"Kita batalkan pernikahan kita ya Run," ucap Dimas dengan tiba tiba.Aku hanya menatapnya sekilas. Lalu menganggukan kepala pertanda setuju.Terlihat kini bergantian Dimas menatapku penuh kecewa. Lah apa tidak salah? Seharusnya aku yang merasakan itu.Dia pikir, dengan kalimatnya yang mengagetkan itu, jus jeruk yang sudah ada di kerongkonganku ini keluar begitu? Oh tidak. Aku tidak seperti di sinetron sinetron itu. Yang menangis, merengek saat diputuskan hubungan.Andai dia bilang selesai, ya sudah selesai. Mau bagaimana lagi."Kok begitu tanggapanmu? Apa selama ini kamu tidak pernah cinta kepadaku? Kamu juga tidak tanya alasannya kenapa," keluh Dimas.Aku mendongak. Menatap laki laki yang sebenarnya tidak tampan itu. Laki laki yang sudah hampir satu dasawarsa aku temani. Dari kita yang masih hobi bermain gundu. Hingga dia sudah menjadi guru."Lalu mau mu aku harus bagaimana? Harus menangis? Harus histeris? Satu dasawarsa bukan waktu yang lama untuk kamu mengenalku bukan? Jadi ku rasa
Bu Siti melotot menatapku. Aku tak perduli. Tak gentar. Terlebih saat mengetahui alasan Dimas membatalkan rencana pernikahan kami."Ya sudah kalau begitu. Itu saja yang bisa kami sampaikan. Kami harap keluarga kalian legowo menerima ini ya. Untuk pelajaran juga. Lain kali harus tau diri" kata Bu Siti lagi. Ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya."Iya. Benar apa kata Bu Siti. Kita harus tau diri. Aruna yang hanya lulusan SMP, kok mau menikah dengan sarjana. Yang sarjana juga harus tau diri akan menikah dengan siapa," balas ibu.Sebenarnya keluarga Dimas bukan keluarga yang kaya. Dimas bisa kuliah karena menjual sawah bapaknya yang telah meninggal."Aruna, apa tidak ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Bu Siti tiba tiba.Aku menggeleng."Itu. Cincin yang kamu pakai, apa tidak ada niat untuk kamu kembalikan?" tegurnya lagiYa Tuhan, ia sampai ingat sekali tentang cincin ini "Oh baiklah. Ini," ucapku sembari menyerahkan cincin yang melekat di jari manisku, kurang lebih lima bulan
POV AUTHOR"Ah menyesal ibu nurutin kemauan kamu untuk ngomong baik-baik kepada keluarga Aruna. Lagipula tingkah kamu itu memalukan, Dimas," gerutu Bu Siti sesampai di rumah."Bu, ini juga demi harga diri Dimas. Bagaimanapun akhirnya, kita pernah meminta Aruna pada keluarganya," elak Dimas."Ya sudah. Kalau begitu besok jual cincin dari Aruna itu. Hitung hitung untuk ganti rugi ke rumah Aruna,"Bukannya langsung menjawab, Dimas hanya menghela nafas pelan."Dimas, kamu dengar apa kata ibu atau tidak?" tegur Bu Siti sedikit keras Dimas tersentak dari lamunannya."Mana laku Bu?"Mendengar itu Bu Siti tambah melotot."Maksud kamu bagaimana?""Ya itu hanya cincin palsu. Bukan emas. Berapa sih gaji Dimas itu untuk beli cincin Bu," keluhnya.Bu Siti menepuk jidatnya."Ya Tuhan Dimas. Pantas saja Aruna begitu gampang menyerahkan cincin ini. Rupanya cincin ini bukan emas?"Dimas hanya diam. Bagaimana lagi? Memang itu kenyataanya ."Sudahlah Bu. Lagipula hubungan Dimas dan Aruna sudah berakhir
Dimas melotot mendengar permintaan kakaknya tersebut."Apa tidak ada yang lebih konyol dari ini Mbak?" tanya Diams dengan kesal Justru Mbak Diah mengangguk tanpa rasa berdosanya."Ada." jawabnya.Dimas melengos. Geram. Bodoh dan tidak peka memang beda beda tipis."Mintakan sawah setengah hektar. Untuk dikelola suamiku. Agar tidak nganggur," jawab Diah tanpa rasa bersalah.Dimas bangkit dari tempat duduknya. Bisa meledak lama lama mendengar celoteh dari Mbak Diah."Dimas mau kemana? Kamu ingat pesan Mbak ya. Jangan lupa. Mbak tunggu," teriaknya, walau Dimas sudah menutup pintu kamar.Kehidupan keluarga Aruna masih biasa saja. Mereka menjalani hidup dengan harmonis. Tapi tidak dengan omongan tetangga.Bisik sana bisik sini. Sekarang Aruna menjadi trending topik di desa itu.Tapi hal tersebut lantas tidak membuat keluarga mereka berkecil hati lalu tidak mau keluar rumah. Tidak sama sekali. "Runa mau kemana?" tanya Bu Marni."Mau ke warung Bu. Sabun dan pasrah gigi habis.""Biar adikmu
"H...Hai," sapa Dimas dengan terbata.Namun Mayang langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia terlihat begitu antusias dengan kedatangan Dimas.Namun dekat semakin mendekat, wajah Mayang yang hitam karena bawaan lahir, semakin jelas terlihat. Sebenarnya Dimas ingin mundur, tapi dia tidak enak hati."Hai," jawab Mayang dengan riang."Ayo," ajak Dimas. Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokannya. Lalu ia menuju montornya."Mau kemana?" tanya Mayang.Dimas hanya memasang wajah yang bingung."Katanya mau malam Minggu?"Mayang tertawa kecil. Jika wanita lain tersenyum manis. Justru bagi Dimas senyum Mayang tak ubah seperti pare. Pait."Iya. Tapi kita naik mobil. Ini," kata Mayang sembari menunjuk sebuah mobil Alphard.Dimas semakin melongo."Ta.. Tapi aku tidak bisa setir mobil," elak Dimas dengan lirih.Mayang mengibaskan tangannya di udara"Gampang. Kan ada sopir," jawabnya entengDimas dengan pelan masuk ke dalam mobil mewah itu. Bahkan sopirnya membukakan pintu untuknya. Ya Tuhan, b
Dimas melengos. Salah tingkah."Ehm ti... ti.. tidak Mayang. Tak apa," jawab Dimas dengan gugup.Mayang mengeluarkan satu kartu dari dompetnya. Fiyuhh Dimas lega bukan main. Ia kira Mayang akan menyuruhnya membayar."Kamu kenapa sih? Kok keringatan seperti itu? Ini tidak panas loh. Ini malam hari," tanya Mayang.Dimas sejenak tertunduk."Ah aku mungkin grogi di dekat kamu," elak Dimas. Ya ia hanya berbohong menutupi ketakutannya Mendengar itu, Mayang tersipu malu. Pipinya bersemu kemerahan. Perasaanya semakin berbunga-bunga."Kamu bisa saja," respon Mayang yang salah tingkah.Mayang masih senyum-senyum walau dia sampai di mobil"Terimakasih ya Dimas," ucap Mayang tiba-tiba.Dimas menoleh."Terimakasih kenapa? Aku yang justru berterimakasih. Kamu baik," ujar Dimas Ah rasanya Mayang sekarang seperti terbang tinggi. Tersanjung."Jangan kapok ya Dimas. Kapan kapan kita keluar lagi," ucapnya saat mereka sudah turun dari mobil.Dimas hanya mengangguk kecil. Memaksakan senyum. Lalu ia menu
Ko Ari yang sedang berkutat di depan kalkulator, tentu kaget mendengar teriakan Aruna. Begitupun dengan laki-laki itu. Ia kaget mengapa Aruna justru berteriak saat menatapnya"Hei, aku ini manusia. Bukan hantu. Lihat kakiku. Menapak tanah. Lagipula ini masih pagi. Hantu masih tidur," ucap laki-laki itu tak kalah panik.Runa masih berdiri dengan kaku "Ada Apa Runa? Kamu mengagetkan saja," tanya Ko Ari "Itu Ko. Ada Pangeran Arab nyasar kesini." jawab Runa sembari menunjuk laki laki di depannya.Laki laki itu menepuk jidat."Yaelah. Ada ya wanita yang alergi laki laki tampan," katanya."Idih. Sombong banget." balas Runa."Iya lah. Kamu tadi bilang aku seperti pangeran Arab kan. Semua wanita juga tau bahwa sosok yang dijuluki pangeran itu tentu sosok yang tampan.""Eh sudah sudah. Disini saya bayar kalian untuk bekerja. Bukan untuk berantem. Mengerti." kata Ko Ari Aruna mengangguk."Maaf Ko. Reflek." "Perkenalkan dia namanya Andra. Dan ini Aruna."Karena di depan Ko Ari, terpaksa Run
Mayang mengepalkan tangannya. Ia kira mantan tunangan Dimas adalah wanita miskin dan lembek. Tapi ternyata dia menyebalkan juga.'Awas. Tunggu saja pembalasanku. Akan ku buat kamu bertekuk lutut meminta maaf dariku,' gumam Mayang dalam hati.Sementara itu Aruna tak habis pikir. Kurang kerjaan atau bagaimana wanita itu hingga datang kesini hanya untuk mengucapkan itu. Jika ia mau, bisa saja ia berbicara panjang lebar. Tapi untuk apa? Tak ada untungnya. Biar dia yang merasakan sendiri."Belum waktunya istirahat. Kok sudah ada disini? Kata Ko Ari kamu adalah karyawan teladan. Tapi kok?" tegur Andra.Di belakang toko, Ko Ari membuatkan sebuah teras untuk para kartawannya istirahat. Teras tersebut menghadap area persawahan secara langsung. Damainya, semilir anginnya. Benar benar membuat nyaman.Aruna hanya sekilas menoleh."Kamu sakit?" tanya Andra lagi."Iya. Sakit hati." jawab Aruna asal.Andra menatap Aruna dengan tawa seraknya. Sementara Aruna membalasnya dengan tatapan sinis."Kenapa
Ruangan terasa sunyi sejenak. Udara di antara mereka seperti dipenuhi oleh ketegangan tak terlihat. Mayang mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menutupi rasa malu dan sakit hati akibat ucapan Aruna. Namun, ia menahan diri untuk tidak terpancing emosi.“Aku kesini tidak untuk berdebat, Aruna,” ujar Mayang dengan nada datar, berusaha mengendalikan perasaannya. “Aku datang untuk meminta maaf atas apa yang sudah Papa lakukan. Aku tahu itu salah, dan aku hanya ingin menjernihkan suasana.”Aruna menyilangkan kaki, menatap Mayang dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada kepuasan di balik matanya, tetapi ia tetap menjaga nada bicaranya netral.“Menjernihkan suasana, ya?” Aruna tersenyum tipis. “Kupikir, setelah semua penghinaan bahkan fitnah yang Papa kamu lakukan, permintaan maaf saja tidak cukup.”Mayang menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. “Aku mengerti. Tapi tolong dengarkan aku dulu.”Aruna mengangkat alis, memberi isyarat agar Mayang melanjutkan. Mayang m
Tubuh Subrata bergetar. Matanya menatap Andra dan Aruna bergantian. Seolah ia tidak percaya.“Oh apa mungkin anda masih kurang percaya? Atau perlu saya telfon Papa saya?” tanya Andra lagi.Pak Subrata masih belum menjawab. Namun matanya kemali menelisik wajah Andra. Ya laki laki itu sangat menwarisi wajah tampan papanya, dan ia yakin bahwa yang berdiri dihadapannya benar adalah Dewa.“Dan ini Aruna, istri saya,” lanjut Andra.Subrata berdiri kaku, tubuhnya masih bergetar hebat. Tatapan matanya yang tadi penuh kesombongan kini berubah menjadi campuran syok dan ketakutan. Andra berdiri di hadapannya dengan penuh percaya diri, sementara Aruna tetap berdiri tenang di samping suaminya. Suasana di ruangan itu berubah mencekam, dengan keheningan yang hampir menyesakkan dada.“Andra… jadi… kamu benar-benar putranya Mas Sadewa?” Subrata akhirnya membuka suara, meski nadanya bergetar.Andra tersenyum tipis, menyilangkan tangan di dada. "Saya pikir tadi saya sudah cukup jelas. Atau perlu saya bu
Bu Lina menggantung kalimatnya, pandangannya menerawang. Bibirnya bergerak seolah ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia tampak menelan kembali kata-katanya. Seketika, suasana menjadi tegang. Subrata menyipitkan mata, mencoba membaca raut wajah istrinya, sementara Mayang berdiri dengan alis berkerut, menunggu dengan rasa penasaran.“Siapa, Bu?” desak Mayang, nada suaranya menunjukkan kebingungan sekaligus ketidaksabaran.Bu Lina menarik napas panjang, menunduk sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Subrata. “Tidak penting siapa. Intinya, aku hanya ingin memastikan Mayang tidak lagi memberi alasan bagi siapa pun untuk berbicara buruk tentangnya. Itu saja.”Subrata mendengus kecil, jelas merasa jawaban itu tidak memuaskan. “Kamu terlalu paranoid, Lina. Orang-orang selalu punya sesuatu untuk dibicarakan. Kita tidak bisa mengendalikan mulut mereka.”Namun, Bu Lina menatapnya dengan serius. “Tidak, Subrata. Kita tidak bisa mengendalikan mereka, tapi kita bisa mencegah mereka memiliki a
Di sisi lain, di kediaman Subrata, suara gelak tawa memenuhi ruangan kecil itu. Subrata dan Mayang duduk di ruang tamu dengan meja kayu penuh dengan bekas cangkir kopi dan beberapa dokumen. Wajah mereka memancarkan kepuasan, seolah menikmati hasil rencana licik yang baru saja mereka jalankan."Benar-benar lucu, Mayang," ujar Subrata sambil menepuk lututnya. "Lihat saja wajahnya tadi. Seperti orang yang kehilangan akal. Kau lihat bagaimana dia mencoba membela diri? Sia-sia!"Mayang terkekeh, melirik ayahnya dengan bangga. "Aku tidak menyangka gosip kecil seperti itu bisa membuatnya kalang kabut. Warga desa benar-benar mudah sekali termakan cerita. Aku hanya perlu membocorkan ‘kawin kontrak’ itu ke Bu Sari, dan sisanya menyebar dengan sendirinya."Subrata mengangguk, senyum licik menghiasi wajahnya. "Orang-orang desa ini memang suka mendramatisasi cerita. Kalau kita bawa sedikit bumbu, mereka langsung terpancing. Lagi pula, apa lagi yang mereka harapkan dari perempuan seperti Aruna? Dia
Aruna menatap bayangannya di cermin mobil. Senyumnya tertahan, meski hatinya penuh harap. Hari ini, ia memutuskan mengunjungi rumah orang tuanya. Kehidupan barunya terasa sempurna. Rumah mewah, mobil mahal, dan perhatian Andra yang tanpa cela membuatnya percaya diri. Tapi ada sesuatu di hatinya yang tak bisa ia abaikan—kerinduan untuk berbagi kebahagiaan itu dengan keluarganya.Ketika mobil SUV hitam berkilauan memasuki gang kecil di kampung halaman, mata-mata tetangga langsung tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar, dan Aruna bisa merasakan tatapan penuh selidik dari balik jendela rumah-rumah sekitar. Namun, ia mencoba tidak mempedulikannya. Dengan anggun, ia keluar dari mobil, mengenakan gaun sederhana tapi elegan, membawa tas bermerek yang menonjolkan kesuksesannya."Aruna sudah datang!" seru seorang ibu-ibu di ujung gang, memecah keheningan.Namun, bukannya menyambut dengan senyum, beberapa tetangga malah memandangnya dengan sorotan berbeda. Ada nada sinis di balik bisikan m
Di ruang kerjanya yang megah, Subrata duduk sambil mengamati layar komputer. Matanya menyipit, memperhatikan laporan yang baru saja ia terima dari asisten pribadinya. Dalam laporan itu, tersirat kekacauan kecil yang mulai muncul di rumah tangga Mayang dan Dimas. Tapi Subrata tidak terganggu; sebaliknya, ia tersenyum kecil, seperti serigala yang sedang mencium aroma mangsa.Ketukan pintu terdengar pelan. “Masuk,” ucap Subrata dengan nada datar.Mayang melangkah masuk, ekspresi wajahnya terlihat campur aduk antara kebingungan dan ketegangan. “Papi, aku ingin bicara,” katanya tanpa basa-basi.Subrata menutup laptopnya dengan tenang, lalu menatap putrinya. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Mayang? Duduklah.”Mayang duduk dengan tubuh yang tampak kaku. “Tadi mengenai ibu yang datang ke rumah,” katanya dengan suara lirih. “Dia bilang ingin memperbaiki hubungan. Tapi... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”Subrata menghela napas panjang, matanya menatap tajam putrinya. “Mayang, dengarka
Dimas pulang ke rumah ibunya, tampak kelelahan dan frustrasi. Setibanya di ruang tamu, Dimas langsung melontarkan keluhan tentang pernikahannya dengan Mayang."Ibu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana," keluh Dimas, duduk di sofa sambil memegangi kepala. "Aku merasa terjebak. Mayang itu gak pernah ngerti apa yang aku rasakan."Ibu Dimas, yang sudah menunggu di ruang tamu, menatap putranya dengan cemas. "Kenapa, Dim? Kenapa kamu merasa seperti itu? Apa yang terjadi dengan Mayang? Dia kan baik-baik saja, bukan?"Dimas menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Ibu, Mayang itu... dia terlalu keras kepala. Dia lebih mengutamakan ego daripada memahami aku. Keluarganya juga kacau. Bahkan tadi ibu kandungnya datang ke rumah? Itu saja sudah membuat suasana semakin panas. Ibu Mayang itu tidak pernah peduli dengan dia, tiba-tiba datang dan mau bawa Mayang pergi."Ibu Dimas merasa terkejut mendengar keluhan itu. "Kamu harus bersabar, Dim. Setiap keluarga punya masalahnya sendiri.""Tapi, Bu,
Bahkan wanita paruh baya itu menatap Dimas dari atas sampai ke bawah, membuat Dimas sedikit risih.“Asli mana kamu?” tanya wanita itu.“Saya dari kampung sebelah, Bu,” jawab Dimas mencoba tetap bersikap sopan. Meskipun nada suara wanita yang mengaku sebagai ibu Mayang itu terdengar ketus.“Kerja apa?”“Dulu saya guru.”“Dulu? Guru? ASN?” tanya wanita itu.Dimas hanya menggeleng. Pertanyaan biasa, tapi membuat hati terasa perih mendengar.“MAsih honorrer,” jawab dimas pelan.“Lalu maksut kamu yang dulu itu bagaimana? Sekarang kamu bantu bantu di usaha Subrata?” tanya wanita itu lagi.Dimas kembali hanya menggeleng dengan pelan, sembari menghela nafas.“Lalu kamu kerja apa sebenarnya? Kamu tidak bekerja begitu?” tanya wanita itu semakin berapi api.Dimas tidak menjawab apa apa. Ia harus mengelak apa lagi, jika yang dikatakan wanita itu memang benar adanya.Wanita itu tiba tiba mengusap wajahnya dengan kasar.“Ya Tuhan Subrata, kenapa kamu tidak memberi tau aku jika Mayang menikah,” ucap
Pak Subrata melihat ketegangan yang terjadi antara Aruna dan Mayang. Wajahnya memerah marah ketika ia memahami bahwa situasi ini sudah terlalu jauh. Ia tidak menyangka bahwa Aruna akan berani melabrak Mayang di rumahnya sendiri."Aruna, apa yang kamu lakukan di sini? Apa maksud semua ini?" Pak Subrata mendekati Aruna dengan langkah cepat, suaranya penuh dengan kemarahan yang ditahan.Aruna menatap Pak Subrata tanpa gentar. "Aku datang untuk menuntut keadilan, Pak. Anak buah Bapak sudah mengaku bahwa Bapak yang menyuruhnya untuk mencelakakanku. Aku hanya ingin memastikan Mayang tahu bahwa tindakan seperti ini tidak akan dibiarkan begitu saja.Apa yang aku lakukan kepada keluarga kalian? Apa ada perbuatanku atau keluargaku yang merugikan keluarga besar kalian? Coba katakana ! Laki laki ini kan yang kalian mau? Dia sudah menjadi bagian dari keluarga kalian. Lalu apa yang kalian mau lagi?” tanya Aruna dengan kilatan emosi di wajahnya.Pak Subrata menghela napas panjang, mencoba menenangka