PoV Arsya"Bapak mau ke mana? Apa sudah membuat janji?" tanya seseorang yang dari nickname tertulis Gusti Pradana. Dia mengadangku saat akan masuk ke kantor Cahaya Properties. Sepertinya, dia petugas keamanan di sini. "Saya belum membuat janji, tapi saya ingin bertemu dengan Bu Raras, pemilik perusahaan ini," kataku setenang mungkin. "Maaf, Pak. Bu Raras sudah memberikan perintah untuk tidak memperbolehkan siapa pun masuk, kecuali yang sudah membuat janji." Laki-laki berseragam hitam itu masih melarang. "Katakan saja, Pak Arsya ingin bertemu." Aku menegaskan nada bicara. Laki-laki berkumis tipis itu lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Sepertinya dia akan menelepon seseorang. Aku tidak berniat menguping dan memilih mengobrol dengan Damar. Dia sementara akan merangkap pekerjaan, termasuk menggantikan Elma, dan menjadi asisten pribadiku. Petugas yang berjaga di pintu masuk kantor Cahaya Properties itu akhirnya menyuruhku masuk setelah meminta maaf beberapa kali. Dia j
PoV ArsyaBaru saja, Manda berteriak histeris dan membuatku terbangun dari tidur dengan jantung yang berdetak tak keruan. Dia tampak sangat ketakutan dan langsung memelukku sangat erat. Napasnya terdengar memburu dan tak lama kemudian terdengar isakan pelan. Sementara, kubiarkan dia tenang dalam pelukan. Kalaupun aku bertanya, dia pasti belum bisa menjawab. "Mas Arsya jangan pergi-pergi lagi," ucapnya sangat pelan. Dari ucapannya, aku tahu kalau Manda mungkin terbawa mimpi dengan kejadian akhir-akhir ini. Aku sangat tidak tega melihatnya seperti itu. "Aku di sini, Sayang. Tenanglah." Kuusap lembut kepalanya. Aku tidak bisa berjanji kepadanya untuk tinggal karena memang banyak yang harus diselesaikan di luar rumah. Pekerjaan sedang menanti dan masalah demi masalah karena Tedi sangat menguras pikiran. Serangan darinya belum bisa diselesaikan. Pelukan dari Manda mulai renggang dan dia kemudian menatapku dengan sorot yang sangat sendu. "Aku nggak mau kehilangan Mas Arsya. Aku takut .
PoV ArsyaDua hari sudah, aku hanya terbaring di tempat tidur. Tubuh menggigil dan perut yang sangat tidak nyaman membuatku sulit untuk menerima makanan sehingga tubuh terasa makin lemas saja. Untungnya ada Manda yang merawatku dengan sangat telaten. Dia sama sekali tidak meninggalkanku. Ternyata, aku bisa tumbang juga. "Mas sarapan dulu, ya." Manda sudah siap dengan satu piring bubur di tangan. Meskipun sebenarnya malas makan, aku tidak pernah bisa menolak saat Manda akan menyuapi. Aku tidak ingin menambah kekhawatirannya dan ingin lekas sembuh. Lagi pula, saat melihat senyumnya, makanan yang rasanya hambar, bisa begitu nikmat. Lagi pula, aku memang harus mengisi lambung setelah setengah jam yang lalu minum obat yang dianjurkan sebelum makan. "Aku sempet mikir. Apa lebih baik Mas Arsya sakit aja kayak gini biar nggak bisa ke mana-mana? Tapi, aku pikir-pikir lagi, nggak enak kalau Mas di rumah dan nggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan, cium aku aja jarang banget sekarang." Tiba-tiba, Ma
PoV ArsyaAku tidak boleh banyak bergerak setelah opsi operasi dilakukan. Itu semua karena hasil USG menyatakan jika terjadi lambung bocor dan membuatku sempat berada pada masa kritis. Alhamdulillah, sekarang aku sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah observasi pasca operasi selesai dan kesadaran benar-benar pulih. Namun, untuk sekadar bicara saja, aku masih kesulitan karena napas yang terasa berat. Tampak Manda menemaniku dengan kedua mata yang bengkak. Sepertinya, dia tadi menangis cukup lama. Ada juga Mama yang duduk di sofa dengan mata tertutup. Saat aku mengedar pandangan di ruangan ini, jam di dinding menunjuk angka sebelas untuk jarum pendeknya. Pun, dari suasana sepertinya sudah malam. Perlahan, aku mengulurkan tangan kanan untuk menyentuh wajah Manda. Namun, rasa sakit menyentak di perut sehingga aku mengurungkan niat. "Mas nggak usah gerak dulu. Nggak usah ngomong juga. Sekarang, Mas istirahat lagi saja. Aku akan di sini buat jagain Mas." Mendengar ucapan Manda, aku ju
PoV ArsyaSepulang dari makan siang dengan Manda, aku mendapat undangan untuk menghadiri sidang putusan kejahatan Tedi Bagaskara. Aku ditunjuk menjadi saksi sekaligus korban atas semua yang dilakukan teman SMA Manda itu. Tidak hanya aku, Manda pun mendapat undangan yang sama karena dia pernah menjadi korban penculikan saat di Puncak. Prosesnya ternyata cukup lama. Dari sejak laki-laki itu ditangkap hingga satu bulan lebih terlewat, sidang baru diadakan. Ya, hampir sama dengan saat Jihan dulu. Pengumpulan bukti-bukti itu butuh waktu. "Mas, apa aku harus ikut?" tanya Manda ragu-ragu. "Iya, Sayang. Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran. "Aku takut aja. Dulu waktu aku dateng pas sidangnya Mbak Jihan, aku—""Jangan mikir kejauhan, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Lagian, dia udah ditangkap. Nggak akan mungkin bisa ngapa-ngapain," selaku, menghentikan ucapannya. Manda mengangguk kecil. Kemudian, dia melangkah masuk ke kamar meninggalkanku di ruang tengah sendiri. Hari ini, Mama dan Pa
PoV ArsyaSejak bangun tidur Subuh tadi, aku melihat Manda yang sepertinya gelisah. Entah sudah berapa kali dia mondar-mandir keluar-masuk kamar mandi sampai sekarang. Bahkan, baru saja aku selesai mandi, dia kembali menyerobot masuk kamar mandi. Namun, tidak sekali pun dia memberitahu apa yang dirasakan. "Sayang kenapa?" tanyaku saat dia dengan lesu duduk di tepi tempat tidur usai dari kamar mandi."Nggak enak banget rasanya, Mas. Pengen pipis terus, tapi pas di kamar mandi, keluarnya dikit banget. Kayak orang bingung jadinya. Perut begah banget juga," jawabnya seperti putus asa. Aku jadi tidak tega meninggalkannya bekerja kalau seperti ini. Apa mungkin karena lelah seharian kemarin? Aku lalu memgambil ponsel dan akan menghubungi Sofyan, tapi Manda melarang. Katanya, dia mulai tidak nyaman kalau diperiksa laki-laki, meskipun seorang dokter juga. Aku pun memilih keluar dari kamar dan menemui Mama. Siapa tahu beliau mengerti dengan apa yang dirasakan Manda. Begitu mendengar ceritaku
PoV ArsyaManda tengah sibuk memilih dan memilah pakaian. Hampir semua yang dia keluarkan dari lemari, tertumpuk asal di tempat tidur. Padahal, aku sudah siap dari satu jam yang lalu, sedangkan dia masih belum beres hanya untuk menentukan pakaian yang akan dikenakan. Aku geleng-geleng sendiri melihat kelakuannya. Manda seperti bukan dia yang biasanya. Tidak pernah sebelumnya, dia memilih pakaian sampai seperti itu. "Sayang masih lamakah?" tanyaku yang duduk di depan meja rias sambil bertopang dagu. Manda menoleh sambil cemberut. "Aku nggak punya baju, Mas," rengeknya manja. Apa dia bilang? Tidak punya baju? Lalu, baju siapa. yang bertumpuk di tempat tidur itu? Ada-ada saja Manda itu. "Itu banyak, Sayang." Aku menunjuk tumpukan pakaiannya. "Aku nggak ikut, deh," ucapnya memelas, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Sayang, kok, gitu, sih? Aku udah nunggu sejam ini. Masa' iya aku dateng ke undangan pertemuan antar perusahaan sendirian? Terus pas liat tamu yang lain bawa pasangan, ak
PoV ArsyaManda membantu menyiapkan barang bawaanku semenjak selepas Subuh tadi. Hari ini, aku akan ke proyek resort kedua bersama Pak Zaidan dan tim untuk peletakan batu pertama siangnya. Ya, hanya formalitas saja sebenarnya karena ada beberapa media yang akan meliput proses itu dan menjadi awal dimulainya pembangunan. Kemudian, untuk malamnya akan diadakan konferensi pers tentang rencana pembangunan resort itu. Aku tidak membayangkan jika proyek yang aku jalankan bisa menarik perhatian publik. Ini kali pertama aku mangalami dan sedikit banyak karena kontribusi dari perusahaan Pak Zaidan. "Mas nanti pas di sana, jangan telat makan. Aku bawain kue, kalau laper, bisa dimakan dulu buat ganjel perut. Terus, vitaminnya jangan lupa diminum, soalnya Mas udah nggak konsumsi obat dari dokter. Kalau capek istirahat, jangan dipaksain kerja. Pokoknya—""Pokoknya, aku akan inget semua pesan Sayang." Aku menyambung ucapannya. "Rasanya berat banget biarin Mas nginep di luar kota pas mendekati HP
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S