“Kita batalkan saja kerjasama dengan Bu Putri, Pak! Ini terlalu berisiko. Kita pernah mendapatkan klien seperti ini dan akhirnya malah citra perusahaan kita yang buruk.”“Betul, Pak. Bahkan ada yang sampai memutuskan tidak melanjutkan kerjasamanya di tengah jalan.”“Kita belum mencoba untuk membujuk pihak Bu Putri agar kembali mempertimbangkan negosiasi yang tepat. Pertemuan tadi memang sudah memanas sejak awal. Kurang kondusif dan akhirnya kacau!”“Ada masyarakat yang mengadu bahwa tanah mereka ini bersertifikat legal, Pak. Mereka justru mempertanyakan kenapa Bu Putri bisa mengklaim bahwa dirinya yang berhak atas kepemilikan tanah itu.”“Ada yang mengaku sudah tinggal di tanah itu lebih dari lima puluh tahun, Pak. Dengan sertifikat legal.”Kenan memijit pelipis sambil mengingat kembali percakapan di pertemuan singkat barusan. Satu tangannya yang lain mengetuk-ngetuk badan meja.Hania dan Bima yang tak jauh darinya bergeming saja. Tak ada satupun dari mereka berani menginterupsi.Samp
Hania tak bisa menghentikan kakinya untuk terus menghentak lantai meski saat ini ia tengah dalam posisi duduk. Sofa memang tampak lebih terasa nyaman ketimbang kursi kerjanya memang. Tapi, ia tak bisa duduk tenang jika berada satu ruangan dengan Kenan! Ya! Setelah kecelakaan kecil tadi (maksudnya ciuman singkat yang tak bisa ia tolak), Kenan memberikannya perintah yang juga tak bisa Hania tolak.“Lakukan pekerjaanmu di sini.”“Baik, Mas.” Kata-kata singkat itu keluar begitu saja dari mulut Hania. Ia bahkan tak sedikit pun meralat keputusannya. Hingga akhirnya ia berakhir di tempat ini sekarang. Bekerja di satu ruang yang sama dengan Kenan.“Gak bisaaa!!! Gue gak bisa fokus kerja!!! Gue harus protes. Tapi, gimana caranyaaa???” batin Hania begitu ribut.Bukan Hania tak berani angkat suara hanya untuk menginterupsi seperti biasa. Tapi justru karena ia adalah orang yang selalu berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hania tak cukup berani mengusik Kenan ketika laki-laki itu sudah
“Enggak!” Hania menolak keras. Sampai menodongkan telapak tangannya ke arah Kenan. “Mas gak usah ikut! Aku lagi butuh waktu sendirian sekarang. Oke? Nanti aku bawakan kopi kesukaan Mas.”Kenan mengangguk sebagai tanda setuju. Sesaat setelah Hania menutup pintu, Kenan seketika berteriak dengan suara tertahan:“Yes! Yes! Yeeesss!!!”Dengan dua tangan terkepal meninju-ninju udara.“Wooow!!!” Tangannya perlahan meraba bibir, memainkannya dengan senyum yang tak berhenti terbit. Ingatan akan ciuman tadi tak berhenti berputar di kepalanya. Ia sampai memejamkan matanya agar ingatan itu tetap tergambar jelas. Suara pintu yang tiba-tiba terbuka memantik perasaan bahagia Kenan semakin membara. Kalau bukan Hania yang berani masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa permisi, memang siapa lagi, kan?Namun, raut wajah Kenan seketika kusut ketika melihat sosok Bima-lah yang baru saja menerobos masuk ke ruang kerjanya. Benar! Harusnya Kenan tidak lupa kalau bukan hanya Hania yang terbiasa masuk ke ruanga
“Bu Hania ketahuan selingkuh sama Pak Alif katanya!”“Udah punya suami kayak Pak Kenan, kok bisa sih malah selingkuh sama mantan sendiri?”“Bu Hania pasti susah buat move on dari Pak Alif!”“Cuma cewek gak punya rasa syukur yang masih mau balikan sama mantan yang udah jelas-jelas selingkuh!”Hania dapat dengan jelas mendengarkan para karyawan membicarakannya. Entah saat ia tengah berada di lift, sekedar mengunjungi divisi lain untuk sebuah kepentingan, atau sekedar menunggu mesin fotokopi yang tengah digunakannya. Bahkan ketika ia sedang duduk di meja kerjanya, yang letaknya tepat di depan ruang kerja Kenan, Hania selalu mendapatkan tatapan tak nyaman dari para karyawan yang hendak atau sudah menemui Kenan di ruang kerjanya.Kadang Hania pura-pura tak melihat, kadang tanpa sengaja ia bersitatap dengan mereka. Meski hatinya menjerit tak nyaman, Hania berusaha untuk membungkam mulutnya agar tetap tertutup.“Nia! Kita harus bicara sekarang! Ikut gue!” serbu Ratna yang tiba-tiba menghamp
“Sementara waktu, beristirahatlah di rumah.”“Aku resign aja, Mas.”“Apa ini berkaitan dengan kejadian tadi?”Hania memejamkan matanya dalam. “Kalau iya, apa Mas mau mengizinkan aku resign?”Kenan tak menjawab. Ia malah meraih ponsel, lalu menghubungi Bima.“Pecat Alif!” serunya lantang.“Mas!” Hania tentu terkejut mendengarnya. “Mas gak bisa pecat orang seenaknya kayak gini!”Kenan membanting ponsel ke arah kursi belakang. “Daripada kamu resign, lebih baik dia saja yang dipecat. Masalah selesai!”“Enggak! Justru semuanya bakalan makin rumit. Kalau Alif dipecat, kejadian kemarin mungkin terulang lagi. Mas lagi yang bakalan mereka repotin! Dan aku gak mau itu terjadi lagi. Mas gak perlu sampai bertindak sejauh ini hanya karena perjanjian kita. Aku saja belum bisa menjalankan isi perjanjian itu. Jangan bertindak terlalu jauh, Mas!”“Memangnya kenapa? Seberapa banyak harta kekayaan yang mereka inginkan, Mas akan berikan. Tapi tidak dengan kamu resign dari perusahaan! Posisi kamu di perus
Dua tangan Kenan saling terlipat di dada. Dua matanya menatap tajam Putri yang tengah mondar-mandir tak jelas di ruang kerjanya.“Aku dengar istrimu sedang ambil cuti hari ini. Dia sakit?” tebak perempuan itu sambil meraih sebuah mobil miniatur yang tertata rapi di lemari. “Bagaimana persidangannya? Sudah kamu ajukan?” Kenan memilih mengalihkan topik. Enggan malah menjawab pertanyaan Putri.“Sudah. Prosesnya akan memakan cukup banyak waktu katanya. Kalaupun aku menang, mereka sepertinya akan tetap enggan pergi dari tempat itu. Tapi, Mas tenang saja. Itu urusanku. Semua akan selesai sesuai jadwal.”“Kamu bisa pergi jika tak ada lagi yang ingin kamu katakan.”Kenan sudah bersiap membuka berkas yang tertata rapi di meja ketika tiba-tiba Putri berlari ke arah meja kerjanya. Menggebrak dengan keras meja itu sambil tersenyum lebar.“Kita makan siang bareng lagi yah, Mas.”“Mas akan meminta Bima untuk menemani kamu.”“Mas! Kok Mas gitu sih? Aku tuh maunya makan siang sama Mas. Berdua aja. M
“Buat aku menjadi istri kedua Mas Kenan!”Jari jemari Hania sibuk berpilin di bawah meja sesaat setelah mendengar pernyataan Putri. Berharap lawan bicaranya sekarang tak tahu betapa terkejut dirinya.“Maksudnya, kamu ingin Mas Kenan poligami?” tebak Hania. Berusaha untuk tetap tenang walau sebenarnya pikiran dan perasaannya berkecamuk hebat. “Semacam itu! Hanya saja, aku mau kalian pura-pura bercerai dulu.”“Pura-pura bercerai katamu?”Hania nyaris kehilangan kendali. Ia mati-matian menahan diri untuk tidak menggebrak meja di depannya.“Ya! Publik harus tahu kamu dan dia bercerai, dan akulah satu-satunya istri Kenan. Meskipun di belakang itu semua, kamu tetap istrinya dan aku menjadi istri keduanya. Adil, bukan?”Kepala Hania rasanya mau pecah!“Adil? Kamu ingin menipu semua orang dengan pernikahan?” Hania merasa tersindir oleh perkataannya sendiri. Tapi, ia tentu tak bisa menarik kembali kata-katanya.“Memang kenapa? Tak akan ada yang dirugikan dengan pernikahan semacam ini. Justru
“Dari hasil penyelidikan, Pak Kenan mengalami kecelakaan tunggal. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.”Begitulah keterangan singkat yang didengar Hania dari Bima. Ia masih tak percaya jika lelaki yang sedang terbaring tak berdaya di ranjang adalah suaminya sendiri. Terdapat perban yang menutupi kepala dan salah satu kaki Kenan.Dokter bilang sih bukan luka yang serius. Pasien hanya membutuhkan waktu sementara memakai kursi roda jika sudah siuman saat melakukan aktivitas nanti.“Mas mabuk lagi?” tuduh Hania. Meski tidak disebutkan oleh Bima tadi, Hania mencoba untuk menebak saja. “Enggak, Nia ….” Suara Kenan terdengar parau. Seperti orang habis kena cekik. Tatapannya saja begitu sayu meskipun senyumannya begitu lebar sekarang. “Maaf, rencana mala–”“Mas lapar?” potong Hania cepat. “Aku ambilkan makan dulu.”Terburu-buru perempuan itu keluar dari ruang perawatan Kenan. Bahkan tanpa mendengar persetujuan suaminya.Sesaat setelah menutup pintu kamar rawat itu, Hania memegang dadany
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta
“Kenalkan. Ini Selia. Dia asisten pribadi, Mas. Dia yang bertugas menggantikanmu, Sayang.”“Asisten pribadi kamu?” Hania tanpa sengaja menaikkan nada bicaranya. Ia terlalu terkejut atas kata-kata Kenan barusan!Kenan memberi anggukan dengan seulas senyum lebar. Tampak tak terusik oleh perubahan nada bicara Hania, bahkan raut wajah tak bersahabatnya. Apa Kenan tak menyadari ketidaksukaannya ini?“Halo, Bu Hania. Perkenalkan, aku Selia.” Kata perempuan berambut sebahu itu dengan senyum ramah dari bibir tipisnya.Mata Hania memindari Selia dari ujung kaki hingga kepala. Pakaian serba tertutup dan polesan bedak serba tipis itu cukup membuatnya takjub akan kecantikan alami yang dimiliki Selia. Terlihat natural dan menarik perhatian.“Kamu membawanya?” tanya Kenan.“Ya, Pak. Ini!”Selia tampak menyerahkan beberapa tas belanja pada Kenan yang entah isinya apa. “Terima kasih. Kamu boleh pergi.”Selia berpamitan dan pergi setelah itu. Kedatangannya yang sangat singkat benar-benar seperti sebu
Sayup-sayup Hania mendengar suara Kenan. Ia mengucek matanya sambil menatap sekeliling kamar. Tak ada Kenan di sini. Itu berarti sekarang Kenan sedang berada di luar, tebak Hania.Dan benar saja. Laki-laki itu tengah berbicara melalui telepon sambil memandangi laptop di depannya. Tampak serius sekali entah bicara dengan siapa. Hania tak langsung menghampiri. Enggan mengusik Kenan yang tampak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukannya Hania tak ingin membantu, hanya saja sejak ia tinggal di tempat ini, komunikasinya dengan Kenan tak lebih dari sekedar menanyakan kabar. Tak ada pembicaraan tentang pekerjaan di Prince Property sedikit pun. Hania benar-benar tidak tahu kesibukan macam apa yang tengah Kenan lakukan sekarang. Tak mau mengusik, Hania memilih berjalan ke area dapur. Sambil menunggu mesin kopi bekerja, ia membuat roti bakar dengan selai cokelat. Di tempat ini memang tak ada siapapun yang mengurus urusan rumah. Semua Hania lakukan sendiri. Dan Hania tak keberatan akan hal itu
Kenan ingin sekali berdiri, berlari, lalu mencekik leher Putri yang sekarang sedang duduk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Tersenyum lebar sekali meski suara-suara bising di luar sana lantang memaki namanya. Tapi sayang, kursi roda ini seperti menguncinya. Satu kakinya masih terluka parah. Jika Kenan nekat, hal lebih buruk bisa saja terjadi padanya.Pria itu tentu tak mau menanggung rugi berlipat.“Jika kamu ingin kerjasama ini berlanjut, lakukan sesuai perintahku!” tegas Kenan memberi peringatan.“Bukan. Bukan. Bukan begitu, Mas.” Putri mengacungkan jarinya ke udara. “Yang benar itu, Mas yang harus mengikuti perintahku atau … Mas mau–”“Mau apa?” Kenan tampak tak gentar. “Kamu mau melaporkan ayahku yang terlibat kasus pencucian uang dengan ayahmu? Begitu maksudmu?”Putri terkekeh dengan tatapan sinis. “Berani sekali kamu mengatakannya disini, Mas? Tidak takut dilaporkan orang-orang yang menyaksikannya disini?”“Tidak masalah. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu masalah in
Kenan nyaris saja terguling dari ranjang ketika tiba-tiba Hania mendorongnya. Perempuan itu sendiri menjaga jarak darinya sekarang dengan wajah yang tampak kebingungan.“Ini bukan kali pertama untuk kita, kan?”Kenan harus pastikan jika Hania tak akan menghindar darinya lagi hanya karena perkara begini. Waktu itu Hania pergi dengan alasan ingin membeli makan yang justru ujungnya malah berduaan dengan Alif.Sekarang, Kenan tak bisa membiarkan perempuan itu menjaga jarak darinya sedikitpun. Apalagi sampai kabur dengan alasan apapun! Tak akan Kenan biarkan.“Jadi, kemarilah. Duduk disini dan kita bisa bicara dengan tenang.” Kenan menepuk area ranjang tepat di samping ia duduk sekarang. Satu tangan yang lain terulur pada Hania, berharap perempuan itu mau menerimanya karena Kenan sedang kesulitan menghampiri. Kakinya masih di perban!“Mas, a–aku ….” Hania tampak terengah-engah mengeluarkan suara.“Duduk, Nia!”Hania menatap Kenan dari kejauhan lekat-lekat sambil mengingat kembali alasan u