"Kamu ngomong apa sih, Yas? Jangan bercanda. Jangan main-main soal perpisahan," ucap Zein. Jujur, aku juga sakit dengan semua ini. Tapi andaipun dilanjutkan, itu akan lebih menyakiti hatiku yang lemah lembut ini. Kehadiran Bela benar-benar membuatku malas dan ingin menyerah saja. Aku sudah kehilangan banyak harga diri demi Zein. Sikap posesifku yang berlebihan, nyatanya tak membuat hati Zein jadi milikku seutuhnya. "Sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi, Zein!" Aku pun pergi dari rumah itu tanpa menoleh lagi. .Duh, sepi banget sih ini rumah. Nggak ada lagi Zein yang rajin dan nakal hadir untuk menggodaku. Nggak nyangka, usia pernikahan kami hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Aneh-aneh aja deh. Kenapa juga seorang Raden Roro Dining tyas harus merasa sakit sampai kayak gini. Bukannya dari awal, perceraian memang harus dilakukan? Toh juga aibku udah tertutupi. Jadi kayaknya nggak terlalu masalah deh kalau aku harus menyandang status janda. Kan emang dari awal niatnya seper
"Atau, Yas. Jangan-jangan Zein...." Bino terlihat ragu-ragu."Jangan-jangan apaan?" Aku jadi penasaran. "Pasti sedang ada yang kalian sembunyikan, kan?""Ngomong apaan sih?""Pasti saat ini kalian punya rahasia nih."Dih, si Bino nakut-nakutin aja deh. Jangan-jangan, dia udah mulai curiga lagi tentang hubungan aku dan Zein. "Rahasia apaan?""Dari kemaren, sikap Zein udah mencurigakan. Ditambah lagi saat ini dia nggak masuk. Udah pasti deh. Kamu nggak usah nutup-nutupi lagi deh, Yas. Jujur aja sama aku.""Mencurigakan gimana, Bin? Emang waktu aku nggak ada, Zein sering ngapain?"Duh, kok aku jadi deg-deg ser sih. Jangan-jangan, Bino udah tau lagi kalau Zein selingkuh sama mantannya. "Zein sering bolak-balik ke kamar mandi. Keliatan gelisah gitu."Tuh, kan. Ngapain coba. Pasti bolak-balik nelpon si bibit pelakor tuh. Biar nggak kedengaran sama yang lain, makanya sembunyi-sembunyi di kamar mandi. "Emang kamu tau dia ngapain di kamar mandi, Bin?" Aku terus mengorek informasi."Nah, it
"Zein?" Aku langsung membuang pandangan saat Zein mendekati meja kami. Tetap nggak mau melihat wajah tampannya lagi. "Jadi, ini semua karena cowok ini?" Dia kembali bertanya. "Kamu pergi aja deh, Zein. Aku udah males ngomong sama kamu.""Ayo pulang! Kita bicarakan di rumah," perintahnya. "Nggak mau.""Kenapa?""Aku mau di sini aja.""Oh, jadi benar, sekarang kamu mau balikan lagi sama mantan kamu ini?" "Eh, bentar, bentar, Bro," sela Rama. Aku melotot ke arahnya. Ini anak, kira-kira mau ngomong apa ya? "Ada apa?" Zein terlihat menantang. Dih, gayanya itu macho amat sih. Bikin aku balik terpesona aja nih sama sikap jantannya. "Kek nya salah paham, deh. Aku baru aja duduk di sini Bro. Nggak ada janjian sama Tyas sama sekali.""Terus?""Ya, aku sama Tyas nggak ada ngapa-ngapain. Lagipula aku ini bukan mantannya."Duh, ternyata Rama juga orang baik. Nggak ingin memperkeruh suasana panas, antara aku dan Zein. Zein terdiam, lantas kembali menoleh ke arahku. "Ayo pulang. Kita bicarak
"Biarin. Emangnya kamu masih perduli?"Duh, Zein benar-benar ngambek rupanya. "Aku antar ke Dokter aja, gimana?" Dia diam tak menjawab. Tuh, kan. Marahnya banyakan dia. "Zein!""Kamu nggak usah perduliin aku lagi. Kalau aku sakit ataupun mati, juga nggak akan berpengaruh sama kamu. Bukannya kamu udah nemuin pengganti aku? Kamu sekarang udah bebas menikah sama siapapun.""Ish, Zein. Aku sama Rama nggak ada apa-apa, tau! Kamu jangan memutar balikkan fakta dong. Kamu duluan tuh yang selingkuh. Kalau kamu emang mau pulang, ya udah sana. Mana nomor Bela, biar aku suruh dia jemput kamu.""Aku nggak pernah selingkuh. Ketemu dia juga aku nggak ada. Terserah kamu mau percaya sama aku atau enggak. Yang jelas, aku sama keluargaku nggak pernah punya niatan untuk morotin uang kamu."Kan bener. Cuma karena masalah ini aja Zein sampai marah-marah dan nekat mau pulang walaupun sedang sakit. "Ya udah deh. Aku kompres kamu dulu. Setelah mendingan, baru kamu bisa pulang kemana aja. Aku juga nggak pe
Akhirnya, akupun mulai berperang di dapur. Dengan berbekal ingatan yang pernah aku lihat di rumah, ataupun Zein yang tengah mendadar telur. Untung membuatnya tidak terlalu sulit. Cuman begini mah, kecil. Walaupun dapur harus kotor, karena cipratan minyak yang sudah memercik kesana kesini. Mana kena tangan mulusku lagi. Sebel deh. Begini amat ngurusin orang yang lagi sakit. Aku kembali masuk ke kamar. Melihat Zein yang sedang berbaring sambil memejamkan mata. Duh, masih hidup nggak ya? Kalau ternyata dia mati saat kutinggal tadi, gimana?Aku meletakkan sepiring nasi dan juga telur dadar di atas nakas. Lalu menempelkan telinga ke dada bidangnya, untuk mengecek apakah jantungnya masih berdetak atau enggak. Tentu saja saat ini kulit kami saling bersentuhan, membuat diriku kembali merasakan sesuatu. Sayang, rindu, takut, ah entahlah. Masa bodo. "Aku masih idup kali, Yas," ucapnya tiba-tiba. Aku terkejut dan langsung mengangkat kepalaku menjauh dari dadanya. "Ngagetin aja. Pura-pura ti
Duh, sedih banget sih hidup mereka. Udah miskin, dihina-hina pula. "Ya udah deh, soal Ibuk aku ngalah. Aku salah, dan aku minta maaf sama kamu. Puas?" ucapku sungguh-sungguh. Dasar akunya aja yang bucin. Gampang banget sih minta maaf. Merendahkan diri sendiri aja."Iya, Yas. Aku udah maafin kamu. Makasih, ya?""Tapi, masalah kita berdua belum selesai, ya! Pokoknya, setelah kamu sembuh, kamu pergi dari rumah ini. Sana, minta urus sama pacar kamu itu. Aku udah iklas ngelepas kamu.""Kamu ngusir aku, Yas?""Iya. Bukannya kamu, yang tadi sibuk banget mau pulang.""Oh, terserah kamu aja. Aku juga nggak mungkin maksa, kalau kamu emang nggak mau baikan sama aku lagi. Kamu mau balikan sama pacar kamu itu, kan? Kurasa aku emang nggak punya hak lagi untuk ngatur-ngatur kehidupan kamu, Yas.""Ish, Zein. Jangan ngaco deh. Ini nggak ada hubungannya sama Rama, kali. Kamu jangan cari-cari alasan deh," ketusku, sambil menarik-narik tanganku. Mana nggak bisa lepas lagi. Kuat banget sih tenaganya, wa
Setelah selesai mandi, keramas dong pastinya, aku kembali ke dapur untuk membereskan kekacauan-kekacauan yang ku perbuat akibat mendadar telur tadi. Kubiarkan Zein yang masih tertidur pulas di bawah selimut. Pasti kecapean tuh. Nggak pernah-pernah dia langsung tertidur seperti itu. Biasanya langsung bergegas bangun, dan membiarkan aku sendirian di tempat tidur. Udah tau lagi sakit, pasti lemah dong ya, eh tau-tau minta yang macem-macem. Aneh-aneh aja, kan, permintaan orang sakit yang satu ini. Pake alasan supaya berkeringat segala. Iyyuh... Ngeles banget. Usai berberes, aku kembali ke kamar. Ku bawakan Zein secangkir teh hangat. Dengan pelan kutepuk pipinya yang mulus. "Zein!" Dia menggeliat. Aku meraba keningnya, merasakan suhu yang tadi begitu panas, kini sudah berkurang. "Minum teh dulu, Zein. Panasnya udah mulai reda, tuh," perintahku. Dia membuka matanya sedikit demi sedikit. Idih, kok kesannya lemah banget. Padahal tadi pas maksa aku, masih semangat-semangat aja. Kulihat
"Iya, tapi aku nggak papa. Bisa ngerawat diri sendiri, kok. Ya udah, makan." Kusodorkan bungkusan nasi kuning yang sudah kutata di piring, lengkap dengan sendoknya. Aku dan Zein makan dengan lahap pagi ini. Hanya saja, masih dalam keadaan canggung. Aku lebih banyak diam, sementara dia terus saja memperhatikan wajahku yang tak seperti biasanya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kejadian kemarin begitu saja. Melihat mantan kekasihnya bebas berkeliaran di rumah dan mengobrol akrab dengan keluarganya. Sementara, Ibu dan adiknya masih menjaga jarak sama aku. Meski aku sudah mulai bersikap ramah, dan ingin dekat dengan mereka. Besar kemungkinan, Ibu dan Zahra pasti juga sudah cerita tentang surat kontrak itu. Membuatku merasa kehilangan muka di hadapan semua orang. Kan kelihatan banget kalau aku nggak laku, dan harus membayar laki-laki buat menikah denganku. "Kamu kok diem aja, Yas?" Zein tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Memegang bahuku, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan saa
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang