”Mata Candra kutatap penuh harap.“Apa pun.” Candra meyakinkan.***Rumah tanpa pagar yang cukup besar yang letaknya terpisah dari deretan rumah-rumah lainnya menjadi tujuan kami setelah tadi Candra mengajakku ikut ke mobil Mas Adam. Aku masih menerka-nerka untuk apa kami ke sini saat mendengar suara pukulan yang cukup keras disusul suara batuk-batuk dan napas tersengal dari dalam rumah.“Hentikan, Van! Kalo dia mati gimana?”Aku segera masuk demi mendengar seseorang menyebut nama Ivan. Dan pemandangan itu tersaji di depan mataku sesaat setelah pintu kubuka. Seseorang meringkuk di lantai memegangi perut, dengan sudut bibir dan area hidungnya terlihat berdarah.Napasku ber
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber