Aku berbalik hendak menuju kontrakan yang belum genap satu kali dua puluh empat jam kutempati. Namun cukup terkejut ketika kulihat dua orang tengah berdiri di depan gerbang dengan tangan bersilang di dada. Tidak salah lagi mereka itu Elha dan Ira. Apakah mereka sedang menungguku?
“Din, bukannya kamu pulang duluan tadi?” Elha menyapaku dengan wajah tak ramah ketika jarak kami hanya tersisa beberapa langkah.
“Iya, kenapa?” tanyaku sambil menghentikan langkah.
Ira yang perawakannya terlihat tomboy maju melangkah mendekat. Wajahnya yang tadi terlihat halus dan ramah kini sama-sama berubah.
“Kenapa kamu pulang bareng Bang Danes?” Gadis itu mendorong bahuku. Aku yang tanpa persiapan mundur beberapa langkah ke belakang.
Ya Tuhaaan, aku harus balas apa?Akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalasnya. Kulemparkan gawai ke atas kasur busa dan kubiarkan layarnya mati dengan sendirinya.Hari masih pagi. Namun tidak ada geliat semangat hari ini. Entahlah kenapa? Mungkin pikiranku terganggu atas pesan yang dikirimkan lelaki itu.Dwi Rama, sebetulnya dia adalah sosok ideal. Namun dalam waktu secepat ini aku bahkan belum bisa mengenali keinginanku sendiri di dunia baru ini. Apalagi bisa memutuskan perasaan ini akan berlabuh pada siapa?Aku berpindah ke ruang depan. Menyalakan televisi sambil memeluk bantal. Memantau berita tentang tajuk perekonomian negara dan industri strategies, tapi kho terasa hambar. Akhirnya aku merebahkan tubuhku, merasakan pegal-pegal pada kaki setelah perjalanan jauh tadi
Setelah selesai berurusan dengan orang kepercayaanku. Aku bergegas ke meja Pak Hilman---orang yang waktu itu mewawancaraiku. Dia adalah tipe atasan yang baik dan sangat membackup bawahannya. Mungkin karena itulah Cecilia tidak memberikan perintah itu pada Pak Hilman. Pastinya lelaki itu akan memberikan pekerjaan sesuai porsinya saja padaku dan bukan membuatku berada dalam posisi sulit.Jika itu terjadi maka tidak ada celah untuk Cecilia menjatuhkanku. Hingga pada akhirnya dia lebih memilih memotong jalur koordinasi.“Bu Cecil nyuruh kamu langsung?” Pupil mata Pak Hilman membesar. Tubuhnya yang tadi duduk tegak kini sedikit condong beberapa derajat dengan jemari membuat irama ketukan di atas meja.“Iya, Pak! Saya cuma mau info ke Bapak karena takut disangka ngelangkahin atasan nanti, Pak!” tuturku
Aku termangu menatap punggungnya yang menjauh. Apakah balasan Tuhan secepat ini? Baru saja aku membelikan Kakek dan Bang Danes makanan. Tuhan mengirimkan Pak GM untuk menggantinya saat ini juga.Namun saat ini bukan itu masalahnya. Kenapa aku jadi terharu atas perhatian Pak GM yang kurasa tulus, ya?Hingga mobil itu lenyap dari pandangan, aku masih termangu sambil memegang dada. Ada rasa berkecamuk tak karuan. Entah sedih, bingung atau bahagia? Aku betul-betul belum bisa mencernanya.Setelah mobil itu hilang dari pandangan. Aku memutar gagang pintu dan bergegas masuk. Wangi makanan yang diberikan Pak GM membuat perutku menjadi keroncongan.Aku bergegas sholat maghrib. Setelah itu kuambil sendok dan gelas minum. Kugelarkan karpet di ruang depan sambil menyalakan televisi.
Aku memasuki ruangan office dengan tergesa. Setibanya di kubikel tempatku bekerja, segera kukemasi barang-barang pribadiku. Ada satu pasang sepatu di bawah kolong meja yang biasa kupakai saat hendak dinas luar. Beberapa sachet kopi dalam laci. Pastinya kopi penghilang penat ketika deadline. Serta buku agenda yang kubuat untuk mencatat jadwal harianku.Kumasukan dalam satu kantong kecil yang kulipat dalam laci. Segera kubereskan berkas dan kubuat detail kerja yang masih pending serta yang sudah selesai untuk dilakukan handover.Sekitar lima belas menit area kerjaku sudah rapi. Kini tinggal nunggu Pak Hilman datang untuk berpamitan dan serah terima pekerjaan. Setelah serah terima tinggal ke bagian HRD mengurus data kehadiran dan mengembalikan Id card.Sambil menunggu penutupan meeting. Aku berjalan ke pantry mencar
Aku menjatuhkan tubuhku dan menyembunyikan wajahku diantara kedua kakiku. Sedang berusaha menenangkan pikiran hingga sebuah ketukan membuatku dengan malas berdiri dan membuka gagang pintu.“Kakek mau ketemu!”Bang Danes sudah berdiri di depan pintu. Ekspresinya masih selalu menjadi misteri. Wajah itu justru malah menjadi semakin membuatku penasaran sebetulnya. Aku tidak bisa menebak apa isi pikirannya.Kulirik Elha dan Ira masih berada di sana. Kali ini keduanya menatapku dengan tajam. Malas berbasa-basi dengan mereka. Malas juga melihat Elha yang sok akrab sekali dengan lelaki yang ada di depanku ini.“Nanti, sore aku ke situ!” ucapku sambil mendorong daun pintu untuk segera menutupnya.“
Tiba-tiba ada suara bariton menyahut dari luar.“Kenapa dia harus bantuin aku, Kek?” ternyata Bang Danes baru datang dengan berbagai belanjaan ditentengnya. Rupanya hendak mulai berjualan ketoprak lagi.“Dinda berhenti kerja, Nes! Kalau bantuin kamu, nanti kamu bagi hasil jualan buat dia per porsi seribu misalnya … kasihan selama menganggur pasti tidak ada pemasukan!” ucap Kakek begitu bijak membuatku terharu. Namun memangnya aku bisa bantu apa? Bikin ketoprak? Aku aja gak bisa.“Kenapa berhenti kerja?” Bukannya menjawab pertanyaan Kakek, lelaki itu malah bertanya padaku.“Bukan rejekinya disitu … mungkin nanti mau cari kerja lagi di perusahaan lain!” Malas aku menceritakan panjang lebar.&n
Hari ini adalah hari di mana aku akan menghadiri interview di perusahaan Adireja. Aku sudah tampil fresh dengan setelan blezerku.Sepagi ini pintu kontrakan depanku masih tertutup padahal biasanya pasti sudah terbuka. Selama dua minggu ini, aku dan Bang Danes selalu berangkat awal pagi. Namun sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, lelaki itu tidak kelihatan batang hidungnya. Gerobaknya teronggok tanpa isi di depan kontrakannya.“Assalamu’alaikum!” Aku mengetuk pintu kontrakan yang kini masih tertutup rapat. Aku takut dia kesiangan berjualan.Namun tetap masih sepi. Tidak ada jawaban apapun hingga aku mengulangnya berkali-kali. Pada ketukan kelima, barulah pintu itu terbuka. Kulihat Kakek muncul dengan wajah masih mengantuk.
Setelah sejenak berdiam aku kembali mampu menguasai keadaan. Aku menatap tepat ke arah kamera yang terpasang pada perangkat meeting. Aku yakin dia sedang menatap wajahku dari balik layar sana.“Maaf, Pak … saya tidak berhak menceritakan seseorang tanpa seijin orang itu. Lagi pula ini adalah interview untuk bagian sekretaris bukan? Tidak ada hubungannya antara rekan berjualan ketoprak saya dengan bidang yang akan saya jalani nanti!” Aku mencoba mematahkan pertanyaan tidak pentingnya itu.“Ok, accepted. Satu pertanyaan lagi, apakah ada rencana menikah dalam waktu dekat?”“Belum, Pak!”“Calonnya sudah ada?”
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla
Pov Author Selamat membaca! Azka menatap punggung Alma yang sudah menghilang dibalik angkutan. Azka tahu, Alma akan baik-baik saja di sana. Azka juga tahu jika sudah ada pancaran rasa dari setiap tatapan adiknya pada Arya. Namun dia tidak berpikir jika di hati Arya---sahabatnya masih ada Naila. Azka memutar sepeda motornya. Dia menuju sebuah café. Alamat itu didapatkannya dari Riani yang mengirimkan foto pada Alma beberapa waktu tadi. Azka berjalan memasuki café tersebut dan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan. Benar saja, sosok yang dicarinya ada di sana. Arya tampak tengah duduk berhadap-hadapan dengan Naila. Tidak ada kesan resmi terkait pekerjaan. Bahkan tidak ada berkas dan laptop juga di antara mereka.
Pov Alma “Bismillahirrohmanirrohim!” Aku memejamkan mata sambil membuka amplop tersebut. Jujur hatiku bercampur antara was-was dan penasaran atas isi dalam amplop milik suamiku ini. Perlahan lembaran yang ada didalam itu kutarik keluar. Netraku menyipit, mengintip apa sebetulnya yang ada di dalam amplop ini. Tiba-tiba ada yang bergemuruh dalam dada. Ada dua lembar foto di sana. Tampak dalam gambar itu, suamiku sedang menyematkan cincin pada jemari seorang perempuan yang tidak lain ialah Naila. Begitupun pada foto yang satunya. Tampak dengan wajah sumringah, Naila menyematkan cincin pada jemari Bang Arya. "Ya Tuhaaan? Sejauh apa sebetulnya hubungan mereka dulu? Apakah mereka sudah bertunangan?" Hatiku rasanya tercubit. Meski itu masa l
Pov Author Selamat Membaca! Teriakan dari kamar Mina membuat semuanya terbangun. Mina berlari keluar setelah berhasil mendorong tubuh Mang Pian yang seperti kerasukan. Lelaki itu berusaha mengendalikan dirinya dan berlari ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya malam-malam. Nyonya Sinta, Arya dan Alma turun dari lantai atas. Karena Mina berteriak sekuatnya di luar kamar. Mereka melihat wajah Mina yang panik ketakutan. Entin yang tengah terlelap pun terbangun. Sambil menggisik-gisik mata dia keluar. “Ada apa sih, Min?” tanya Entin sambil sesekali menguap. Matanya mengerjap-ngerjap. Arya, Alma dan Nyonya Sinta menuruni tangga dan mendekat ke arah di mana Mina berada. “