"Apa yang terjadi, Ni? Bukannya kamu dan Mas Adam baik-baik saja? Kalian juga akan segera menikah, bukan?" cecarku begitu Kaniya duduk. Sengaja aku meminta gadis berlesung pipit itu untuk datang di mana aku, Mas Arsya, dan Mas Danu masih di tempat makan dekat klinik. Dia menangis dengan wajah bingung. Padahal, di hari pertama aku kembali dari Jogja, Kaniya dan Adam terlihat baik-baik saja. "Mas Adam hanya menggunakanku sebagai media informasi, Nda. Dia banyak menanyakan soal kamu saat kami bersama. Di mana tempat tinggalmu, siapa saudaramu, siapa orang tuamu, apa makanan kesukaanmu, pokoknya semua hal tentangmu. Awalnya, aku biasa saja, tapi lama-lama dia keterlaluan. Mas Adam terang-terangan memutuskan hubungan kami saat kamu dan Pak Arsya pergi di hari kita ketemuan pekan lalu." Kaniya menahan isak tangis meskipun air matanya sudah berkali-kali jatuh. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Adam. Kenapa dia seperti itu? Siapalah aku yang sampai membuat dia sampai seperti itu? At
Malam ini, Mama dan Papa menginap di rumah Mas Arsya. Aku berterima kasih karena luka di wajah ini membuatku disayang mertua. Sebelum aku tidur, Mama menyempatkan mengompres mukaku dengan air hangat. Dalam hati, aku begitu bahagia. Hingga malam mulai larut dan suara binatang malam bersahut-sahutan, kedua mataku justru tidak mau memejam. Apa istimewanya aku sehingga masalah seperti ingin selalu mendekat? Adam, aku sedikit tidak percaya jika dia dan Jihan adalah saudara. Lalu, apa maksudnya mendekati Kaniya hanya untuk mengorek informasi tentangku? Dan bunga siang itu? Apakah benar seperti kata Mas Danu jika Adam-lah pengirimnya? Dari dulu, Adam memang penuh teka-teki. Dokter Fahira juga pernah mengatakan jika Adam masih begitu mencintaiku. Namun, apakah cinta itu masih menjadi alasan ataukah justru dendam karena Jihan benar-benar mendapat hukuman? Tak ada habisnya otakku mengeluarkan tanya. Namun, tak satu pun jawaban mampu kutemukan dalam waktu singkat. Entah kenapa, hidupku seper
PoV ArsyaAku masih terus ingat apa kata Mama saat mengantarnya ke pasar tadi. Mama mengulangi permintaan yang dulu pernah dikatakan kepadaku. Mama menyuruhku membantu Papa di perusahaan serta mengajak Manda pindah ke rumah mereka. Itu cukup sulit karena aku tidak ingin Manda tertekan batin jika harus setiap saat bertemu Mama. Meskipun jika kulihat sekarang, Mama sudah banyak berubah sikap terhadap Manda, tetap saja aku tidak tenang. Saat aku akan berangkat bekerja tadi pun, aku justru melihat tingkah Manda yang tidak seperti biasanya. Beberapa kali dia ingin bicara, tapi selalu diurungkan. Entah apa yang akan dia katakan, bahkan saat aku kirim pesan, dia membalas dengan kata tidak apa-apa. "Pak Arsya masih galau mulu?" tegur Edo saat aku sedang duduk menikmati kopi sendirian di pantry. "Udah ketemu yang kemarin itu?" Dia beralih mengambil cangkir dan sepertinya akan membuat kopi juga. "Yang kemarin itu parah, Do. Harusnya emang istriku nggak usah tahu dulu, tapi ... ah, entahlah!
Taksi yang kupesan sudah datang dan siap mengantar ke rumah sakit. Siang ini, jadwal kontrol Mas Arsya sesuai anjuran dari dokter yang menanganinya saat di Jogja. Sengaja kami mendaftar untuk jam siang karena Mas Arsya hanya izin bekerja setengah hari. Dia tidak enak jika terlalu sering meninggalkan pekerjaan lagi. Awalnya, Mas Arsya tidak mengizinkanku berangqkat 1sendiri, tapi untuk menghemat waktu, kami janjian langsung di rumah sakit saja. Jadi, Mas Arsya tidak perlu harus menjemputku terlebih dahulu. "Sayang harus hati-hati, ya. Bilang sama sopir Qtaksinya, jangan ngebut bawa mobilnya. Terus, kalau ada yang aneh, langsung telepon. Yang penting, jangan panik. Bawa juga parfum yang kecil aja. Kalau ada yang gangguin, semprot matanya."Itu serentetan wejangan yang Mas Arsya ucapkan saat menelepon sebelum taksi datang. Dia begitu mencemaskanku. Namun, perhatian itu sangat berharga untukku. Serasa menjadi ratu setiap saat. Aku keluar dari rumah dikawal oleh Bi Narti. Dia juga diama
Kabar dari Mas Danu dan Kaniya membuatku bisa tidur nyenyak beberapa hari terakhir. Tidak menyangka jika takdir yang menjodohkan mereka. Padahal, dulu aku sama sekali tidak terpikir sampai sana. Aku malah mengira jika Mas Danu akan membawa pasangan sepulang dari Kalimantan. Namun, itu semua hanya perkiraan yang salah. Sekarang, masih ada satu hal yang sulit kubicarakan dengan Mas Arsya. Dia selalu mematahkan niatku saat akan mengatakan keinginan Papa yang diungkapkan kepadaku tempo hari mengenai perusahaan beliau. Mas Arsya sempat mengatakan jika dia memenangkan pembebasan hektaran lahan yang akan dijadikan perumahan oleh perusahaan properti tempatnya bekerja. Bahkan, bonus yang diterima tidak main-main. Mas Arsya akan mendapatkan satu buah rumah dari hasil kerja itu. Kerja kerasanya benar-benar membuahkan hasil sekarang. Dia juga diangkat sebagai direktur cabang di kota yang sama dengan tempat pembebasan lahan itu.Rumah baru yang akan didapatkan Mas Arsya itulah nantinya akan menj
Saat sebuah komitmen diingkari, rasanya aku tidak ingin lagi percaya dengan siapa pun. Kecewa tentu saja menjadi hal paling mendasar yang dialami semua orang saat kembali dibohongi. Mungkin bukan berbohong niatnya, hanya tidak ingin menceritakan yang sebenarnya Namun, itu sama saja menurutku. Sama-sama tidak jujur. Sekarang, bukan lagi Mas Arsya yang bersikap dingin, tapi aku. Kekecewaan di hati ini rasanya sudah menggunung. Berkali-kali aku seperti dipermainkan. Bahkan, seperti orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa dan harus menghadapi masalah tanpa tahu asal mulanya. Kenyataan Mas Arsya yang baru terungkap tadi pagi, membuatku memilih diam dan menjadi istri penurut. Aku tidak akan penasaran lagi dengan apa pun yang mungkin masih Mas Arsya sembunyikan. Nyatanya, aku harus selalu terluka dulu jika akan mengetahui rahasia masa lalunya. Usai salat Isya, aku memilih langsung mengistirahatkan badan di di tempat tidur. Usia kandungan yang sudah masuk lima bulan ini membuatku cepat
Aku, Mas Arsya, dan Bi Harni sedang sibuk membereskan barang-barang. Satu bulan sudah berlalu sejak aku bertemu dengan Kakek dan Nenek dari Mas Arsya. Aku sudah berdamai, tapi tidak bisa dipungkiri jika hati ini sangatlah kerdil dan terlalu mudah terbawa perasaan. Besok, kami sudah harus meninggalkan rumah penuh kenangan ini karena sudah ada orang yang akan mengontrak. Mas Arsya memang sudah mengiklankan rumah ini untuk dikontrakkan sejak sebulan yang lalu dan sudah ada yang berminat. Dulu, pertama kali aku tinggal di sini bersama Arumi setelah menikah dengan Mas Arsya. Ya, mungkin memang inilah yang terbaik. Aku dan Mas Arsya butuh suasana baru agar hubungan kami bisa menjadi lebih baik. Barang-barang yang akan kami bawa pindah sebenarnya tidak terlalu banyak karena furniture ikut dipinjamkan kepada si pengontrak rumah. Kami hanya membawa barang-barang pribadi, perlengkapan dapur, dan beberapa alat elektronik. Mas Arsya bilang, di rumah baru sudah lengkap isinya dengan barang-bara
"Mbak, kamar Bibi terlalu besar. Rasanya gimana gitu?" ucap Bi Narti tiba-tiba saat aku ingin mengambil minum di dapur. Dia sedang mencuci beras. Dua kamar di bawah memang satu untuk Bi Narti dan satu lagi untuk kamar tamu yang sekarang sedang ditempati oleh Ayah dan Ibu. Untuk dua kamar atas, salah satunya untukku bersama Mas Arsya, sedangkan satu lagi sementara dipakai oleh Kaniya. Kalau Mas Danu, dia tidur di sofa ruang keluarga sambil menonton pertandingan sepak bola. Saat turun tadi, aku melihat kakak menyebalkan itu masih terlelap dengan televisi yang masih menyala. "Memang adanya kamar itu, Bi. Bibi itu sudah seperti orang tua buat aku sama Mas Arsya. Jadi, sengaja kamar buat Bibi dibuat sama dengan kamar yang lain." Aku menjawab sembari menampung air dari keran dispenser dengan gelas. "Bibi jadi sungkan." Bi Narti menatapku setelah menyalakan penanak nasi. Aku tersenyum, lalu beralih ke meja makan dan duduk setelah menarik satu kursi. Segelas air putih kuminum beberapa kal
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S