"Mbak, kamar Bibi terlalu besar. Rasanya gimana gitu?" ucap Bi Narti tiba-tiba saat aku ingin mengambil minum di dapur. Dia sedang mencuci beras. Dua kamar di bawah memang satu untuk Bi Narti dan satu lagi untuk kamar tamu yang sekarang sedang ditempati oleh Ayah dan Ibu. Untuk dua kamar atas, salah satunya untukku bersama Mas Arsya, sedangkan satu lagi sementara dipakai oleh Kaniya. Kalau Mas Danu, dia tidur di sofa ruang keluarga sambil menonton pertandingan sepak bola. Saat turun tadi, aku melihat kakak menyebalkan itu masih terlelap dengan televisi yang masih menyala. "Memang adanya kamar itu, Bi. Bibi itu sudah seperti orang tua buat aku sama Mas Arsya. Jadi, sengaja kamar buat Bibi dibuat sama dengan kamar yang lain." Aku menjawab sembari menampung air dari keran dispenser dengan gelas. "Bibi jadi sungkan." Bi Narti menatapku setelah menyalakan penanak nasi. Aku tersenyum, lalu beralih ke meja makan dan duduk setelah menarik satu kursi. Segelas air putih kuminum beberapa kal
PoV ArsyaTernyata, Manda masih memendam rasa takut tentang masalahku dengan Papa dan Mama. Itu sebabnya perasaannya tidak juga membaik meskipun aku sudah berulang kali meminta maaf. Saat membentaknya waktu itu, emosiku entah kenapa menutup mata hati. Manda tidak salah, tapi aku meluapkan amarah kepadanya. Hampir saja aku pergi untuk menemui Papa saat itu juga. Namun, tiba-tiba bayangan Manda yang sedang menangis muncul. Aku tidak ingin ambil risiko karena dia memang sedang labil emosinya dan itu bisa saja berakibat fatal pada kandungannya. Aku pun memutar haluan untuk kembali pulang. Benar adanya, Manda sudah sesegukan dan aku sangat tidak tega melihatnya seperti itu. Keesokan harinya, Manda terus saja diam dan menghindariku. Namun, rencana yang sudah kusiapkan untuk membuka rahasia Kakek dan Nenek harus berubah haluan karena Manda telanjur dilibatkan oleh Papa Farhan untuk membujukku. Jadi, aku terpaksa membongkar rahasia yang sebenarnya tidak ingin aku kulik lagi. Dia sangat ter
Aku lega karena akhirnya bisa mengatakan apa yang sebenarnya mengganggu pikiran. Tentang hubungan Mas Arsya dengan Papa dan Mama itu sangat menguras hati. Aku yang memang tidak terbiasa dibentak, tentu sangat down. Satu kali sempat Ayah Husni membentakku saat kembali ke Jogja bersama Mas Danu, aku sampai drop dan mengalami pendarahan. Saat itu, emosiku juga tidak terkendali dan akhirnya hal buruk terjadi.Kami bercengkrama cukup lama di sekitaran curug parigi sekaligus makan siang. Mungkin kalau aku sedang tidak hamil, ingin sekali bisa bermain air di air terjun itu. Tempatnya pasti sangat licin sehingga aku harus puas dengan memandangnya saja. Menjelang sore, Mas Arsya mengajak pulang. Akan tetapi, dia kembali pergi setelah mengantarku pulang. Katanya, ada urusan untuk membahas acara penyambutannya besok di perusahaan cabang. "Nggak usah nungguin aku buat makan malam, ya. Mungkin aku pulang agak larut," ucap Mas Arsya sebelum aku turun dari mobil. "Iya. Mas Arsya hati-hati, ya. Ka
Aku tengah sibuk menata meja makan bersama Kaniya. Sementara Ibu dan Bi Narti masih menyelesaikan sedikit gorengan dan menunggu satu masakan lagi yang belum matang. Ada empat menu masakan yang dibuat Ibu dengan Bi Narti, termasuk gudeg dan sambel goreng krecek yang merupakan menu utama di warung makan Ibu. Lalu, ada juga tempe mendoan, ayam goreng, dan perkedel kentang. Meja makan di rumah ini untungnya cukup besar dan agak memanjang, ada delapan kursi yang mengelilingi. Paket komplet yang terhidang kali ini benar-benar sangat menggoda. Tepat saat semua masakan siap, bel rumah ini berbunyi. Aku bergegas meninggalkan ruang makan, tapi dicegah oleh Mas Arsya. Katanya, dia yang akan membuka pintu. Namun, aku tetap mengikutinya ke depan. Kuulas senyum saat melihat siapa yang datang. Ada Mama Astri dan Papa Farhan. Aku pun mendekat dan mencium tangan keduanya bergantian. Namun, aku melihat ada keanehan dengan sikap Mas Arsya, Mama, dan Papa. Mereka seperti orang asing satu sama lain. Mem
Kami berempat menghabiskan waktu seharian di mal. Usai menonton bioskop, kami melaksanakan salat Zuhur terlebih dahulu, lalu makan siang di salah satu restoran. Setelah itu dilanjutkan berbelanja pakaian, perlengkapan make up, dan barang-barang lainnya untuk acara besok. Mas Danu dan Kaniya juga harus tampil menawan. Dan untuk barang-barang itu, Mas Danu yang membayar sendiri. Aku yang sedikit merasa lelah, hanya duduk di salah satu bangku yang disediakan toko pakaian. Sementara yang lain sedang sibuk memilih. "Sayppang kecapekan ini," ucap Mas Arsya tiba-tiba. Dia sudah berdiri di hadapan. "Iya, tapi buat istirahat sebentar juga enakan, Mas," jawabku seraya tersenyum. Mas Arsya menunjukkan beberapa dress untukku. Semuanya terlihat sangat indah. "Sayang pilih yang disuka, atau mau semuanya?""Mas, lihat perutku. Ini semua nggak akan muat aku pakai," kataku pelan. "Ini, aku udah cari ukuran yang gede, Sayang," sanggahnya. Aku menggeleng lagi. Rasanya mood tiba-tiba anjlok. Sebena
Sehari setelah acara lamaran Mas Danu kepada Kaniya, orang-orang terkasihku kembali ke Jogja. Ayah, Ibu, Kaniya, dan Mas Danu meninggalkanku dalam kerinduan lagi. Meskipun ada Mas Arsya, tetap saja rasanya berbeda. Apalagi, hampir setiap hari aku tidak ada pekerjaan selain duduk-duduk saja. Bi Narti pun melarangku jika akan membantu karena Mas Arsya sudah memberinya perintah untuk tidak membiarkanku melakukan pekerjaan rumah. Kesibukan Mas Arsya pun bertambah banyak sehingga dia sedikit sekali punya waktu untukku. Kami hanya sempat makan bersama saat sarapan. Sementara untuk siang dan malam, bisa dihitung dengan jari berapa kali kami makan bersama. Jam pulangnya yang tidak tentu, membuat intensitas pertemuan kami pun berkurang banyak. "Aku buatin cokelat Mas." Kubawa satu cangkir cokelat panas dan satu tangkap roti bakar dengan selai cokelat pula ke ruang kerja Mas Arsya.Sudah sejak selepas Isya, dia masih saja fokus pada layar laptop dan tumpukan kertas yang tidak kutahu isinya. S
Aku buru-buru mengambil pakaian dari lemari, lalu segera masuk kamar mandi untuk menghindar dari terkaman harimau lapar. Hari ini tidak akan kusia-siakan untuk bahagia, meskipun aku tahu jika esok tumpukan pekerjaan sudah menantinya lagi. "Sayang!" panggil Mas Arsya. Suaranya membuatku bergidik. Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Mas Arsya sudah rapi dengan kaus berkerah warna abu-abu tua dipadu celana jeans hitam. Aku hampir tidak mengenalinya. Sering kali, laki-laki berwajah tegas itu lebih memilih memakai celana bahan dan kemeja. "Ganteng, nggak?" tanyanya sambil memegangi kerah bajunya. Sedikit menyombongkan diri. "Ganteng ...." Aku mengangguk-angguk sembari menahan senyum. "Terima kasih," ucapnya, lalu tangan kanannya berkacak pinggang. Kusambar ponsel di nakas dan tas selempang yang menggantung di dinding. Dompet selalu setia di dalam tas mini dengan tali itu. Kemudian, aku langsung menggamit lengannya. "Jagoan Ayah jangan nakal, ya. Papa
Mendekati hari perkiraan lahir, aku sedikit gugup. Sekarang, kandunganku sudah masuk bulan sembilan dan tinggal menghitung hari waktu jagoan kecil kami lahir. Mas Arsya sangat antusias menunggu saat itu. Dia bahkan banyak mengurangi kesibukan. Jam kerja Mas Arsya di kantor dibuat hanya pagi sampai siang. Saat jam makan siang, dia akan pulang dan melanjutkan perkerjaan di rumah. Kemudian, untuk waktu sore, dia gunakan untuk menemaniku berjalan-jalan di sekitaran rumah. Sesuai anjuran dokter, aku harus banyak berolahraga ringan untuk membantu induksi secara alami. Selanjutnya, Mas Arsya terus siaga di dekatku. "Sayang belum ngerasain mules, ya?" tanyanya saat kami sedang jalan-jalan sore di sekitar kompleks rumah. "Belum, Mas. Kan, perkiraan masih dua mingguan lagi," jawabku sambil menoleh ke samping. "Udah nggak sabar, Sayang. Pengen buruan dipanggil papa lagi." Mas Arsya berucap sambil megulas senyum. "Kok, papa? Aku maunya, kita dipanggil ayah sama bunda," jawabku tidak terima.
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S