Malam ini tepat pukul delapan Leonel sudah berada di rumah Adeeva kembali setelah tadi istirahat sebentar dan cari makan bersama Adeeva.
Sebelum menemui kedua orangtua Adeeva kembali, tadi mereka berdua sudah berdiskusi tentang budaya di Indonesia jika akan menikah. Adeeva sudah menjelaskan semua jika di negaranya banyak tata cara jika ingin mempersunting anak orang. Berbeda dengan budaya milik Leonel.
Dan kini Leonel sudah duduk berhadapan dengan Ryan yang baru saja pulang dari kantor. Tadi siang istrinya memang menelepon jika putrinya pulang membawa pacar namun saat siang tadi Ryan tak bisa pulang.
Sebelum mengobrol, Ryan berdeham terlebih dulu sambil mengamati dan menatap Leonel lekat-lekat.
“Kau sudah berapa lama kenal dengan putriku?” Ryan mulai mengeluarkan pertanyaan untuk Leonel.
“Baru ini, pas Adeeva kerja di Joeyi.”
Ryan mengusap-ngusap dagunya pelan. Meski sudah tua tapi kharismanya tidak pernah luntur. Buk
“Itu udah tua tapi kok belum nikah-nikah, ya.”“Iya, ngejar karir terus makanya susah jodoh tuh.”“Nggak malu apa gimana sih seusianya udah pada punya anak lho dia masih sendiri aja.”“Bahkan anaknya Jeng Rania saja dua-duanya udah laku semua.”“Nggak takut apa nanti nikah usia tiga puluh susah punya anak.”Berbagai sindiran tetangga sudah menjadi makananku sehari-hari. Bahkan mereka tak segan-segan membicarakan status lajangku di depan mata. Memangnya ada yang salah jika aku lajang? Toh aku lajang dan menikah nanti nggak akan minta biaya resepsi sama mereka, 'kan? Tapi kenapa sih mereka selalu mengurusi kehidupan orang lain seperti ini. Memangnya mereka tak memiliki kesibukan sampai-sampai hidupnya digunakan hanya mengurusi urusan orang dan dijadikan bahan gosip?Kalau tidak kuat iman mungkin rasanya akan gila menghadapi segala standart masyarakat yang memang sudah ada sejak dulu. Terlebih ucapan para tetangga sering kali membuat mama yang tadinya adem ayem menjadi ikut konfrontasi so
Saat sudah berada di meja kerja, aku seperti biasa menjalankan rutinitas sebagai sekretaris. Menyalakan laptop, mengecek jadwal kerja bos hari ini, dan mengingatkan semua jadwal meeting agar tidak lupa. Namun, baru saja membuka dokumen buat dikerjakan, Mbak Sila datang sambil cengar-cengir seperti orang habis ditampar uang seratus juta. Benar-benar bahagia banget kalau dilihat."Ki.""Hmm."Aku mencoba tetap fokus menatap laptop meski telinga sudah dipasang buat dengarin berita terbaru dari ratu gibah kantor. Pasti ada sesuatu yang akan Mbak Sila katakan nih."Aku denger kabar burung katanya kantor kita bakalan kedatangan boss baru gitu, emang bener, Ki?""Nggak tahu deh, Mbak.""Ih, kamu gimana sih, Ki. Masa sekretaris Pak Haidar nggak tahu berita soal ini!?""Duh! Aku jarang buka grup chat, Mbak.""Ih sumpah kamu ngeselin banget, Ki! Tapi, bye the way kalau ada info apapun soal kantor ini jangan pelit lah sama kita-kita, Ki. Lagian berbagi info tuh sama aja sedekah tahu, Ki.""Iya, M
"Sudah selesai ngerumpinya?" katanya begitu menohok relung hatiku. Saat ini yang aku lakukan hanya bisa menunduk, menatap lantai yang sering disapu sama Joko. "Saya sangat tidak suka melihat karyawan bergosip di jam kerja seperti tadi. Apalagi kamu memiliki jabatan penting di kantor ini. Kalau semua karyawan seperti ini bisa-bisa kantor ini mengalami kerugian yang begitu besar. Rugi karena membayar karyawan yang malas bekerja." Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya benar-benar pedas mirip bon cabe level internasional. Nasib menjadi karyawan memang seperti ini, selalu salah di mata bos. Ada saja kesalahan yang ditemukan. Hal yang aku lakukan saat ini cuma bisa nunduk pasrah ditindas sama bos baru yang ternyata mirip iblis. "Jadwal saya hari ini apa?" Dengan gerakan perlahan, kepalaku mendongak menatap bos baru yang benar-benar mirip iblis, tapi kenapa dia di anugerahi wajah yang begitu tampan. Rasanya sangat tidak adil. "Meeting dengan Pak Edgar di kantor Sampoerna Strategic, P
Mataku terpejam mendengarkan sederet permintaan dari bos baru yang bikin pusing. Baru sehari kerja sama dia udah banyak banget tugasnya. Jemariku memijit pelipis yang terasa senut-senut. "Baik, Pak." Aku mengembuskan napas lega kala panggilan telepon dengan bos selesai. Kalau dipikir-pikir masih mending bekerja sama Pak Haidar. Setidaknya beliau masih punya hati sama bawahan. Sedangkan dia? baru sehari masuk jadi bos udah izin nggak masuk dengan alasan istrinya tengah hamil. Memang apa hubungannya kerja sama istri hamil? Sinting. Sampai di kantor, aku berjalan menuju ke arah meja kerja. Hal utama yang aku lakukan menelepon klien dari Singapore untuk membahas proyek resort di sana. Selesai menelepon klien untuk mengatur jadwal ulang, Aku mendapat telepon dari Pak Haidar, memintaku untuk mengurus konsep pesta baby shower calon cucunya. Pantes saja aku disuruh balik sendirian, ternyata istrinya lagi hamil beneran di rumah. Aku kira cuma alibi dia doang ngaku istrinya hamil. "Ki, yuk
Menikah itu bukan perkara siapa cepat dia dapat. Menikah itu soal ketepatan waktu. Menikah itu ibadah, jadi dia akan menghampirimu di waktu yang tepat. *** Bandara Internasional Changi, Singapura. Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta—Singapore. Aku bersama Pak Haidar mampir di salah satu coffe shop di bandara. Pak Haidar sepertinya paham kalau aku sangat ngantuk. Bahkan bisa aku lihat di kaca kalau kantung mataku benar-benar hitam seperti panda. "Tidur jam berapa, Ki?" "Jam enam, Pak." "Serius?" "Serius, Pak." "Maaf, Ki." "Gapapa, Pak. Lagian ini tugas saya." Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sedikit merasa tidak enak mendengar kalau aku baru tidur jam enam pagi tadi, dan hebatnya jam delapan aku harus bangun. Dua jam aku memejamkan mata di dalam pesawat. Bisa kalian bayangkan betapa terasa melayang tubuhku saat ini. Tak lama, pelayan datang membawa dua cangkir kopi pesananku dan Pak Haidar. Kali ini aku memesan kopi americano. Sesekali minum kopi pahit biar kita nggak
Pertemuan dengan Ryan kemarin benar-benar membawa efek tersendiri dalam jantungku. Pagi ini yang aku lakukan cuma memegang dada, memastikan kalau diriku nggak jantungan. "Kenapa, Ki?" "Ah, enggak, Pak." Malu. Ya, aku malu banget sumpah lagi ngelamun tapi ketahuan sama boss besar. Terlebih pipi kayaknya panas banget pula. Buat goreng telur kayaknya mateng nih. Akhirnya aku berdeham pelan sebelum memutuskan untuk mengajak Pak Haidar buat ngobrol masalah proyek semalam yang dibahas. Terlebih proyek itu tidak bisa selesai di Singapura. Alhasil aku dan Pak Haidar kembali ke Jakarta pagi ini. "Pokoknya, saya serahkan ke kamu, Ki," kata beliau saat membahas proyek Singapore ini. "Iya, Pak." "Nanti saya di Papua itu kurang lebih sebulanan, jadi nanti tolong kamu ajari anak saya masalah kantor di sini. Dia belum terlalu mengusai perusahaan," ujar beliau menceritakan anaknya yang super duper tampan. "Baik, Pak." "Tidak salah kalau HR memilih kamu sebagai sekertaris saya. Sudah cantik.
“Assalamualaikum,” salamku dengan suara yang sedikit lirih. Sumpah ini capek banget. Badanku kayak mau rontok macam ketombe yang digaruk-garuk. “Lho, anak Mama kenapa lemes gitu?” “Capek.” “Makanya cari suami biar ada yang kasih duit.” Nah. Mulaikan pembahasan soal jodoh. Males banget asli. “Mana oleh-oleh?” tanya mama sambil menyodorkan telapak tangan ke depan wajahku. Melihat kelakuan mama hanya bisa embusin napas kasar. “Kiki kerja bukan liburan, Ma.” “Iya tapikan sekalian dong, Ki. Tempelan kulkas gitu.” “Duh, Ma, tempelan kulkas beli aja di tanah abang banyak.” “Aiss ... Mama pengin yang dari luar negeri biar bisa pamer sama tetangga.” Ck! Kumatkan jiwa pamer mama. Pengin marah tapi nanti jadi anak durhaka. Duh, serba salah jadi anak. “Yaudah kapan-kapan.” Senyum mama langsung mengembang lebar saat aku bilang kapan-kapan. Padahal jujur aja nggak tahu juga kapan-kapannya tahun berapa nanti. Merasa benar-benar letih, aku memilih masuk ke kamar dan langsung berbaring. Bo
Saat lagi fokus di depan laptop. Seperti biasa, aku melihat Joko tengah berjalan ke arahku membawa peralatan kebersihan lengkap yang menempel di badannya. Meski begitu aku tetap aja penasaran ada info atau gosip apa yang akan Joko sampaikan. Terlebih Joko mengepel sambil bersiul riang gembira. Joko berdeham yang membuatku menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku yang nggak bisa menahan rasa penasaran dalam diriku sendiri. “Gapapa.” “Kok cengar-cengir gitu sih.” “Lagi seneng aja.” “Kenapa emangnya? Dapat tip dari Mbak Sila?” Joko menggeleng dengan bibir tersenyum. Sumpah Joko bikin aku penasaran sampai ubun-ubun. Terpaksa aku mengeluarkan duit dua puluh ribu kembalian naik taksi online tadi. Aku sodorkan ke arah Joko dan langsung diterima dengan cepat. Kampret emang anak satu ini. “Mbak Sila tadi ngomel-ngomel sama anak baru, katanya mau ke kantor apa mangkal gitu.” Aku langsung menatap ke arah Joko dengan tatapan kesal yang ditahan. Kalau begini doang tadi Mbak Sila udah kasih ka
Malam ini tepat pukul delapan Leonel sudah berada di rumah Adeeva kembali setelah tadi istirahat sebentar dan cari makan bersama Adeeva.Sebelum menemui kedua orangtua Adeeva kembali, tadi mereka berdua sudah berdiskusi tentang budaya di Indonesia jika akan menikah. Adeeva sudah menjelaskan semua jika di negaranya banyak tata cara jika ingin mempersunting anak orang. Berbeda dengan budaya milik Leonel.Dan kini Leonel sudah duduk berhadapan dengan Ryan yang baru saja pulang dari kantor. Tadi siang istrinya memang menelepon jika putrinya pulang membawa pacar namun saat siang tadi Ryan tak bisa pulang.Sebelum mengobrol, Ryan berdeham terlebih dulu sambil mengamati dan menatap Leonel lekat-lekat.“Kau sudah berapa lama kenal dengan putriku?” Ryan mulai mengeluarkan pertanyaan untuk Leonel.“Baru ini, pas Adeeva kerja di Joeyi.”Ryan mengusap-ngusap dagunya pelan. Meski sudah tua tapi kharismanya tidak pernah luntur. Buk
Benar dugaan Adeeva jika yang datang itu grandma-nya. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi grandma-nya memakai wig berwarna pirang.“Adeeva … cucu grandma,” sapanya heboh.Adeeva sendiri hanya meringis dan melihat kelakuan sang grandma yang semakin tua semakin jadi aja.“Uwow, tampan sekali itu Adeeva. Dia pacar kamu kan?” tanya sang grandma antusias dan dijawab Adeeva dengan anggukan saja. “Oh no … ini benar-benar bibit unggul! Pokoknya segerakan menikah,” imbuh grandma benar-benar tanpa tedeng aling-aling.Dan tanpa malunya sang grandma langsung ngajak salaman kepada Leonel yang ditatap bingung. Sedangkan Adeeva hanya terkikik geli melihat Leonel digoda oleh grandma-nya.Tak lama Kiki keluar dari arah dapur sambil membawa bakwan yang baru selesai matang. Dari pada beli belum tahu enak apa enggaknya mendingan buat lagi.“Hai, your name?”Grandma yang bahasa inggrisnya campur
Jakarta, Indonesia.Setelah sepakat dan berdiskusi yang terlalu alot kemarin, akhirnya Adeeva dan Leonel tiba di tanah kelahiran Adeeva.Mereka kini sudah sampai Jakarta setelah menempuh perjalanan yang membuat keduanya lelah. Sepanjang jalan menuju rumah pun Adeeva selalu diam membisu karena mengingat seminggu yang lalu jika dirinya dan Leonel selalu terbawa suasana hingga sering melakukan kissing.Lebih sialnya lagi Adeeva tidak sanggup menolak karena pria itu benar-benar pandai mengusai dirinya hingga luluh dan takluk.Dan kali ini rasanya pengin menjerit yang keras karena merasa gagal untuk mempertahankan diri di hadapan Leonel. Sial.“Wah, sangat panas sekali di sini.”Mendengar keluhan Leonel tentang iklim Indonesia pun membuat Adeeva mendengkus sebal. Dan lebih parahnya kulit Leonel sudah mulai tampak merah-merah seperti terbakar. Padahal belum genap 24 jam hidup di Negara tercintanya tapi sudah seperti cacing kepanasan.
Saat ini Adeeva dan Leonel sudah berada di kediaman Marinka. Dan tentu saja kedatangan Adeeva disambut hangat oleh Marinka.Bahkan ada sebersit rasa kasihan saat melihat Marinka begitu baik kepada Adeeva. Namun ini merupakan jalan yang terbaik untuk membahagiakan mommy-nya.“Dear, aku merindukanmu.”“Aku juga Mom.”“Aku tidak berbicara denganmu. Aku berbicara dengan Adeevaku.”Glek.Leonel hanya menelan ludahnya saja saat mommy-nya lebih sayang dengan Adeeva. Bahkan kini mommy-nya sudah memeluk Adeeva penuh kasih sayang. Sedangkan dirinya diabaikan begitu saja. Sialan! Sebetulnya anak mommy itu siapa sih? Adeeva atau dirinya?“Mom, kau tidak merindukan putramu yang tampan ini?”“Tidak.”Adeeva langsung terkekeh begitu puas mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Marinka hingga wajah Leonel langsung berubah begitu pias.Bahkan Adeeva melihat jika Leonel la
Telinga Adeeva terasa berisik-berisik mendengar sesuatu tapi apa. Bahkan matanya saat ini untuk terbuka saja sangat berat sekali.Sebisa mungkin Adeeva melawan alam bawah sadarnya agar bisa membuka matanya dan dengan gerakan perlahan Adeeva mulai membuka mata.Mata Adeeva menangkap banyak sosok orang mondar mandir namun pandangannya masih terasa remang-remang. Memang manusia mana yang berani masuk ke apartemennya sekarang?Disaat sudah terbuka dengan sempurna, Adeeva terkejut dengan sosok Leonel yang tengah tersenyum menatapnya sambil bertolak pinggang menatapnya. Bahkan tubuhnya kini menjulang begitu tinggi di mata Adeeva.“Kau.”“Sudah puas tidurnya?”Merasa belum sadar seratus persen membuat Adeeva langsung mulai duduk dan merasakan ada selimut di atas tubuhnya. Pasalnya tadi pagi ia langsung pergi keluar kamar karena emosi dengan sikap Leonel yang mengusai kamarnya.“Kau masih di sini.”&
Hari ini rasanya nano-nano bagi Adeeva. Dikantor dibuat kesal sekaligus kebawa suasana sama sikap Leonel. Dan sekarang ia lagi bersama Danis untuk makan malam bersama.Gimana mau nolak coba? Orang kalau udah suka sama cinta itu langsung mendadak jadi bego. Padahal udah tahu bakalan sakit hati tapi tetap aja mau dijalani begini. Harusnya menghindar Adeeva! Bodoh kamu.Selain merutuki diri sendiri kini Adeeva juga tersenyum senang karena menikmati makan bersama Danis. Sikap manis Danis yang selalu mengusap bibirnya jika berantakan saat makan pun membuat Adeeva semakin meleleh. Baper parah.“Makasih, Kak.”“Sama-sama. Meski udah gede tapi kamu kalau makan masih tetap kayak waktu kecil. Berantakan. Belepotan.”Adeeva hanya meringis saja mendengar ucapan Danis. Bahkan Adeeva bingung mau ngomong apa. Karena menatap Danis mengubah otak cerdasnya menjadi bego begini.“Besok Kakak pulang.”“Hah, kok ce
“Kau sekarang di mana?”“Di kedai bersama Emilia.”“Sebaiknya cepat kembali ke kantor.”“Oh no, ini jam istirahatku Josh.”“Atasan kita marah besar soalnya.”“Siapa memangnya?”“Tuan Rudolpho.”“Oh no, katakan dengan dia ini jam istirahat hingga tak bisa diganggu.”“Cepat kembali Adeeva! Atau kau akan aku pecat!”Adeeva mendengar ancaman yang dilontarkan Josh langsung berdecak kesal. Kenapa orang yang berkuasa suka sekali mengancam kaum bawah sepertinya sih.“Ya, aku segera ke sana. Dan aku sangat membencimu Josh!” teriak Adeeva kemudian mematikan sambungan telepon dengan kesal.Deru napas Adeeva terdengar jelas di telinga Emilia hingga membuat perempuan itu langsung bertanya apa yang terjadi.“Ada apa?”“Josh memintaku kembali ke kantor.”&ldqu
Danis langsung tersenyum dan mengacungkan tanda jempol ke arah Adeeva sebagai penilaian teh buatan adiknya ini rasanya enak.Melihat itu membuat Adeeva langsung merasa senang bukan kepayang. Padahal hanya dipuji teh-nya enak saja, bagaimana jika dicintai balik coba? Pasti Adeeva akan menjadi manusia paling bahagia sedunia kayaknya.Setelah menghabiskan satu cangkir teh, Danis langsung pamit pergi yang membuat Adeeva merasa tampak kecewa juga sedih.“Jaga diri baik-baik.” Danis selalu berpesan itu untuk Adeeva karena bagaimanapun Adeeva hanya gadis kecil yang mencoba menjadi dewasa. “Bye.”Adeeva hanya menatap diam kepergian Danis dari apartemennya. Entah dia harus melakukan hal ini atau tidak yang pasti Adeeva tidak ingin membuang kesempatan ini.“Kak Danis,” panggil Adeeva yang langsung berlari dan memeluk Danis erat. Lain hal dengan Danis yang terkejut dengan sikap Adeeva. Melihat adiknya semakin mempererat pel
Satu minggu kemudian.Sudah hampir satu minggu ini Adeeva dan Leonel tidak pernah bertemu satu sama lain. Bukan karena mereka bertengkar atau habis baku hantam. Tapi keduanya sama-sama sibuk bekerja, dan Leonel juga habis dari Moskow. Dia mendatangi Darrel Blaxton yang memang sudah pindah warga Negara di sana bukan lagi di Los Angeles.Dan hari ini Leonel pulang dari Moskow. Hal utama yang ingin dilakukannya pas sampai bandara itu mengunjungi Adeeva.Entah kenapa sikap galak dan barbarnya membuat kangen. Ada rasa sepi yang hinggap di dadanya selama di Moskow.Biasanya Leonel akan memilih pulang ke apartemennya namun khusus malam ini dia langsung pergi ke apartemen Adeeva. Apalagi pertemuan terakhir mereka saat makan bersama di restoran cepat saji itu. Niat ingin menginap waktu itupun Leonel batalkan karena ada telepon mendadak yang membuat esoknya terbang ke Moskow.Selama perjalanan menuju ke apartemen pun Leonel tak henti-hentinya tersenyum memba