“Enggak!” Hania menolak keras. Sampai menodongkan telapak tangannya ke arah Kenan. “Mas gak usah ikut! Aku lagi butuh waktu sendirian sekarang. Oke? Nanti aku bawakan kopi kesukaan Mas.”Kenan mengangguk sebagai tanda setuju. Sesaat setelah Hania menutup pintu, Kenan seketika berteriak dengan suara tertahan:“Yes! Yes! Yeeesss!!!”Dengan dua tangan terkepal meninju-ninju udara.“Wooow!!!” Tangannya perlahan meraba bibir, memainkannya dengan senyum yang tak berhenti terbit. Ingatan akan ciuman tadi tak berhenti berputar di kepalanya. Ia sampai memejamkan matanya agar ingatan itu tetap tergambar jelas. Suara pintu yang tiba-tiba terbuka memantik perasaan bahagia Kenan semakin membara. Kalau bukan Hania yang berani masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa permisi, memang siapa lagi, kan?Namun, raut wajah Kenan seketika kusut ketika melihat sosok Bima-lah yang baru saja menerobos masuk ke ruang kerjanya. Benar! Harusnya Kenan tidak lupa kalau bukan hanya Hania yang terbiasa masuk ke ruanga
“Bu Hania ketahuan selingkuh sama Pak Alif katanya!”“Udah punya suami kayak Pak Kenan, kok bisa sih malah selingkuh sama mantan sendiri?”“Bu Hania pasti susah buat move on dari Pak Alif!”“Cuma cewek gak punya rasa syukur yang masih mau balikan sama mantan yang udah jelas-jelas selingkuh!”Hania dapat dengan jelas mendengarkan para karyawan membicarakannya. Entah saat ia tengah berada di lift, sekedar mengunjungi divisi lain untuk sebuah kepentingan, atau sekedar menunggu mesin fotokopi yang tengah digunakannya. Bahkan ketika ia sedang duduk di meja kerjanya, yang letaknya tepat di depan ruang kerja Kenan, Hania selalu mendapatkan tatapan tak nyaman dari para karyawan yang hendak atau sudah menemui Kenan di ruang kerjanya.Kadang Hania pura-pura tak melihat, kadang tanpa sengaja ia bersitatap dengan mereka. Meski hatinya menjerit tak nyaman, Hania berusaha untuk membungkam mulutnya agar tetap tertutup.“Nia! Kita harus bicara sekarang! Ikut gue!” serbu Ratna yang tiba-tiba menghamp
“Sementara waktu, beristirahatlah di rumah.”“Aku resign aja, Mas.”“Apa ini berkaitan dengan kejadian tadi?”Hania memejamkan matanya dalam. “Kalau iya, apa Mas mau mengizinkan aku resign?”Kenan tak menjawab. Ia malah meraih ponsel, lalu menghubungi Bima.“Pecat Alif!” serunya lantang.“Mas!” Hania tentu terkejut mendengarnya. “Mas gak bisa pecat orang seenaknya kayak gini!”Kenan membanting ponsel ke arah kursi belakang. “Daripada kamu resign, lebih baik dia saja yang dipecat. Masalah selesai!”“Enggak! Justru semuanya bakalan makin rumit. Kalau Alif dipecat, kejadian kemarin mungkin terulang lagi. Mas lagi yang bakalan mereka repotin! Dan aku gak mau itu terjadi lagi. Mas gak perlu sampai bertindak sejauh ini hanya karena perjanjian kita. Aku saja belum bisa menjalankan isi perjanjian itu. Jangan bertindak terlalu jauh, Mas!”“Memangnya kenapa? Seberapa banyak harta kekayaan yang mereka inginkan, Mas akan berikan. Tapi tidak dengan kamu resign dari perusahaan! Posisi kamu di perus
Dua tangan Kenan saling terlipat di dada. Dua matanya menatap tajam Putri yang tengah mondar-mandir tak jelas di ruang kerjanya.“Aku dengar istrimu sedang ambil cuti hari ini. Dia sakit?” tebak perempuan itu sambil meraih sebuah mobil miniatur yang tertata rapi di lemari. “Bagaimana persidangannya? Sudah kamu ajukan?” Kenan memilih mengalihkan topik. Enggan malah menjawab pertanyaan Putri.“Sudah. Prosesnya akan memakan cukup banyak waktu katanya. Kalaupun aku menang, mereka sepertinya akan tetap enggan pergi dari tempat itu. Tapi, Mas tenang saja. Itu urusanku. Semua akan selesai sesuai jadwal.”“Kamu bisa pergi jika tak ada lagi yang ingin kamu katakan.”Kenan sudah bersiap membuka berkas yang tertata rapi di meja ketika tiba-tiba Putri berlari ke arah meja kerjanya. Menggebrak dengan keras meja itu sambil tersenyum lebar.“Kita makan siang bareng lagi yah, Mas.”“Mas akan meminta Bima untuk menemani kamu.”“Mas! Kok Mas gitu sih? Aku tuh maunya makan siang sama Mas. Berdua aja. M
“Buat aku menjadi istri kedua Mas Kenan!”Jari jemari Hania sibuk berpilin di bawah meja sesaat setelah mendengar pernyataan Putri. Berharap lawan bicaranya sekarang tak tahu betapa terkejut dirinya.“Maksudnya, kamu ingin Mas Kenan poligami?” tebak Hania. Berusaha untuk tetap tenang walau sebenarnya pikiran dan perasaannya berkecamuk hebat. “Semacam itu! Hanya saja, aku mau kalian pura-pura bercerai dulu.”“Pura-pura bercerai katamu?”Hania nyaris kehilangan kendali. Ia mati-matian menahan diri untuk tidak menggebrak meja di depannya.“Ya! Publik harus tahu kamu dan dia bercerai, dan akulah satu-satunya istri Kenan. Meskipun di belakang itu semua, kamu tetap istrinya dan aku menjadi istri keduanya. Adil, bukan?”Kepala Hania rasanya mau pecah!“Adil? Kamu ingin menipu semua orang dengan pernikahan?” Hania merasa tersindir oleh perkataannya sendiri. Tapi, ia tentu tak bisa menarik kembali kata-katanya.“Memang kenapa? Tak akan ada yang dirugikan dengan pernikahan semacam ini. Justru
“Dari hasil penyelidikan, Pak Kenan mengalami kecelakaan tunggal. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.”Begitulah keterangan singkat yang didengar Hania dari Bima. Ia masih tak percaya jika lelaki yang sedang terbaring tak berdaya di ranjang adalah suaminya sendiri. Terdapat perban yang menutupi kepala dan salah satu kaki Kenan.Dokter bilang sih bukan luka yang serius. Pasien hanya membutuhkan waktu sementara memakai kursi roda jika sudah siuman saat melakukan aktivitas nanti.“Mas mabuk lagi?” tuduh Hania. Meski tidak disebutkan oleh Bima tadi, Hania mencoba untuk menebak saja. “Enggak, Nia ….” Suara Kenan terdengar parau. Seperti orang habis kena cekik. Tatapannya saja begitu sayu meskipun senyumannya begitu lebar sekarang. “Maaf, rencana mala–”“Mas lapar?” potong Hania cepat. “Aku ambilkan makan dulu.”Terburu-buru perempuan itu keluar dari ruang perawatan Kenan. Bahkan tanpa mendengar persetujuan suaminya.Sesaat setelah menutup pintu kamar rawat itu, Hania memegang dadany
“Tunggu, Mas!”Hania dengan sengaja menjatuhkan diri dari atas ranjang. Kenan yang tak bisa menahan gerakan Hania, hanya bisa tertegun akan aksi tiba-tiba istrinya itu.Hania bangkit sambil membenahi kerudungnya. Menghindar bertatapan dengan Kenan yang tampak kebingungan sekarang.“Aku tidur di sofa aja kayaknya.” Kata Hania sambil berjalan ke arah sofa.“Kamu menghindariku, Nia.” Kenan berkomentar tak suka. Membenarkan dugaannya tadi.Tapi, Hania tak menanggapi sedikitpun. Perempuan itu malah merebahkan diri di sofa.“Nia? Kamu dengar Mas ngomong dulu. Jangan tidur! Ada yang harus kita bicarakan.”Hania meletakkan telapak tangannya untuk menutupi telinganya. Pura-pura tak mendengar Kenan bicara.Bukan tanpa alasan sebenarnya. Ia hanya takut Kenan membahas tentang rencana pertemuan malam ini di Hotel yang gagal karena Kenan kecelakaan. Ia benar-benar ingin melupakannya! Meski Hania mendengar Kenan terus memanggilnya, ia paksakan matanya untuk terpejam. Sementara itu, Kenan sama seka
“Benarkah aku bukan istri yang baik untuk Kenan?” batin Hania berbisik lirih. “Tunggu! Sejak kapan kami seperti ini?”Mata Hania turun, menatap kepala Kenan yang sedang bersandar pada perutnya. Dapat ia rasakan tangan Kenan melingkar penuh di pinggangnya. Erat sekali.“Mas?”“Hmm?”Getaran suara Kenan menjalar di sekujur tubuhnya. “Bisa lepasin aku?” pinta Hania pelan. Meski akalnya berkata untuk menepis tangan Kenan sendiri, mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga, tapi Hania merasa tak berkekuatan untuk melakukannya.Kenan perlahan merenggangkan pelukannya. Tapi, pria itu justru malah menggenggam tangan Hania sebagai gantinya. “Untuk kamu,” kata Kenan sambil menaruh sebuah kotak di tangan Hania.“Apa ini?” Hania yang tak sadar akan apa yang dilakukan Kenan hanya bisa termangu. Membiarkan kotak ini ada di atas dua tangannya yang menengadah. Enggan melepaskan barang itu tapi juga enggan mengakui bahwa itu miliknya.“Harusnya Mas berikan ini padamu tadi malam.”“Tadi malam?”H
Hania menggebrak pintu apartemen dengan wajah murka. Matanya dengan cepat menyelidik ke setiap sudut ruangan yang tampak kacau balau sebelum terakhir dia meninggalkan tempat ini karena terpaksa. “Maya! Di mana kamu?” teriak Hania lantang.Tujuannya kembali ke apartemen ini bukan untuk kembali tinggal di sini, melainkan untuk mencari Maya yang ia curigai sudah menyebarkan surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan ke publik.Ya. Publik tiba-tiba gempar oleh selebaran surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan yang sudah batal itu. Tersebar dengan cepat memenuhi berbagai media sosial. Bahkan sampai masuk berita gosip selebriti, padahal Kenan maupun Hania bukanlah publik figur!Nihil! Tak ada siapapun di tempat ini yang Hania duga sebagai tempat keberadaan Maya. Tersangka utama yang membuat kerusuhan seperti ini. Kalau bukan dia, memang siapa lagi yang berani membuat Hania selalu dalam kesulitan?Seolah apa yang selama ini Hania korbankan, tak cukup memuaskan Maya. Ada saja hal
“Karena aku mencintaimu, Hania! Aku menyukaimu! Aku jatuh cinta padamu! Aku ingin kamu menjadi milikku!”Kenan berteriak lantang sekencang-kencangnya, meledakkan segala hal yang selama ini dipendamnya. Tak perlu ditanya lagi seperti apa berisiknya jantungnya sekarang.Tapi, melihat Hania yang diam saja, muncul perasaan khawatir. Ini bukan reaksi yang ia harapkan!Setidaknya, katakan sesuatu! Menampakkan raut wajah terkejut sekaligus bahagia misalnya.Tapi, ini?Ekspresi Hania begitu datar. Bibir terkatup rapat dengan tatapan setajam singa yang tengah berhadapan dengan rivalnya. Apakah ungkapan Kenan barusan seperti sebuah bom berbahaya sampai Hania harus bereaksi demikian?Kenan berdecak sebal. “Kamu ini benar-ben–”“Kalau perkataan Mas itu benar, untuk apa Mas menerima tawaran Putri?” Hania menarik salah satu sudut bibirnya. “Untuk membuat aku cemburu?” serangnya sengit.Melihat Kenan yang diam saja, Hania tahu jika tebakannya tak meleset. Apalagi hal ini sempat suaminya itu singgun
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Kenan sesaat setelah Putri menghilang dari pandangannya. Diliriknya Hania yang tak banyak bicara sejak mereka tiba di tempat ini. Hania membuang nafas sebelum menjawab pertanyaan itu tanpa sedikitpun menoleh pada Kenan.“Pendapat apa?” balas Hania sambil melemparkan pandangan kembali ke arah lapangan golf. Baginya, pemandangan yang didominasi warna hijau itu lebih menyenangkan dipandang daripada bersitatap sedetik saja dengan Kenan.Entahlah. Rasanya Hania enggan sekali melihat Kenan sekarang.“Tentang pernikahan kontrak Mas dengan Putri. Kamu tidak akan berpendapat apapun? Atau bertanya apapun misalnya?”Sungguh! Jika boleh jujur, isi kepala Hania sekarang benar-benar kosong. Ia tak tahu harus berbuat apa selain ingin segera pergi atau menghilang dari hadapan Kenan. “Gak ada,” jawab Hania singkat sambil melepaskan genggaman tangan Kenan yang terasa melonggar. Ada sedikit perasaan kesal setelahnya. Hania tiba-tiba melangkah menuju beberapa anak tangga,
Genggaman tangan Kenan terasa tak nyaman. Ingin sekali Hania menepisnya kasar, namun berkali-kali perasaan itu ia enyahkan. “Kamu hanya istri kontraknya, Nia!” Kalimat itu terus bergulir di kepalanya sekarang. Seperti pengingat akan semua tindakan yang hendak Kenan lakukan setelah ini, bukanlah hal penting untuk ia pedulikan.Termasuk ketika keduanya harus menemui Putri di lapangan golf ini sekarang. Bermaksud untuk membahas kelanjutan dari tawaran Putri yang ingin menjadi istri kedua Kenan. Hania tak berhenti menyadarkan dirinya bahwa posisinya saat ini sama sekali tak penting bagi Kenan, apalagi jika sampai ikut campur urusannya terlalu dalam.“Kamu hanya perlu memberikan Kenan anak dan setelah itu bercerai, Nia. Jangan pedulikan dia memiliki istri satu atau bahkan lebih. Itu bukan urusanmu!” batin Hania berbisik tak henti.Sambil menikmati secangkir teh hangat, sesekali mengalihkan pandangan ke arah hamparan rumput hijau yang membentang sejauh mata memandang, Hania lekat memperha
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta