BAB 25
Aku beringsut ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Segera kuraih kerudung instanku. Namun tadi adzan subuh sudah berkumandang? Ah, aku mengurungkan niat untuk membuka pintu. Bukankah Allah lebih penting dari segala-Nya?
Aku segera menunaikan salat Subuh dua rakaat. Aku panjatkan semua rasa syukur dan doa. Semoga Allah akan selalu melindungi sleuruh keluarga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika semua orang mencibir dan merendahkanku dulu maka dengan kekuatan doa dan harapan inilah aku bisa selalu mempuku optimisme. Roda berputar, hidup tidak jalan di tempat. Aku selalu yakin akan hal itu.
Aku bergegas turun. Kulihat waktu masih belum beranjak ke pukul lima. Masih cukup pagi. Aku tidak khawatir akan siapa yang datang karena para pengawal yang Suamiku kirimkan pastinya sedang berjaga-jaga di depan.
Aku tiba di lantai satu. Kunyalakan lampu. Masih belum ada tanda-tanda kehidupan. Sepertinya Ami kecapeka
BAB 26“Sejak aku menyingkirkannya dari perusahaan, dia memang selalu mencari celah untuk menjatuhkanku … tapi aku masih tidak percaya ketika ternyata dia bermain-main dengan nyawa!” Kudengar Mas Ashraf berbicara pada dirinya sendiri.“Tapi kenapa yang dia kejar istriku?” gumamnya lagi.“Bukannya dulu dia juga yang membuat kau putus dengan wanita itu, Boss! Sepertinya dia tidak suka jika Kau menikah kemudian memiliki penerus! Kalau tidak ada penerus, pastinya keluarganyalah yang akan mengelola semua asset keluarga Adireja itu nantinya!” Mike mencoba menganalisa.“Bisa jadi … tapi jika benar dia, aku masih tak mengira jika dia sekeji itu ….” Mas Ashraf berkali-kali menarik napas.“Awalnya aku hendak mengajak Hasnan bergabung dengan perusahaan kembali setelah ini … tapi sepertinya itu tidak akan pernah kulakukan sebelum dalan
BAB 27Aku mempercepat langkahku ketika kulihat Elisa sudah berdiri di samping Mas Ashraf. Langkahku semakin dekat dan bisa mendengar apa yang dia utarakan.“Diusahakan, ya! Mama soalnya nanyain kamu terus, katanya udah lama banget gak ketemu kamu!” Kulihat wajahnya penuh ekspresi manja. Meskipun suamiku tidak menoleh ke arahnya tapi tetap saja gemuruh pada dada ini kian memanas.“Saya gak ada waktu, sepertinya gak bisa datang, akhir-akhir ini lagi sibuk!” Kudengar penolakan dengan tegas dan jelas dari mulut Mas Ashraf.“Yah … padahal jauh-jauh aku ke sini cuma mau nyampein hal ini … abisnya kalau aku kunjungi ke kantor kamu gak ada terus, mau ke rumah sama security gak boleh masuk.” Wanita itu melipat bibirnya dan apa itu satu tangannya hendak meraih lengan suamiku.“Ehmmm!” Aku berdehem sedikit keras. Membuat kedua orang itu menoleh.Tampak Elisa p
BAB 28Suamiku menutup teleponnya. Wajahnya terlihat gusar. Aku mengerti, bagaimanapun akhir-akhir ini begitu banyak hal-hal yang terjadi dan bukan main-main.Dia mendekat dan mendekapku erat. Hembusan napasnya terasa hangat menerpa pipiku. Beberapa kali dia membuang napas kasar. Setangguh apapun dia di luaran ketika bersamaku terkadang dia memunculkan sisi lain. Seorang lelaki yang butuh dukungan.Sementara pikiranku masih tertaut pada video itu. Aku memejamkan mata mencoba menepis gundah hati. Namun pikiran tidak bisa kuajak kompromi. Akhirnya sebuah kalimat pertanyaan terlontar tanpa bisa kutahan.“Mas, lelaki dalam video itu apakah benar kamu?” Akhirnya kalimat itu lolos begitu saja meski penuh keragu-raguan. Lelaki itu malah menyembunyikan wajahnya pada ceruk leherku. Tangannya melingkar pada perutku dan mengalus calon jabang bayi kami yang masih berumur beberapa minggu.“Maaas?” tanyaku s
BAB 29Mas Ashraf menggendong tubuhku dan dibawanya ke kamar. Dia menerobos kerumunan Teh Selvi dan kedua kakak sepupuku tanpa basa-basi. Rupanya dia cukup kesal melihat mereka hanya menonton ketikaku terjatuh.Dia membaringkanku perlahan. Setelah melihatku terbaring dengan nyaman, Mas Ashraf merogoh sakunya dan mengambol gawai. Dia terburu-buru menghubungi seseorang.“Farrel! Tolong urus ketiga tikus yang hampir menyakiti istri saya … terserah kamu … buat mereka menyesal!” Kemudian dia mematikan teleponnya.Mas Ashraf membaringkan tubuhnya pada tepi ranjang sambil memelukku.“Mas, aku gak apa-apa! Kamu jangan berlebihan gitu!” Aku mendorongnya. Tidak enak juga ketika para tetangga sedang heboh menyambut kedatangan kami. Aku malah berdua-duaan di kamar seperti ini.Dia masih terdiam ketika kudengar dari ruang tengah suara Farrel memanggil Teh Selvi dan yang lainnya.
BAB 30Mereka terlihat begitu akrab. Apakah wanita itu yang disebutnya sepupunya---Amanda? Tapi kenapa Mas Ashraf mengirimnya padaku? Aku segera memijit tombol telepon berwarna hijau dan menunggu nada tersambung padanya. Aku butuh klarifikasi secepatnya sebelum hatiku meledak karena cemburu.“Hallo … Sayang!” Suara bariton itu menyapaku dengan khas.“Mas, udah sampai?” Aku berbasa-basi.“Iya ini lagi sama Manda! Kenapa, Sayang?”“Mas, langsung pulang ke sini ‘kan?”“Hmmm … besok ya? Ini Manda minta di anter belanja pakaian dulu katanya, gak punya setelan buat melamar kerja! Lusa dia interview!”Aku mematikan teleponnya sepihak. Kenapa aku menjadi kesal seperti ini ya? Memang Mas Ashraf mengantar seorang wanita, tapi dia adalah Saudara sepupunya sendiri.Aku menyimpan telepon di atas meja kecil. Kulihat benda pipih itu
BAB 31“Iya, sedikit! Karenanya aku datang mencoba mendapat info dan kebenaran! Apakah betul yang Ibu Kang Hafiz sampaikan?” tanyaku tanpa berani memandangnya lama.“Tentang yang mana?” tanyanya sambil melirik ke arahku.“Karir dan cita-cita Kang Hafiz!” sambungku.Dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya terpejam sebentar seolah sedang mengumpulkan sebuah kekuatan atau mungkin sedang merangkai cerita yang akan di sampaikan.“Ta … maafin aku waktu itu! Sebetulnya aku hanya sedang berlindung dari ketakutan yang luar biasa! Mendengar kabar pernikahanmu membuat otakku seakan tidak bisa berpikir apa-apa!” ucapnya menjeda.“Dulu aku hanya punya dua tujuan kenapa begitu bersemangat berkuliah dan rela meninggalkanmu sendirian di kampung ini! Tahukah tujuanku apa, Ta?” tanyanya. Dia masih terlihat seperti orang waras dan baik-baik saja. Ak
BAB 32Aku baru berbicara pada Farrel ketika hampir tiga perempat perjalanan kami lewati. Tiba-tiba aku teringat tentang permintaan Kakek untuk cucu-cucu kesayangannya. Apa betul yang dikatakan Kakek tentang mutasi jabatan itu?Aku masih menyandarkan tubuhku pada kursi belakang. Aku melirik Farrel yang tengah sibuk memegang setir sambil sesekali bersenandung.“Farrel, kamu apakan ketiga saudara sepupuku?” Aku menelisik. Farrel terdiam sesaat kemudian menjawab.“Hanya memberinya sedikit pelajaran!” ucap Farrel kemudian.“Tapi 'kan suami Teh Rema dan Teh Rena gak salah?”“Justru mereka yang paling salah!” Farrel beropini.“Kenapa bisa gitu?” tanyaku meminta penjelasan.“Mereka itu lelaki yang harus memimpin … jangankan memimpin sebuah Departemen … memimpin keluarga dan mendidik istri-istri mereka saja tidak becus!”
BAB 33Semenjak kehadirannya, banyak hal yang berubah dalam rumah ini. Memang Amanda sangat pandai mengambil hati Ibu Mertuaku. Dia akan selalu menunjukkan perhatian yang berlebihan padaku setiap ada suami dan Ibu Mertuaku. Seperti pada hari ini.Kami tengah duduk bersama di ruang tengah. Aku duduk di karpet dan bersandar di sofa sementara Ibu Mertuaku sedang duduk sambil memakan camilan sehatnya. Entah makanan apa yang dibuatkan Ami untuknya. Namun dia terlihat sangat khusuk.Aku berselonjor melemaskan otot kaki. Mas Ashraf tengah tertidur dalam pangkuanku sambil mengajak bicara calon bayi kami yang usianya masih kurang dari tiga bulan. Meskipun pada trimester awal kehamilanku tidak ada hal yang istimewa seperti ngidam yang aneh-aneh, tapi aku memang menjadi cepat merasa lelah.Pada saat seperti itulah, Amanda akan datang dan mencoba menarik simpatik Ibu Mertuaku dan Mas Ashraf. Gadis itu dengan gaya casualnya berleng
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla
Pov Author Selamat membaca! Azka menatap punggung Alma yang sudah menghilang dibalik angkutan. Azka tahu, Alma akan baik-baik saja di sana. Azka juga tahu jika sudah ada pancaran rasa dari setiap tatapan adiknya pada Arya. Namun dia tidak berpikir jika di hati Arya---sahabatnya masih ada Naila. Azka memutar sepeda motornya. Dia menuju sebuah café. Alamat itu didapatkannya dari Riani yang mengirimkan foto pada Alma beberapa waktu tadi. Azka berjalan memasuki café tersebut dan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan. Benar saja, sosok yang dicarinya ada di sana. Arya tampak tengah duduk berhadap-hadapan dengan Naila. Tidak ada kesan resmi terkait pekerjaan. Bahkan tidak ada berkas dan laptop juga di antara mereka.
Pov Alma “Bismillahirrohmanirrohim!” Aku memejamkan mata sambil membuka amplop tersebut. Jujur hatiku bercampur antara was-was dan penasaran atas isi dalam amplop milik suamiku ini. Perlahan lembaran yang ada didalam itu kutarik keluar. Netraku menyipit, mengintip apa sebetulnya yang ada di dalam amplop ini. Tiba-tiba ada yang bergemuruh dalam dada. Ada dua lembar foto di sana. Tampak dalam gambar itu, suamiku sedang menyematkan cincin pada jemari seorang perempuan yang tidak lain ialah Naila. Begitupun pada foto yang satunya. Tampak dengan wajah sumringah, Naila menyematkan cincin pada jemari Bang Arya. "Ya Tuhaaan? Sejauh apa sebetulnya hubungan mereka dulu? Apakah mereka sudah bertunangan?" Hatiku rasanya tercubit. Meski itu masa l
Pov Author Selamat Membaca! Teriakan dari kamar Mina membuat semuanya terbangun. Mina berlari keluar setelah berhasil mendorong tubuh Mang Pian yang seperti kerasukan. Lelaki itu berusaha mengendalikan dirinya dan berlari ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya malam-malam. Nyonya Sinta, Arya dan Alma turun dari lantai atas. Karena Mina berteriak sekuatnya di luar kamar. Mereka melihat wajah Mina yang panik ketakutan. Entin yang tengah terlelap pun terbangun. Sambil menggisik-gisik mata dia keluar. “Ada apa sih, Min?” tanya Entin sambil sesekali menguap. Matanya mengerjap-ngerjap. Arya, Alma dan Nyonya Sinta menuruni tangga dan mendekat ke arah di mana Mina berada. “