Terimakasih ya, ada yang minta lebih dari 1 bab. Sayang sekali, othor hanya mampu 1 bab saja sehari. Lagi on going novel ISTRI BERCADARKU MANTAN MAFIA, yang dua bab sehari. Huhuhu senengnya rupanya ada yang ikuti cerita ini. Ada yang bertanya ini nyata apa fiksi, rasakan dalam hati, jika sampai kepedihan seorang Kinarsih sampai, percaya lah, Kinarsih itu ada.
Wanita yang masih muda dengan wajah yang bulat, mata lebar dan bibir tipis itu menjadi sosok yang sangat tegar. Wajah cantiknya terkikis oleh lelah fisiknya untuk tetap hidup bersama anaknya. Tidak pernah lagi ia menangis meratapi nasib. Ia yakin, selama ia berusaha pasti ada jalan untuknya. Sedari selesai sholat subuh, Kinarsih disibukkan dengan cucian yang menumpuk. Untung saja, Ilham masih tidur dan jarang rewel. Mungkin bayi itu paham, ibunya butuh dia tetap tenang. Kinarsih bersyukur, saat ini banyak yang sudah percaya padanya walau itu butuh waktu yang cukup lama dan tidak mudah. Bahkan sekedar menjadi buruh cuci sekalipun, ia harus ditolak terus menerus. "Saya tidak sudi baju saya disentuh oleh perempuan yang kotor sepertimu." "Maaf, saya bisa mencuci pakaian saya sendiri, tidak butuh tenaga wanita murahan sepertimu," ucap wanita lain. "Tak perlu, cari di tempat yang lain saja." "Saya tidak mau nasib sialmu menempel di baju saya." Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat pahi
Suara gemeletuk dan erangan lembut di tengah dinginnya malam membangunkan Arsih dari tidur. Tubuhnya yang lelah seharian bekerja membuat ia mudah mendapatkan tidur yang sangat nyenyak. Sejurus matanya memandang, ternyata suara itu berasal dari putra semata wayangnya yang sedang mengigil dengan mata tertutup. "Ilham?" panik Arsih memegangi kepala anaknya. Ilham demam. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Arsih terkesiap. Ia menelan paksa salivanya yang terasa mengering. Panik. 'Ya Allah aku harus bagaimana ini' batinnya meronta. Kinarsih mengambil air hangat dan mengompres anaknya. Sejak malam itu, ia terus terjaga. Kondisi kesehatan Ilham makin memburuk. Sudah tiga hari panasnya naik turun. Obat warung tidak ada yang benar-benar membuat bocah itu sembuh. Pagi-pagi, dengan bergegas, Kinarsih memapah anaknya yang sudah lemah menuju jalan raya besar. Kalau-kalau ada cidomo atau tumpangan yang bisa menolongnya menuju puskesmas di pusat desa. Syukur saja, kenalan ayahnya dulu memberinya tumpang
Badai menghampiri Adelia dengan sangat cepat sehingga Arsih tidak punya pilihan lain selain berdiri tegak dengan tampilannya yang tidak terawat. Melihat sosok wanita cantik yang ia kenal berubah menjadi wanita yang lusuh, kurus dan tak terawat. Badai tercengang heran. Hampir saja ia tidak mengenalinya. Mana Kinarsih yang dulu yang membuatnya jatuh cinta? "Arsih? Kamu kah itu?" sapa Badai. Kinarsih masih mematung. Ia tidak memiliki perbendaharaan kata saat bertemu dengan laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Tak peduli seburuk apa dia wujudnya sekarang, hati wanita itu telah menjadi batu. "Eemmm ... aku ketemu Arsih di sini. Dia lagi ...." Belum selesai Adelia menjelaskan, terdengar suara bocah memekik dari lorong itu. "Mamak!!!! Cepetan!!!!" teriaknya. Semua mata tertuju pada suara itu. Badai melihat bocah itu melambai dari kejauhan. Matanya menjadi buram. Nafasnya tertahan. Ia tahu, bahkan hanya sekali melihatnya. Itulah anak yang dia telantarkan bersama ibunya. Itulah
Adelia meletakkan cangkir bertatakan warna emas di samping suaminya. Sudah satu minggu sejak kejadian itu, Badai tak banyak bicara dan lebih banyak duduk merenung. "Tehnya, Mas," ucap Adelia masam. "Ya, terimakasih, Dek." Setelah mengucapkan itu, Badai kembali diam. "Kamu jangan terlalu mikirin ucapan dokter. Keajaiban Tuhan itu ada. Kamu jangan kayak orang mau mati besok aja. Sudah macam ayam makan racun kamu," omel Adelia tak sungkan-sungkan. Sebelumnya Adelia selalu santun, sekarang wanita itu banyak mengoceh. "Kamu kenapa sih, Dek? Dari kemarin marah terus, uring-uringan," tegur Badai menoleh sebentar pada istrinya. "Gimana gak pusing, Mas. Kamu bulan ini gak kasih aku uang belanja seperti biasa. Baru setengahnya. Sepuluh juta sebulan, mana cukup, Mas! Tahu gini, aku terima aja tawaran temanku yang seorang dokter, kerja di kliniknya." Badai menghela napasnya kuat-kuat. Tahun ini, dia tidak mendapatkan perpanjangan kontrak kerja di proyek pertambangan emas di daerah Sumba
"Aku hanya mampir. Sekalian mau minta maaf, soal kejadian kemarin. Aku ... tak seharusnya seperti kemarin. Maafkan ya," ucap Badai berusaha lemah lembut. Kinarsih langsung mundur. Tatapannya tajam menyorot tak berkedip. "Pergi dari sini, Badai. Pergi!" "Ayo lah. Redamlah kemarahanmu padaku. Aku ingin berubah, bertaubat, memohon maafmu, Kinarsih. Allah saja pasti menerima taubat hambanya, kita sebagai hamba, jangan melebihi batasan sebagai makhluk." Badai mencoba membujuk Kinarsih dengan mendekati wanita itu. Begitu terdengar indah dan bijak kalimat itu. Namun Kinarsih mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Jangan bawa nama Allah, Badai. Saat kau mencampakkanku, memberikanku bangkai yang busuk, dan aku menanggung segala keperihannya, kau sama sekali tidak melibatkan Allah. Jika sedikit saja kau ingat Allah, maka kau tidak akan sekejam itu padaku. Tiga tahun telah terlalui Badai, dan aku masih ingat setiap butir ucapanmu padaku." "Arsih ... ma
Matahari sudah sepenggal naik. Di tengah sawah cabai yang begitu luas, seorang bocah laki-laki mondar mandir, melompat kadang juga ia berlari menelusuri pematang sawah. "Ilham!! Mainnya jangan jauh-jauh!!" teriak ibunya. "Nggih, Mamak!" Begitulah kehidupan janda satu anak itu. Ia sekarang lebih banyak bekerja di sawah orang lain. Kebetulan, musim cabai yang sekali setahun sedang berlangsung. Menjadi buruh harian pemetik cabai lebih banyak upahnya dalam sehari. Bisa sampai 60.000 dalam satu hari penuh. Ia juga sedikit trauma berada di rumah. Takut-takut, mantan suaminya datang lagi. Ia lebih baik membawa anaknya bekerja di sawah, dari pagi sampai menjelang maghrib. "Kinarsih, kenapa kamu tak menikah lagi?" Minah mengawali percakapan. Ada lima wanita muda di sana yang sudah berlangganan memetik cabe. "Jodohku belum ketemu, Nah," jawab Kinarsih datar. "Jodohnya langsung kabur pas sah," ejek Diana. Atun dan Hijjah cekikikan. Sedari dulu memang Diana selalu bersinggungan dengan Arsi
"Mak! Main," pinta Ilham mendengar beberapa temannya sedang saling kejar. "Boleh, ini pakai belanja. Traktir teman-teman juga, ya!" seru Rian menyodorkan uang lima puluh ribu. "Rian, itu terlalu banyak!" seru Kinarsih. Kedipan mata dari Rian membuat Kinarsih langsung terdiam. Rian tersenyum kecil mengiringi langkah kaki Ilham berjinjit-jinjit senang. "Nah, hp ini sudah siap. Gunakan sebaik mungkin." Kinarsih fokus melihat ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Senang, tentu saja. Namun dia sangat malu mendapatkan perlakuan baik seorang pemuda tampan dan berkarir sukses. "Ini hadiah dari seorang kawan, jangan kamu anggap hutang," lanjut Rian. "Ini terlalu banyak," lirih Kinarsih dalam. "Tidak sama sekali. Hanya seharga makan siang di restoran," kekeh Rian yang disambut bibir monyong Kinarsih karena merasa Rian begitu gaya. "Aku ingin kamu sukses, Kinarsih. Banyak hal di luar sana yang belum kita ketahui. Carilah sesuatu yang cocok untukmu." Kinarsih mengangguk dengan tan
Adelia menyemprotkan wewangian di sekujur tubuhnya. Malam ini dia akan menggoda suaminya sebab ia yakin, Badai masih menyimpan uang hasil gadai mobil. Melihat istrinya seperti memberikan sinyal, Badai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sudah sangat lama ia pun tidak mendapatkan kehangatan dari istri cantiknya. Setelah bergumul hingga keduanya sama-sama terengah-engah, Adelia masih memeluk suaminya. "Mas, nafkah bulan ini berarti bisa full ya," rayu Adelia membelai dada Badai. "Maaf Sayang, belum bisa. Kita malah butuh untuk mengurus kasus penipuan itu. Setidaknya biar Paman Rocki bisa segera ditangkap. Kamu mau kan bantu aku? Kalau Paman Rocki bisa balikin duit yang 1 M itu, pastilah kita juga akan mendapatkan bagian." Adelia langsung cemberut. Ia sudah semaksimal mungkin melayani ranjang Badai, meski dirinya belum benar-benar terpuaskan. Sekarang ia tidak hanya mendapatkan penolakan, tapi justru suaminya meminta bantuan. Malas sekali rasanya dan wanita itu menjadi enggan. "Ak
"Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum
Sore itu Kinarsih mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan beberapa telepon dan pesan dari Rian tidak dia indahkan karena rasa khawatirnya terhadap Ana. Biar bagaimana pun anak adalah sepupunya. Dulu saat mereka masih kecil seusia SD, mereka sempat dekat. Namun Ana selalu mendapatkan hasutan dari Erni sehingga gadis itu menjadi sangat tidak bersahabat. "Kamu sedang menunggu siapa?" tanya Yanto. "Bukan siapa-siapa, Wak.""Kamu mau pulang?"Kinarsih menggeleng. Tak sampai hatinya untuk meninggalkan Erni yang semakin memburuk. Lebih-lebih, wanita itu sudah meminta maaf berkali-kali. Yanto juga sering keluar tinggalkan rumah jika ada kerjaan dari kantor desa yang membutuhkan tenaganya."Kenapa kamu tampak gelisah begitu?" tanya Yanto. Kinasih menoleh kepada uwaknya itu dengan tatapan sayu. "Tak tenang hati ini memikirkan Ana, Wak. Satu minggu bukanlah waktu yang sedikit.""Biarkan saja dia. Nanti kalau uangnya sudah habis, dia pasti pulang. Aku yakin dia sudah menjual perhiasan itu dan tin
"Tidaak!!!! Kau kira aku barang murahan! Seenaknya kau tawarkan begitu. Aku hanya inginkan Rian. Rian cinta pertamaku. Yakinlah Rian, aku sungguh mencintaimu. Huhuhuhu ...," tangis Ana tak mau Rian melepaskan pelukannya walau Rian sudah memberi isyarat kuat."Kau mengagungkan cinta pertama. Tanyakan Rian, siapa cinta pertamanya?" tantang Kinarsih percaya diri. Diabaikannya Badai yang sedari tadi menatapnya tajam. Ana tak mau bicara. Hanya isaknya saja yang jelas terdengar."Kinarsih cinta pertamaku dan terakhirku, An. Aku akan berjuang untuknya. Tolong lepaskan aku." Rian mencoba lagi. Kali ini dengan sedikit kekuatannya. Namun ia gagal. Ana semakin mengeratkan pelukannya. Jika ia memaksa, takut gadis ini semakin nelangsa. Rian kembali pasrah.Kinarsih mendekati mereka. Memegang kasar bahu Ana lalu menariknya."Lepaskan!" Ana tersungkur ke lantai."Janda setaaaan! Beraninya kamu kasar kepadaku!!!"Ana mengamuk, mencoba menerkam Kinarsih. Rian menangkap tangannya, menghempaskannya lalu
"Aaaa-aarsih," panggil Erni dengan suara yang sangat payah. Kinarsih menoleh, tanpa menjawab. Itu pun dia kembali merapikan kain yang dipakai Erni. Mood Kinarsih sedang buruk. "Mmma-mmaaafkan aak-ku," ucapnya terbata. Kinarsih tak menjawab, terus saja dia membersihkan debu dan pasir yang di sprei itu. Entah darimana datangnya."Kkaaau maau kan?"Kembali Erni mencari jawaban dari mulut Kinarsih. Namun wanita muda itu sungguh enggan untuk berbicara sepatah kata pun padanya. Erni menyerah. Ujung matanya meneteskan air mata dan dia pun tak mampu mengusapnya.Hari berikutnya .... "Ma-aafkan a-aku," suara Erni tersendat namun jelas di telinga Kinarsih yang sedang mengelap tubuhnya. Ia mencoba menatap wajah wanita muda yang dia benci sejak kecilnya, sampai dimana ia sendiri mendengar pengakuan menjijikan putrinya sendiri. Justru, yang dibenci yang berbakti. Sungguh sangat memalukan. Yang disayang-sayang, dimanja-manja, jangankan sudi merawat j