[Mei, ada waktu nggak? Mau ngobrol sebentar bisa?] Pesan dari Ken membuat Meira kembali mengernyit. Tak biasanya Ken chat seperti itu, bahkan sampai minta waktu segala. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. "Mungkinkah tengang Dina?" lirih Meira saat membaca kembali pesan WhatsApp dari adik iparnya itu. "Apa dia mau curhat? Tumben," gumamnya lagi. [Lagi di rumah, Mas. Main sama Dee. Ada apa?] Meira membalas pesan Ken sembari merapikan puzzle anak perempuannya yang berantakan itu. [Kamu tahu Dina mau nikah, Mei?] Meira tersenyum tipis. Benar dugaannya, Ken akan cerita soal Dina. Mungkin Ken juga sama sepertinya yang agak kaget mendengar kabar spesial ini, apalagi seperti yang Dina ceritakan jika hubungannya dengan Wisnu sebelumnya hanya sebatas teman. Bukan pacar. Cukup mengejutkan memang jika dari teman berubah menjadi calon suami. Mungkin Ken juga cukup kaget mendengar hal itu. [Barusan Dina juga kirim undangannya ke aku, Mas. Aku juga baru tahu hari ini. Dia tak
"Mas, langsung ke lokasi atau mau mampir-mampir dulu?" tanya Bagas, supir pribadi Ken di Jakarta. "Langsung ke lokasi saja, Gas. Mau lihat sudah sampai mana pembangunan ruko ini. Kamu sudah makan?" tanya Ken pada Bagas dan Ridho, bodyguardnya yang baru saja masuk mobil. "Sudah, Mas. Tadi Bi Mia yang nyiapin sarapannya. Memangnya Mas Ken belum makan?" tanya Ridho sembari memakai selt beltnya. "Sudah. Tadi ngopi sama roti bakar. Kalau gitu kita berangkat sekarang." Ridho dan Bagas mengangguk bersamaan. Ketiga lelaki itu pun meluncur ke lokasi proyek pembuatan beberapa ruko yang sedang digarap Ken. Dalam perjalanan, Ken membahas tentang bisnisnya itu pada Raka, kakak semata wayangnya. "Makanya, kamu harus serius biar papa percaya sama kamu, Ken. Jangan main-main terus. Ingat umur sudah kepala tiga. Waktunya berumah tangga juga. Kata Meira kamu dekat dengan seseorang. Kenapa nggak dikenalkan sama keluarga?" cecar Raka seolah punya kesempatan untuk memberikan wejangan panjang lebar p
"Siapa namanya, Gas?" Ken mulai penasaran dengan gadis sederhana yang ditemuinya tadi. "Kenapa, Mas? Penasaran juga?" sindir Bagas sembari mencebik. Ken menimpuk badan Ken dengan botol mineral yang kosong lalu kembali melanjutkan makannya bersama para pekerja. Ken memang sesederhana itu. Dia anak yang supel, jadi mudah bergaul dengan siapapun dan dari golongan apapun. "Hanum Salsabila. Nama yang cantik, secantik orangnya. Benar kan, Mas?" Ridho menimpali. Ken hanya tersenyum tipis, kembali membayangkan senyum manis Hanum saat mengucapkan terima kasih pada Bagas dan Ridho beberapa menit lalu. "Rumahnya di mana, Dho? Sekitar sini juga?" Ken tak bisa membendung rasa penasarannya. "Pak mandor bilang sih nggak terlalu jauh dari warungnya, Mas. Tapi sepertinya sudah punya calon. Entah pacar entah suami. Soalnya tadi kami sempat lihat ada laki-laki yang membawakan kue untuknya." Bagas terdiam sejenak, ikut mengingat kejadian di warung Hanum tadi. "Memangnya itu pacarnya, Dho? Jangan
[Papa mau ke Jakarta, Mas? Apa ada masalah serius soal proyek ini?]Pesan Ken terkirim. Dia sedikit gelisah saat tahu papanya akan terbang ke Jakarta. Beragam pertanyaan mulai muncul di benak. Mungkinkah papanya tak percaya dengan kemampuannya menangani proyek ini? Atau ada hal lain yang tak berhubungan dengan bisnis? Jika iya, masalah apa sampai dia tak tahu apapun soal itu? [Papa mau cek proyek yang kutangani atau mau kemana, Mas?]Pesan kedua terkirim, tapi belum juga dibaca oleh Raka. Rasa cemas mulai terasa sebab Ken takut papanya benar-benar tak mempercayainya. Padahal dia ingin sekali menangani proyek ini sendiri. Ken ingin membuktikan pada papa dan mamanya jika dia bisa fokus dengan bisnis keluarga dan tak lagi main-main seperti sebelumnya. [Papa mau ke Jakarta bukan ngurusin bisnis, Ken. Beliau percaya sama kamu. Tenang saja. Ini masalah kecelakaanku sama Meira tempo hari. Kabarnya, pelaku sudah kabur ke Jakarta beberapa hari belakangan. Sepertinya mau ke luar Jawa pakai ja
Di bawah bayang-bayang kapal besar yang sedang bersandar, suasana pelabuhan Jakarta malam itu tampak hiruk-pikuk. Lampu-lampu dermaga menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang basah oleh gerimis. Ardi berdiri di dekat kapal kargo yang siap berangkat ke Kalimantan. Ia menggenggam koper kecilnya erat, tatapannya melesat ke segala arah, seperti seekor hewan yang merasa dirinya sedang diburu.[Aman kan? Semua sudah siap?] Sebuah pesan masuk ke aplikasi WhatsAppnya. Ardi baru saja ganti nomor handphone agar teman-temannya tak mengetahui keberadaannya detik ini. Dia juga berharap tak bisa dilacak polisi setelah keluar dari persembunyian nyaris tiga minggu lamanya. [Siap, Bos. Transferan juga sudah masuk. Cukup untuk beberapa minggu ke depan. Kalau sudah sampai, nanti saya kabari lagi] Ardi membalas dengan tangan sedikit gemetar. Bukan karena angin laut yang mulai menembus kulit, tapi dia benar-benar takut jika kali ini keberadaannya diketahui polisi. Dengan memakai celana jeans p
"Bahan-bahannya masih cukup kan, Pak? Kalau masih banyak yang perlu dibeli, catat saja. Nanti saya kirim sekalian," ujar Ken saat memantau bahan bangunan untuk proyeknya. Ken memang memeriksa cukup detail proyek itu sebab tak ingin mengecewakan papanya. Selain itu, dia juga cukup perfeksionis soal pekerjaan. Tak ingin ada yang cacat, apalagi dapat komplen pelanggan saat nanti rukonya dibeli atau disewakan. "Semua masih cukup, Pak. Nanti saya kabari Mas Bagas kalau ada kekurangan. Kemungkinan besar proyek ini kelar minggu depan. Nanti yang belakang jeda dulu atau langsung dilanjutkan, Pak?" tanya mandor bernama Simon itu. "Kalian mau mudik dulu atau mau lanjut sekalian?" Kini Ken balik bertanya sebab dia pun tahu jika para pekerjanya juga punya keluarga dan mungkin kangen dengan orang rumah. Sudah tiga bulan lebih mereka sibuk dengan bangunan ruko itu. "Sebagain besar pekerja memang ingin pulang, Pak. Tapi sebagian lagi nggak, soalnya ada beberapa yang sudah pulang lebih dulu dan s
"Kenapa kalian ada di sini? Apa yang kalian lakukan?!"Suara Hanum yang biasanya terdengar lembut kini cukup keras dan sedikit menyentak. Pasalnya dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kakak tiri dan calon suaminya berduaan di kamar, bahkan mereka saling peluk. Tak ada raut terkejut di wajah Renata, anak bawaan ibu tirinya itu. Begitu pula dengan Aziz, kepanikan Hanum saat ini seolah tak berarti apa-apa baginya. Dia terlihat santai dan tenang lalu memperlihatkan tangannya dan Renata yang saling menggenggam. "Apa maksud semua ini, Mas?" tanya Hanum lagi dengan suara bergetar. Kedua matanya mulai mengembun. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya detik ini, tapi semua rasa itu pupus sudah saat tiba-tiba Renata mencium pipi Aziz begitu saja. Lagi-lagi di depan matanya. "Apa maksud semua ini?!" pekik Hanum lagi membuat beberapa tetangga yang berada di luar kamar ikut merangsek masuk. Mereka kaget melihat Renata dan Aziz saling peluk seolah tak ingin dilepaskan. Sementara Hanum
"Kalau memang kamu lebih menyukai Rena dibandingkan Hanum, seharusnya kamu bilang sama paman jauh-jauh hari, Ziz. Bukan dengan cara menjijikkan seperti ini. Bukan pula hari ini. Kalian benar-benar keterlaluan. Sengaja mempermalukan Hanum di depan orang banyak kan?!" sentak Rudy tak terima dengan sikap semena-mena mereka. "Sudahlah, Pak. Jangan terus menyudutkan Mas Aziz. Selama ini bapak yang selalu menjodohkannya dengan Hanum. Bapak nggak tanya lebih detail bagaimana perasaannya. Mas Aziz juga nggak enak hati mau menolak, makanya iya-iya saja. Tapi mungkin semalam dia benar-benar berpikir siapa yang pantas bersanding dengannya, aku atau Hanum. Makanya, hari ini mau nggak mau, bisa nggak bisa dia harus memilih salah satu. Bukan salahku juga jika akhirnya pilihan itu jatuh ke tanganku kan?" Renata menyahut, membuat Rudy semakin emosi. Namun, semua pembelaannya runtuh saat Mawar terang-terangan membela anak kandungnya. Bahkan calon besannya pun justru melakukan hal yang sama. Suratri
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,