"Jangan banyak drama. Bukankah ibumu tukang selingkuh? Bisa jadi kamu bukan anak kandung ayahmu. Iya kan, Mas?" Vonny menoleh, minta jawaban Baim yang duduk di sampingnya. Baim membeku, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana.Aldo menghentikan langkah dan tak lagi mendekati ayahnya. Dia memilih mundur, kembali berdiri di samping Raka yang masih menyaksikan sikap Aldo setelah mendengar tuduhan Vonny barusan. "Jadi, Baim ini mantan suaminya Meira?" tanya Sundari kemudian. Wicaksono pun masih terkejut saat melihat pemandangan di depan matanya. Dia tak menyangka jika anak perempuan kesayangannya justru berhubungan dengan duda. "Betul, Ma. Calon suami Vonny itu adalah mantan suami Meira. Mama tahu kenapa wajahku memar kemarin? Dia pelakunya. Laki-laki temperamental yang main tonjok saja tanpa mencari tahu lebih dulu duduk permasalahannya. Yakin itu yang akan menjadi menantu papa dan mama?" Raka tersenyum tipis. Dia sengaja menguliti lelaki itu di hadapan orang tuanya agar mereka tahu
"Papa mengizinkanku menikah kan?" ulang Vonny karena papanya belum juga menjawab. "Belum. Sampai kamu sudah dewasa dan bisa lebih bijak menyelesaikan suatu masalah." Wicaksono tersenyum tipis lalu mengusap puncak kepala anaknya. "Papa ...." Lagi-lagi Vonny merajuk. Perempuan itu kembali mengerucutkan bibirnya. Melihat sikap manja adik senasabnya yang keterlaluan itu, Raka benar-benar muak. Apalagi saat Vonny meremehkan Sundari dan selalu merasa menjadi anak tiri yang didzalimi, Raka ingin sekali menyumpal mulut itu agar diam seketika. Nggak ada seorang anak pun yang rela ibunya disakiti bukan? "Meira, tolong ceritakan tentang kamu dan Aldo pada kami," ujar Wicaksono kemudian. Vonny dan Baim sama-sama tercekat mendengar permintaan itu. Mereka saling pandang beberapa saat lalu mengalihkan pandangan pada Meira yang duduk di samping Raka. Perempuan itu masih menunduk sembari meremas jemarinya karena bingung dan takut harus bicara apa. "Jujur jauh lebih baik." Hanya itu ucapan lirih
Meira masih menyiapkan baju Aldo saat terdengar ketukan keras di pintu kamarnya. Meira buru-buru membuka pintu setelah mendengar panggilan seseorang yang begitu keras dari luar. "Lama banget sih!" sentak perempuan itu saat melihat Meira muncul di ambang pintu. "Maaf, Non. Ada apa ya?" Vonny tiba-tiba menyeruduk masuk lalu menutup pintu rapat. Meira sedikit berdebar melihat ekspresi perempuan di hadapannya yang begitu menyebalkan itu. "Nggak usah sok polos dan sok nggak tahu apa-apa deh!" Vonny mendorong kasar bahu Meira sampai terbentur lemari pakaiannya. "Kamu mau ngapain ya, Non Vonny. Sudah kubilang nggak akan pernah mengusik hubunganmu dengan ayahnya Aldo. Apa belum puas?" Meira berdiri tegak. Dia nggak mau terus diinjak-injak oleh perempuan tak tahu diri itu. Sekarang, dia mulai berani karena punya senjata ampuh untuk membuat Vonny mati kutu. Meira sudah menggenggam kartu merahnya. Meira tahu jika Vonny begitu mencintai Baim, entah di mana titik pesona lelaki itu sampai memb
"Aku pastikan akan menjadi menantu di rumah ini, Mei. Supaya kamu makin panas karena melihatku bahagia bersama Vonny. Kamu lihat sendiri bagaimana cintanya dia padaku kan? Kamu pasti akan menyesal sudah mengkhianati cintaku selama ini. Lihat saja nanti. Aku akan menjadi bagian dari keluarga terhormat dan terpandang ini, memiliki jabatan penting di perusahaan atau bahkan memiliki cabang perusahaan sendiri." Bisikan Baim sebelum dia pamit pulang kemarin kembali terngiang di benak. Meira melihat ambisi itu di mata mantan suaminya. Meira baru sadar, ternyata sikap Baim tak jauh dari ibu dan kakak-kakaknya yang materialistis. Bahkan, Baim sampai memastikan akan menjadi bagian dari keluarga Wicaksono dengan cara apapun. Mengerikan. Itu artinya, penolakan halus Wicaksono dan Sundari tak terlalu dikhawatirkannya. Baim merasa jumawa karena sudah memegang hati Vonny yang entah karena apa bisa sebucin itu padanya. Aneh memang, tapi Meira menduga jika mantan suaminya mendekati Vonny dengan cara
"Assalamualaikum, Bunda. Bunda apa kabar? Maaf kalau Mei nggak ngasih bunda kabar beberapa minggu belakangan." Meira sedikit gugup saat Una memberikan handphonenya pada bunda. "Wa'alaikumsalam, Nak. Alhamdulillah bunda baik. Adik-adikmu di panti juga sehat dan makin pintar. Kamu sama Aldo gimana kabarnya?" Mendengar suara lembut bunda membuat Meira semakin berkaca-kaca. Sejak dulu, wanita itu memang selalu membuatnya tenang. Senyum manisnya, cinta tulusnya, mata teduhnya, pelukan hangatnya, semua yang ada pada bunda selalu membuat Meira rindu. Hanya saja, waktu dan kondisi yang membuatnya tak bisa leluasa dan cerita banyak hal pada ibu pantinya itu. "Alhamdulillah sehat juga, Bun. Aldo naik kelas tiga sekarang. Kami tinggal di Jogja." Akhirnya Meira jujur, meski dia yakin jika Una sudah menceritakan secuil kisahnya pada bunda. "Iya, Una barusan cerita kalau kamu sama Aldo di Jogja. Bunda nggak menyangka jika Baim bisa setega itu menjatuhkan talaknya padamu, Mei. Jujur bunda kecewa
Meira tersedak saat mendengar kata ayah yang diucapkan bunda. Matanya yang tadi berkaca kini mulai meneteskan embun bening. Meira terisak. Melihat bundanya terus menangis, Aldo yang sedari tadi memperhatikannya dari ranjang pun melangkah perlahan mendekat lalu memeluk bundanya. "Bunda jangan menangis lagi," ujarnya lirih. Meira pun mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan. Bayang-bayang ayah yang selama ini dimimpikan Meira akan menjadi kenyataan. Namun, di sudut hati lain dia kembali merutuki laki-laki itu. Kenapa dia dan istrinya tega membuang Meira ke panti asuhan bahkan setelah sekian tahun lamanya tak pernah tahu dimana dan bagaimana kabarnya. 'Kenapa? Kenapa ibu dan bapak tega membuang Meira di sini, Bunda? Kenapa Mei nggak dirawat seperti anak-anak yang lain? Apa salah Mei sampai mereka tak mau mengakui Meira sebagai buah hatinya? Kenapa, Bunda? Kenapa adik-adik yang lain bernasib sama seperti Meira? Kami nggak akan nakal, Bun. Kami akan menjadi anak yang penurut dan patuh
"Ada Pak Joko atau Pak Ujang, Ma. Kenapa harus aku lagi yang mengantar Meira?" protes Raka saat Sundari terus meminta dan membujuknya untuk mengantar Aldo ke sekolah. "Mama nggak tega kalau Aldo dibully teman-temannya, Raka. Makanya, mama minta tolong sama kamu supaya urus pendaftaran Aldo ke sekolah. Mungkin jika kamu yang mendaftar akan membuat Aldo lebih percaya diri. Kalau mama nggak ada acara ke Semarang, mama juga nggak akan minta tolong sama kamu." Sundari menghela napas panjang saat melirik wajah Raka yang muram. "Kali ini saja ya, Ma? Lain kali aku nggak mau diikutsertakan dalam masalah seperti ini. Takutnya ada yang lihat dan jadi fitnah kalau-- "Kalau kamu dan Meira ada hubungan khusus? Kenapa memangnya kalau ada, Meira sudah janda dan kamu duda kan?" Sundari tersenyum tipis lalu mengusap perlahan lengan anak sulungnya. "Meski sudah memiliki anak sebesar Aldo, tapi tubuhnya begitu terawat. Dia cantik dan memiliki tubuh ideal. Selain itu, dia juga lembut, sabar dan keibu
"Kamu antar Aldo ke sekolah, biar nanti Dee main sama Yuni dulu," ujar Sundari lagi. "Tapi saya belum masak, Bu. Tadi baru kelar mencuci baju sekalian setrika baju yang dicuci kemarin.""Nggak apa-apa, Mei. Dee bisa sarapan pakai roti atau telur rebus atau ikan. Gampanglah nanti biar Yuni yang urus. Berangkat sana, biar Aldo nggak telat." Meira kembali mengangguk. Tak menunggu lama, Raka beranjak dari kursi setelah mendapat cubitan kecil mamanya. Aldo dan Meira pun pamit. Mereka sama-sama mengangguk pelan saat bersitatap dengan Sundari yang masih duduk di sofa."Belajar yang pintar ya, Al. Semoga betah di sana dan punya banyak teman. Semangat belajarnya ya." Sundari memberi secuil nasehat yang membuat Aldo semakin berbinar. Dia merasa begitu diharapkan dan disayang di rumah itu. Perhatian-perhatian dari orang-orang dewasa di rumah ini membuatnya semakin yakin jika masih ada orang baik yang menyayanginya. Aldo juga percaya jika bundanya akan baik-baik saja sekalipun Vonny terus meny
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin