Aku terbangun pagi-pagi sekali, saat kulihat Zein sudah tak ada di sampingku. Kebiasaan! Dia pasti bangun lebih dulu, dan mengerjakan pekerjaan dapur, guna melayaniku. Aku langsung bergegas ke kamar mandi, saat ada yang terasa nyeri di bawah sini. Aw! Aku memeganginya. Terasa perih dan seperti ditusuk-tusuk. Dibawah guyuran shower yang membasahi sekujur tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, kulihat ada noda darah di pahaku. Wah, aku terkejut. Rupanya rasa nyeri yang kurasakan tadi nyeri di perut akibat datang bulan. Baru teringat kalau di pertengahan bulan seperti ini memang adalah jadwalnya. Menang banyak dong si Zein tadi malam. Kami berkendara selepas sarapan. Zein fokus menyetir, sambil sesekali memandangiku dengan tersenyum. Mungkin merasa hepi, karena udah bolak-balik berhasil memaksaku untuk memberikan haknya. Maksa lho ya, maksa. Kami sampai di kantor, saat Bino lagi-lagi menunggu di ruanganku. Kali ini nggak berani lagi jalan beriringan dengan kami. "Naik darah, sa
"Ngapain sih, Zein? Lagi chat an sama Bela?" sinisku, sambil garuk-garuk piring kosong pake garpu. Ngilu, ngilu dah. Kesel! "Ya, enggak lah, Yas. Buat apa? Kan nomornya udah aku blokir," sahutnya dengan santuy. "Masa sih? Sejak kapan kamu blokir nomor dia?""Udah lama. Sejak aku tau dia punya pacar baru.""Beneran?" sindirku. "Sebelum kita nikah dong?""Bener, Yas. Kalau dia masih bisa ngubungi aku, ngapain juga dia repot-repot datang ke rumah, terus nanyakin alamat kantor. Kan tinggal nelpon, terus janjian di luar. Kaya kamu sama mantan waktu itu.""Oh, nyindir... Udah berani, ya? Udah nggak takut lagi sama aku?""Masih takut lah, Yas.""Takut apa? Takut aku masukin penjara?""Takut nggak dikasi jatah, Sayang."Hish... aku melotot. Dia tertawa. Manis banget lagi. "Trus, itu kamu ngapain?"Dia kembali menatap layar ponsel, kemudian mengetak-ngetik sesuatu dengan kedua jempol besarnya. Dih, jempol aja segede itu, apalagi... betisnya ya. "Lagi kepikiran nulis dialog. Mumpung ingat,
"Kenapa, Zein? Kok tumben nanyakin si sontoloyo? Mmm... jangan-jangan kamu cemburu lagi sama dia?" ujarku, penuh percaya diri. "Emang nggak boleh?" sahutnya dengan lembut. Tapi tetap aja terdengar ketus. Pasti itu hati lagi hareudang banget. "Tuh, kan bener. Zein cemburu. Pasti kamu udah cinta mati sama aku. Ya, khan?""Iya, aku cemburu. Abis, kamu deket banget sama dia.""Ish... seneng deh, kalau suami bayaranku ini lagi cemburu." Kucubit lengannya dengan jemari lentikku. "Oh, jadi sengaja, gitu?""Ya, enggak lah Zein. Childish banget. Iyyuh...""Kok malah seneng liat aku cemburu.""Iya, dong. Merasa di lope-lope in aja. Tapi nggak sama si sontoloyo juga kali, Zein. Merendahkan harga diriku banget," keluhku. "Lho, kenapa?""Ya kali aku sampe naksir sama dia. Udah jorok, jarang mandi, minta traktir terus. Iyyyuh... nggak masuk kriteria banget deh pokoknya."Kulihat Zein tertawa. "Iya, iya. Aku percaya. Tipe kamu kan yang ganteng kaya aku gini, kan?"Mmmm....he eh in ajalah. Biar
Dia telah selesai memakai celana pendek dan kaos tipis. Lalu duduk di sisi ranjang menghampiriku. "Duh, seksinya juragan istri," godanya. "Woiya dong.""Bagus banget bajunya. Ntar kalau udah gajian, aku beliin lagi yang kek gini ya. Buat gantiin yang dikasi Zahra kemarin.""Boleh. Makasih, Zein.""Kamu mau warna apa?""Terserah kamu aja, Zein.""Oh, oke!""Yuhuuu....""Lagi ngapain?"Mmm....modus dimulai..."Biasalah, lagi baca cerbung di kbm. Yang kalau udah lagi seru-serunya, di suruh pindah ke aplikasi. Kesel tau!" sindirku. Padahal aku tahu sendiri, bahwa seorang penulis itu perlu dihargai. Meskipun dia belum bisa menjual buku, tapi para readers bisa menghargainya dengan cara membeli koin. Nggak melulu minta next dan tamatin di efbi. Jangan kesindir ya, gaes. Secara keturunan ningrat kaya aku gini paling alergi sama yang gratis-gratis. Pengen suami aja, aku sampe rela beli. "Yas, Yas. Pelit amat sih jadi orang." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku. Tuh, mu
Duh, cepat sekali waktu berjalan. Tiba-tiba udah hari Senin aja. Saat aku dan Zein yang kemarin menginap di rumah Papi, langsung berangkat kerja dari sana. Zein selalu geleng-geleng kepala kalau mengingat aku ngerjain dia dua malam di rumah Papi. Aku godain, tanpa dia bisa melakukan apa-apa. Rasain. "Awas kamu, ya. Tunggu aja nanti seminggu lagi," godanya waktu itu. Aku terkikik geli. Ancamannya bikin aku ser-seran. Kira-kira dia mau ngapain lagi? Halah, paling begitu-begitu doang. Udah biasa kali, Zein. Hihihi... Senang deh, kalau liat Zein lagi ngambek. Lucu banget. Nggak nyangka, dengan sikapnya yang biasa kelewat dewasa, bakalan terlihat seperti anak-anak saat nggak dibeliin mainan. Au, ah. Pokoknya gemes aja. Seperti biasa dengan rangkulan tangan yang begitu mesra, kami berjalan memasuki gedung perkantoran. Zein mengantarku hingga ke ruangan, baru setelah itu keluar menuju meja kerjanya di ruangan yang berbeda.Hari ini tim editor bakalan kerja berat. Banyak naskah dari peme
Kuabaikan dulu pesan dari Refan. Aku langsung menghubungi si Bino sontoloyo. [Halo, Yas.][Bino!] teriakku. [Apaan.][Gerak cepat, Bin. Si Refan udah mulai ngancem aku.][Ngancem apaan?][Ya, ngancem mau laporin suami aku.][Lah, kapan?][Barusan.][Gini aja deh, kamu baik-baikin aja dia dulu. Ntar malam aku bilang sama Om aku buat bergerak. Jadwal dia udah ketebak kok.][Baik-baikin gimana? Ogah ah! Enak aja.][Buat ngulur waktu, Yas. Emang kamu mau, si Zein masuk penjara?][Ya enggak, lah. Tapi harus malam ini, ya? Aku nggak mau kalau Zein sampai salah paham, dan menganggap aku istri nggak setia.][Iya, lho, Yas. Iya. Aku langsung ngubungi Om aku nih.][Emang Om kamu pangkatnya apa, Bin?][Pramuka, Yas. Pramuka! Berisik banget sih.][Eh, dasar sontoloyo. Ketimbang nanya doang juga. Ya udah cepetan.][Iya, iya.].Aku kembali membuka chat yang dikirimkan Refan tadi. Gilak aja. Baru ditinggal sebentar aja udah banyak banget isi chatnya. Si alan tuh Si sontoloyo. Nyuruh-nyuruh aku bu
Apa-apaan ini si Zein. Mau main-main sama aku? Udah bosan gitu, mentang-mentang udah berhasil mendapatkan semuanya. Oke, kita lihat aja nanti, ya. Aku mengemudikan kembali mobil super mewahku yang nggak kalah keren, sama punya Bang Rohman. Pengacara kondang yang kerap menggunakan mobil sport lamborgithu. Dengan kecepatan penuh ala-ala pembalap dunia, aku melajukan kendaraan dengan emosi tingkat dewa. Biar cepat sampai dan bertemu dengan Zein di rumah. Benar aja, sesampainya di rumah, kulihat Zein sedang memanaskan air di atas kompor. Buat apa? Apa jangan-jangan dia sakit, terus masak aer, biar mateng. Maksudnya, buat mandi air panas. Bego banget, sih. Kalau mau mandi air panas kan bisa pakek shower di kamar mandi yang ada di kamar aku. Aku mendekat dan melihatnya menuang air panas tadi ke dalam cangkir. Oh, lagi menyeduh teh rupanya. "Zein," panggilku. Dia melihat sekilas, lalu kembali fokus mengaduk gula di dalam cangkir. "Buat aku mana?" Aku berbasa-basi. Dia diam saja, lalu
Aku mengubek-ubek gawai mahalku, kemudian menemukan nomor Zahra di sana. Untung kemarin aku sempat memintanya, kalau sewaktu-waktu diperlukan. Kan, bener. Butuh juga akhirnya. [Halo, Zahra?][Iya, Mbak?]Duh, mau berbicara apa nih? Langsung aja, atau basa-basi dulu? Akhirnya akupun memutuskan untuk berbasa-basi saja. Nanya kabar Ibu, kabar dia, ayam peliharaan udah gede apa belum, token listrik aman atau enggak, uang STM udah dibayar apa belum. Dan akhirnya... [Punya nomor Bela, nggak?][Ada, Mbak.]Oke fix. Aman! Setelah Zahra mengirimkan nomornya, aku langsung bergerak cepat. Tak lupa kuiisikan pulsa Zahra seratus ribu. Biasalah, horang kaya. Mana mungkin ngisi pulsa marebu. Gengsi dong. Aku juga nggak mau merasa berhutang budi sama adik ipar, yang mungkin hanya sementara ini. Yah, walaupun sekarang ini aku mulai menyukai sikapnya. Baik, sih. Akupun langsung menekan layar memanggil, berharap dia langsung menerimanya. [ Halo, selamat malam. Dengan siapa, dimana? Paswordnya, Buk
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang