Hai reader >3 Sehat selalu ya! Dimudahkan rejekinya :) Jangan lupa untuk tinggalkan jejak di kolom komentar. Terima kasih sudah berkenan membaca :) Happy reading love >3
“Ditunda? Kenapa?” Semua orang terkejut mendengar pernyataan Aisyah. “Sebelumnya jangan salah sangka dulu, Aisyah ingin pernikahan ini ditunda karena Aisyah pikir akan lebih baik kalau pernikahannya ditunda sampai Aisyah melahirkan,” jelasnya ragu. “Aisyah tau lebih cepat akan lebih baik, namun ini hanya sebuah keinginan dan Aisyah tidak akan memaksakan juga jika kalian tidak setuju.” Hendra dan kedua orang tuanya saling beradu pandang. “E-e, kalau masalah itu kita sebagai orang tua tentunya akan mengembalikan keputusan akhir pada anak kami.” Kedua orang tua Hendra berusaha menyikapinya dengan bijaksana. “E kalau dari Hendra tetap mengedepankan kenyamanan bersama dan jika hal tersebut membuat Aisyah lebih nyaman, Hendra juga tidak masalah. Hal tersebut juga tentu akan lebih baik karena mengingat usia kandungan Aisyah yang sudah tidak muda lagi, Hendra juga minta maaf karena hal ini luput dari perhatian Hendra.” “Baiklah kalau begitu sekiranya semua sudah s
“Nggak sopan kamu ya, Bima! Bima! Mau ke mana kamu?” Bima pergi begitu saja setelah mengemasi barang-barang yang perlu dibawanya ke rumah sakit. “Hari ini aku nemenin kamu di sini jaga Kiara.” “Hah!” Jihan terkejut, “Kamu kesambet apa tadi di jalan? Tumben banget sikapnya kayak gini.” “Aku males di rumah, Mama marah-marah ke aku karena biayain operasi Kiara, aku capek kuping aku sumpek makanya aku di sini saja,” keluhnya kelelahan. “Emang Mama nggak pernah mau berusaha baik ya, terus sekarang Mama kamu tinggal sendirian gitu di rumah? Aku sih nggak papa selama aman-aman aja, tapi emang kamu yakin ninggalin Mama di rumah sendirian nggak makin nambah masalah kamu nanti?” “Kamu tenang aja, aku tadi minta tolong ke tante Siwi buat nemenin Mama karena dia emang ada rencana nginep ke rumah jadi ya sekalian aja.” Jihan mengerinyitkan dahinya, “Hah? Tante Siwi? Si tante-tante yang suka ngomentarin orang dengan kata-kata pedesnya itu! Kasian Mama pasti sekarang lagi dengerin
“Oh, bagus deh kalau kamu ngerti sama kondisi suami kamu yang sekarang harus susah payah ngumpulin tabungan lagi, karena tabungannya sekarang udah kosong gara-gara biayain operasinya Kiara anak kamu itu!” “Iya ih, kasian Bima,” timpal Siwi. “Maaf, maksud Mama apa ya ngomong gitu? Kiara kan anak Mas Bima juga jadi wajar dong kalau dia harus tanggung jawab juga,” tegasnya, ia sangat kesal. “Sejak kapan Kiara jadi anaknya Bima, kamu ngarah deh,” celoteh Siwi yang mulai turut campur. Jihan meradang, ia menatap tajam ke arah Bima. “Tante, udah ya! Ini urusan keluarga aku, lagian aku sama Jihan juga udah pulang tante bisa pergi sekarang.” Tangan Bima menunjuk ke arah pintu. Siwi mendengus, “Huh, saya juga sudah mau pulang dari tadi!” Menenteng tasnya dan beranjak pergi dengan rasa kesal. “Berani kamu ngusir teman Mama Bima!” “Ma! Udah ya, tante Siwi itu terlalu jauh ngurusin rumah tangga aku. Bima nggak suka!” “Tapi yang dibilang sama Siwi bener semua, kok!” kekehnya. “
“Makasi ya, jujur akhir-akhir ini gua capek banget. Menurut lu gua harus gimana sih?” “Gua juga bingung mau nyaranin kek gimana ke lu Bima, ya gua cuma bisa bilang lu harus banyak-banyakin sabar sih.” * “Kamu kenapa lagi Mas? Pulang-pulang muka udah ditekuk gitu?” tanya Jihan khawatir. “Aku di kantor habis dapet SP 1 dari atasan,” jawabnya lesu. “Hah SP 1! Memang kamu ada masalah apa sih di kantor?” “Kinerja aku menurun, bukan masalah di kantornya tapi masalah di rumah ini,” tegasnya, sembari melonggarkan dasi di lehernya. “Maksud kamu?” “Kamu tuh emang nggak peduli sama aku ya, dengan hal yang seperti ini aja kamu nggak peka. Kamu nggak sadar selama ini udah banyak nuntut aku harus gini, harus gitu, belum lagi Mama yang makin buat pikiran aku penuh tekanan dan hampir setiap hari kalian berdua berantem mulu. Capek aku!” “Loh, kok jadi nyalahin aku si Mas? Itu semua kan gara-gara Mama kamu itu suka nyari gara-gara duluan, omongannya nggak pernah dijaga, gimana aku mau tahan cob
“Tuh kan! Emang bener sampean dendam sama ya!” “Lah kok jadi ibu yang nyolot! Heran saya!” “Ibu duluan yang nyari gara-gara sama saya!” Keduanya saling adu nada tinggi, situasi semakin tak terkendali. Aisyah yang mendengar keributan itu lekas menghampiri mereka berdua. “Ibu sudah Bu! Nggak enak dilihat sama yang lain.” “Dia ngomongin kamu yang jelek-jelek Nak! Ibu nggak terima,” kekehnya yang masih emosi. “Bilangin sama ibu kamu itu jangan suka nyari gara-gara sama orang!” “Iya tante, maaf ya atas ketidaknyamanannya.” Aisyah membiarkannya pergi begitu saja. “Orang kayak begitu sekali-kali harus dikasi pelajaran Ya!” “Bu udah Bu udah, kalau Ibu kayak gini justru semakin memperkeruh suasana. Biarkan saja orang lain mau ngomong apa, selama mereka nggak main kekerasan Aisyah nggak apa-apa.” Bu Asih berusaha menenangkan dirinya dan meminum segelas air putih. “Huh, ma-maaf Ya Ibu tadi kepancing emosi, Ibu cuma nggak mau aja ada orang yang ngehina-hina anak ibu. Soalnya
“Iya Mas Hendra saya setuju, eh maksudnya aku. Gitu kan?” Hendra tertawa melihat kelucuan Aisyah dan sedikit merasa canggung. “Kamu ini bisa saja.” “Terima kasih ya Hen untuk semuanya.” “Ehmm, siapa?” Aisyah tersipu malu, “Maksudnya Mas Hendra, makasi ya.” “Gitu dong, sama-sama Aisyah.” *** Hari ini rasanya seperti hari baru untuk Aisyah, ia kini jauh lebih bahagia ketimbang dengan Aisyah yang sebelumnya. Kedatangan Hendra ke dalam hidupnya telah merubah banyak hal, terlebih lagi keluarga dokter itu sangat menerima keadaan Aisyah dengan baik tanpa memandang masa lalu Aisyah seperti apa, hal tersebut membuat Aisyah merasa beruntung karena ia akhirnya bisa bebas dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam. “Bu, Aisyah mau ke rumah sakit dulu ya,” ucapnya sembari menenteng tas kecil berisi kotak makanan. “Ngapain Ya?” “E-e, Aisyah mau bawain makanan ke Mas Hendra.” “Aduh, udah panggil Mas aja nih!” godanya. “Ibu! Aisyah malu.” “Ya udah, tapi hati-hati ya. Nanti ke
“Ya sudah kamu istirahat dulu. Bu, tolong temanin Aisyah dulu!” Pak Ahmad merasa khawatir dengan kondisi Aisyah, namun ia masih berperang dengan pikirannya tentang pernyataan anaknya. “Jika memang ini benar, sudah sangat keterlaluan Hendra berani mempermainkan anak saya!” Dokter Hendra menunggu tugasnya di rumah sakit selesai, pria itu menunggu dengan perasaan gelisah pasalnya tadi Aisyah pergi begitu saja dengan wajah kesal. “Gimana keadaannya Yaya Bu?” “Yaya udah istirahat, kasian dia Pak sepertinya Yaya syok berat.” “Hah, ada-ada saja cobaan pada anak kita padahal Bapak baru saja melihat wajahnya bahagia sekarang harus melihatnya menangis lagi.” “Kira-kira, apakah benar Hendra berbuat demikian ya Pak? Ibu takut, kasian Aisyah kalau harus melewati masa seperti ini lagi,” tuturnya gelisah. “Sejauh yang Bapak tau, rasanya tidak mungkin nak Hendra akan berbuat seperti itu sekarang kita tunggu saja penjelasan dari dia semoga saja ini hanya kesalah pahaman.” “Amin.”
Pada akhirnya kepercayaan di antara keduanya lah yang menang, meski demikian karena hal tersebut Aisyah kembali menaruh rasa ragu di hatinya. Hendra dan sahabatnya memiliki hubungan yang sangat dekat, Aisyah khawatir hubungan persahabatan Hendra dan Sintia akan menganggu hubungan antara dia dan Hendra. “Oh iya Aisyah, besok kamu mau ikut Mas ke Jakarta?” “Ke Jakarta? Ngapain Mas?” “Pengen ngajak kamu ke rumah aja, sekalian pendekatan biar kamu sedikit terbiasa.” “Tapi Mas lama nggak? Kan aku harus jagain kedainya juga.” “Sebentar aja, mau kan temenin Mas? Mumpung dapat libur gantian tugas.” “Iya Mas, tapi aku minta izin dulu sama Bapak dan Ibu boleh kan?” “Tenang aja masalah izin Mas udah minta izin duluan sama bapak dan ibu.” “Gercep banget ya Mas.” *** “Udah siap semuanya?” “Hati-hati di jalan ya, Hendra tolong jagain Aisyahnya ya ibu takut perutnya udah makin gede aja.” “Ibu ini lucu sekali, lupa ya calon mantunya kita ini dokter jadi dia sudah pasti lebih paham.” “Tena
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,