[Bapak kenal dengan Agus Dharmawangsa?] Pesan dari Surya membuat kedua mata Wicaksono membulat lebar. Cukup kaget melihat nama itu di layar handphonenya. Nama yang tak mungkin bisa dia lupakan setelah kejadian beberapa bulan silam. [Kenal, Sur. Ada apa? Dia yang menjadi dalang semua ini?]Tanpa basa-basi, Wicaksono membalas cepat. Jika memang Agus dalangnya, sungguh itu tak ada dalam benak Wicaksono sebelumnya. Dia pikir ada orang baru yang sengaja ingin mengusik keluarganya. [Bisa jadi, Pak. Kami masih terus menyelidikinya. Tapi beberapa bukti yang kami temukan memang mengarah ke sana.]Lagi-lagi pesan Surya membuat Wicaksono semakin gusar. Dia menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Teringat kembali kejadian beberapa tahun silam dengan laki-laki itu. Agus Dharmawangsa. Juragan tanah yang dulu sempat cekcok dengannya gara-gara pembangunan ruko. Bukan kesalahan Wicaksono sampai akhirnya laki-laki itu di penjara. Hanya saja, kejahatannya terbongkar sete
Wicaksono turun dari mobil, diikuti Yudha dan Surya. Sementara Broto mencari tempat untuk parkir mobil. Kini, Wicaksono sudah berdiri di depan pagar rumah megah milik Agus Dharmawangsa. Pintu gerbang hitam yang menjulang tinggi tampak angkuh, seperti ingin menyembunyikan rahasia besar di baliknya.Surya yang berdiri di sebelah kanan Wicaksono, menekan bel di tembok samping pintu gerbang besi. Ketiga lelaki itu masih terdiam, menunggu respon penjaga rumah. Tak lama, seorang penjaga wanita paruh baya keluar dengan tergesa."Rumah sebesar ini nggak ada satpamnya, Pak?" lirih Surya pada bosnya. "Dulu sih ada. Sekarang kurang tahu. Sudah lama nggak ke sini." Wicaksono membalas sembari mengamati sekeliling yang cukup sepi. "Bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan nada datar setelah membuka sedikit gerbangnya. "Kami perlu berbicara dengan Pak Agus. Apakah Pak Agusnya ada?" Surya mewakili bosnya bertanya pada wanita itu. Penjaga itu terlihat ragu. Dia melirik ketiga lelaki yang kini berd
Malam itu, Raka duduk di sofa ruang keluarga sambil membaca koran yang sebenarnya tidak benar-benar dibacanya. Tatapannya sesekali melirik ke arah Meira yang menemani Aldo menelepon ayahnya. Suara Aldo terdengar semringah saat mengucapkan terima kasih karena kado dari ayahnya sudah dia buka. Raka tak pernah mempermasalahkan sikap Baim pada Aldo ataupun sebaliknya. Dia justru senang jika kini Baim sadar akan tanggungjawabnya sebagai ayah, sekalipun hak asuh Aldo tak jatuh ke tangannya. Namun, sebagai suami Raka cukup cemburu melihat kedekatan Meira dengan mantan suaminya itu. Apalagi dari tatapan Baim begitu ketara jika dia masih menyimpan rasa pada Meira. Cinta itu masih ada dan belum hilang."Mas, sudah selesai makannya? Maaf tadi ditinggal sebentar, soalnya Aldo minta ditemani," ujar Meira dengan senyum tipis, meski sebenarnya dia juga tahu jika suaminya dilanda cemburu. Wajah Meira tampak lelah karena aktivitasnya hari ini cukup padat, tapi tetap manis seperti biasanya."Nggak na
Meira sedang membereskan meja rias ketika sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Dia membuka layar dan mendapati undangan digital berwarna pastel yang mencantumkan nama Dina, sahabatnya, sebagai mempelai wanita. Dina adalah anak Lasmi, janda sederhana yang dulu menampung Meira dan Aldo saat pertama kali singgah di kota Jogja. "Dina? Nikah?" gumam Meira sambil mengernyitkan dahi.Dia langsung menekan ikon telepon di kontak Dina."Assalamualaikum, Mbak Meira. Gimana kabarnya sekarang? Mentang-mentang sudah nikah, sibuk sekali rupanya. Sampai nggak pernah main ke rumah," ujar Dina terdengar begitu cerita di seberang. "Alhamdulillah baik, Din. Kamu sendiri tentu jauh lebih baik kan sekarang ?" tanya Meira dengan tersenyum tipis. Terdengar tawa kecil Dina, pertanda kebahagiannya detik ini. "Ibu gimana? Sehat? Titip salam dan maafku pada ibu ya, Din. Maaf banget belum sempat datang ke sana beberapa hari belakangan ini. Kebetulan beberapa hari lalu Dee demam, terus sekarang Aldo lagi sedik
[Mei, ada waktu nggak? Mau ngobrol sebentar bisa?] Pesan dari Ken membuat Meira kembali mengernyit. Tak biasanya Ken chat seperti itu, bahkan sampai minta waktu segala. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. "Mungkinkah tengang Dina?" lirih Meira saat membaca kembali pesan WhatsApp dari adik iparnya itu. "Apa dia mau curhat? Tumben," gumamnya lagi. [Lagi di rumah, Mas. Main sama Dee. Ada apa?] Meira membalas pesan Ken sembari merapikan puzzle anak perempuannya yang berantakan itu. [Kamu tahu Dina mau nikah, Mei?] Meira tersenyum tipis. Benar dugaannya, Ken akan cerita soal Dina. Mungkin Ken juga sama sepertinya yang agak kaget mendengar kabar spesial ini, apalagi seperti yang Dina ceritakan jika hubungannya dengan Wisnu sebelumnya hanya sebatas teman. Bukan pacar. Cukup mengejutkan memang jika dari teman berubah menjadi calon suami. Mungkin Ken juga cukup kaget mendengar hal itu. [Barusan Dina juga kirim undangannya ke aku, Mas. Aku juga baru tahu hari ini. Dia tak
"Mas, langsung ke lokasi atau mau mampir-mampir dulu?" tanya Bagas, supir pribadi Ken di Jakarta. "Langsung ke lokasi saja, Gas. Mau lihat sudah sampai mana pembangunan ruko ini. Kamu sudah makan?" tanya Ken pada Bagas dan Ridho, bodyguardnya yang baru saja masuk mobil. "Sudah, Mas. Tadi Bi Mia yang nyiapin sarapannya. Memangnya Mas Ken belum makan?" tanya Ridho sembari memakai selt beltnya. "Sudah. Tadi ngopi sama roti bakar. Kalau gitu kita berangkat sekarang." Ridho dan Bagas mengangguk bersamaan. Ketiga lelaki itu pun meluncur ke lokasi proyek pembuatan beberapa ruko yang sedang digarap Ken. Dalam perjalanan, Ken membahas tentang bisnisnya itu pada Raka, kakak semata wayangnya. "Makanya, kamu harus serius biar papa percaya sama kamu, Ken. Jangan main-main terus. Ingat umur sudah kepala tiga. Waktunya berumah tangga juga. Kata Meira kamu dekat dengan seseorang. Kenapa nggak dikenalkan sama keluarga?" cecar Raka seolah punya kesempatan untuk memberikan wejangan panjang lebar p
"Siapa namanya, Gas?" Ken mulai penasaran dengan gadis sederhana yang ditemuinya tadi. "Kenapa, Mas? Penasaran juga?" sindir Bagas sembari mencebik. Ken menimpuk badan Ken dengan botol mineral yang kosong lalu kembali melanjutkan makannya bersama para pekerja. Ken memang sesederhana itu. Dia anak yang supel, jadi mudah bergaul dengan siapapun dan dari golongan apapun. "Hanum Salsabila. Nama yang cantik, secantik orangnya. Benar kan, Mas?" Ridho menimpali. Ken hanya tersenyum tipis, kembali membayangkan senyum manis Hanum saat mengucapkan terima kasih pada Bagas dan Ridho beberapa menit lalu. "Rumahnya di mana, Dho? Sekitar sini juga?" Ken tak bisa membendung rasa penasarannya. "Pak mandor bilang sih nggak terlalu jauh dari warungnya, Mas. Tapi sepertinya sudah punya calon. Entah pacar entah suami. Soalnya tadi kami sempat lihat ada laki-laki yang membawakan kue untuknya." Bagas terdiam sejenak, ikut mengingat kejadian di warung Hanum tadi. "Memangnya itu pacarnya, Dho? Jangan
[Papa mau ke Jakarta, Mas? Apa ada masalah serius soal proyek ini?]Pesan Ken terkirim. Dia sedikit gelisah saat tahu papanya akan terbang ke Jakarta. Beragam pertanyaan mulai muncul di benak. Mungkinkah papanya tak percaya dengan kemampuannya menangani proyek ini? Atau ada hal lain yang tak berhubungan dengan bisnis? Jika iya, masalah apa sampai dia tak tahu apapun soal itu? [Papa mau cek proyek yang kutangani atau mau kemana, Mas?]Pesan kedua terkirim, tapi belum juga dibaca oleh Raka. Rasa cemas mulai terasa sebab Ken takut papanya benar-benar tak mempercayainya. Padahal dia ingin sekali menangani proyek ini sendiri. Ken ingin membuktikan pada papa dan mamanya jika dia bisa fokus dengan bisnis keluarga dan tak lagi main-main seperti sebelumnya. [Papa mau ke Jakarta bukan ngurusin bisnis, Ken. Beliau percaya sama kamu. Tenang saja. Ini masalah kecelakaanku sama Meira tempo hari. Kabarnya, pelaku sudah kabur ke Jakarta beberapa hari belakangan. Sepertinya mau ke luar Jawa pakai ja
Ken menatap Hanum yang sedang sibuk melipat baju di atas tempat tidur mereka. Cahaya lampu kamar yang temaram menyorot wajah Hanum yang serius. Dia terlihat cantik meski hanya memakai piyama dengan lengan pendek dan celana panjang. Ken menghela napas pelan, merasa beruntung memiliki Hanum di sisinya."Sayang," panggil Ken sambil duduk di tepi ranjang, kedua tangannya bersandar ke belakang. Hanum menoleh. "Ya, Mas. Ada apa?" tanya Hanum dengan senyum tipis. Ken pun tersenyum kecil. "Lusa, kita ke Jogja, ya?" ujarnya. Hanum menghentikan lipatannya, menatap Ken dengan alis terangkat. "Ke Jogja, Mas? Beneran kamu mau ajak Hanum ke Jogja secepat ini?" tanya Hanum lagi. Meski Ken sudah memberitahu soal wacana itu sebelumnya, tapi Hanum masih tak percaya jika secepat itu rencana akan terlaksana. "Iya, Sayang. Lebih cepat lebih baik, supaya bapak juga semakin yakin kalau aku punya keluarga. Kedua orang tuaku juga pengin ketemu menantunya yang cantik ini," jawab Ken santai.Hanum mengerut
"Maafkan bapak, Ken," ujar Rudy setelah mereka kumpul di ruang tengah. Suasana di rumah itu sudah cukup tenang dan lengang. Tak seperti tadi yang berisik, penuh emosi dan ketegangan. Para tetangga pun sudah kembali ke rumah masing-masing karena malam semakin beranjak naik. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. "Maaf dalam hal apa, Pak? Bapak nggak salah apapun. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan," balas Ken tenang. Laki-laki itu duduk di sofa, bersebelahan dengan istrinya. Di meja terdapat beberapa cangkir teh dan camilan untuk teman ngobrol mereka. "Bapak banyak salah sama kamu. Selama ini kurang percaya sama menantu sendiri, banyak curiga bahkan harus melibatkanmu soal hutang keluarga. Padahal kamu baru saja menjadi menantu. Sekali lagi maaf atas ketidakberdayaan bapak ini." Rudy kembali menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Saya sudah menjadi suami anak bapak secara sah. Jadi, bapak juga orang tua saya sekarang. Bagian dari keluarga s
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati