Hai readers >3 Sehat selalu ya! Semoga rejekinya selalu dilancarkan, terima kasih sudah mampir :) Happy reading love >3
Bu Asih tidak bisa tenang, kakinya terus saja diajaknya mondar-mandir di depan ruangan bersalin, mulutnya tetap konsisten komat-kamit mengucapkan doa. Proses persalinan Aisyah memakan waktu yang cukup lama, setelah menunggu beberapa jam akhirnya bu Asih merehatkan dirinya karena merasa lelah. Wanita tua itu memutuskan untuk menghubungi Hilda agar datang untuk menemaninya di rumah sakit.[Halo, assalamualaikum Hilda.][Halo, waalaikumsalam bu. Ada apa ya?][Ibu bisa minta tolong kamu ke rumah sakit sekarang? Nanti kedainya ditutup saja dulu.][Di rumah sakit? Ibu baik-baik saja, mbak Aisyah bagaimana?][Ibu baik-baik saja Hilda, mbak Aisyah sudah mau melahirkan. Ibu minta tolong kamu buat nemenin ibu di sini, bisa kan?][Ah … iya bu saya siap-siap sekarang.]***Tepat pukul 03:00 dini hari bu Asih dibangunkan oleh Hilda.“Bu, ibu bangun!” Hilda berusaha membangunkan bu Asih yang tengah tertidur karena kelelahan. Tubuh bu Asih merespon sangat cepat pasalnya ia b
“Papa sama Mama sebentar lagi sampai bu.” “Ibu sudah tidak sabar bertemu mereka. Adik kamu ikut?” “Una lagi kuliah bu, jadi untuk sementara waktu belum bisa ke sini tapi Insya Allah segera menyusul pasti dia bakalan seneng banget ketemu Aisyah dan bayinya.” “Iya. Nak Hendra di sini dulu ya temani Aisyah, ibu mau ke kamar bapak.” “Ibu, mau Hendra antar saja?” “Tidak usah nak, kamu di sini saja temani Aisyah.” “Ya sudah kalau begitu.” Bu Asih lekas ke ruang perawatan pak Ahmad. “Assalamualaikum Pak,” ujarnya mengucap salam pada pak Ahmad yang tengah berbaring. Pak Ahmad belum bisa banyak merespon karena tubuhnya masih belum bisa bebas bergerak. “Pak, Ibu punya kabar bahagia buat Bapak. Selamat ya Pak, sekarang Bapak sudah jadi Kakek anak kesayangan Bapak sudah melahirkan.” Pak Ahmad tampak senang, terlihat dari tatapan matanya yang seketika berbinar. “Aisyah se-sehat Bu?” “Alhamdulilah, Aisyah dan bayinya sehat Pak. Bapak juga cepet sembuh
*** Lowongan Pekerjaan! Fokus pandangan Bima teralihkan, pandangannya mengedar ke arah selebaran pengumuman yang tertempel di batang pohon tepat di depan warung makan yang baru saja ia singgahi. Mata pria itu seketika berbinar memancarkan secerca harapan. “Coba aja dulu!” gumamnya dalam hati. Lantas kaki Bima melangkah tegas, pergi meninggalkan selebaran itu setelah memotretnya. “Permisi,” ucapnya pada satpam yang sedang berjaga. “Iya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” “E maaf, saya ke sini mau konfirmasi tentang info ini. Apakah betul di sini sedang mencari pekerja pada lowongan yang tertera di info ini ya?” “Oh iya, betul sekali bapak. Sebentar saya konfirmasi ke dalam dulu!” “Baik, terima kasih.” Pandangan Bima kembali beredar, matanya mengamati seluruh sudut ruangan, sesekali ia mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajah karena merasa kegerahan. “Permisi bapak!” ucap satpam itu, mengagetkan Bima yang tengah asyik clingak-clinguk. “Eh iya, maaf.” “Bapak bisa ik
*** [Halo, assalamualaikum Kak.] [Waalaikumsalam, Una. Kamu apa kabar?] [Aku baik, Kak. Kakak dan kak Aisyah gimana kabarnya?” [Alhamdulilah kita semua baik.] [Oh iya, maaf ya Kak Hend. Una baru bisa hubungin Kakak lagi soalnya Una habis sibuk project kampus dan ini baru kelar, hah … capek banget.] [Iya, nggak papa. Kakak juga ngerti kok, kamu inget jaga kesehatan aja di sana dan kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak atau keluarga di rumah.] [Iya Kak, makasi. Oh iya, ngomong-ngomong Una hari ini ada rencana mau ke Surabaya mau nengok kak Aiyah dan Arka, nggak papa kan?] [Ye, yang ngelarang emangnya siapa? Kamu kalau mau dateng, dateng aja Una selama itu nggak ganggu kesibukan kamu di sana.] [Hehe, iya Kak. Aman kok, Una sekarang udah free.] [Ya udah, baguslah kalau begitu. Kakak tunggu di sini ya, ngomong-ngomong nanti saja sambung ceritanya Kakak lagi nugas ini, kamu nanti hati-hati ya di jalan dan jangan lupa baca doa.] [Siap kak Hen, assalamualaikum.] [Waalaikumsalam.
“Ba-Bapak, cuma mau menyampaikan keinginan Bapak untuk anak satu-satunya yang sangat Bapak sayangi,” jawabnya. “Apa itu Pak?” Pak Ahmad menghela napas panjang, “Hah, Bapak sudah lama lihat perjalanan kamu penuh dengan penderitaan Nak, apa lagi selama kejadian kamu masih diperistri oleh Bima. Hati Bapak sebagai seorang ayah sakit lihat keadaan kamu yang demikian tapi … sekarang Bapak lihat kehidupan kamu jauh lebih baik dan bahkan sekarang anak kesayangan Bapak sudah menjadi seorang ibu, Bapakmu ini sudah pasti turut bahagia melihatnya,” tuturnya. “Terima kasih Pak, ini semua berkat doa Bapak dan Ibu yang selalu berdoa untuk kebaikan Yaya dan alhamdulilah berkat doa dari kalian sekarang kehidupan Yaya berangsur membaik.” “Tapi Nak, ada satu hal yang mungkin akan sulit kamu lalui setelahnya,” ujarnya lesu. “Maksud Bapak?” “Kamu pasti sudah tau kan Nak, kehidupan ini hanya sebuah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh-Nya dan tentunya orang tua tidak bisa selamanya mendamping
Aisyah merenung di luar, ia terus saja memegangi kepalanya dan sesekali menyeka air matanya yang terus mengalir. “Gimana caranya aku cerita ke Ibu? Aisyah nggak sanggup ya Allah, Aisyah sayang sama Bapak dan selalu berharap kesembuhan Bapak, hamba-Mu ini tau jika napas ini hanya titipan tapi rasanya masih sesak hati ini jika membayangkan pernyataan Bapak barusan,” keluhnya. Sementara itu bu Asih yang sedang menemani pak Ahmad berusaha menanyakan apa yang terjadi di antara Aisyah dan pak Ahmad terutama topik apa yang sedang dibicarakan ayah dan anak tersebut. “Pak, kenapa Bapak cuma cerita ke Aisyah saja? Memangnya Ibu tidak perlu tau ya?” tanyanya penasaran. “Biar Aisyah saja nanti yang cerita,” jawabnya. “Kenapa begitu Pak?” “Maaf Bu, Bapak cuma nggak mau Ibu salah paham dengan apa yang Bapak sampaikan jadi mungkin lebih baik Bapak sampaikan ke Aisyah dulu biar Aisyah yang jelaskan ke Ibu,” jelasnya berusaha meyakinkan istrinya. “Hah, kalau memang begitu Ibu tunggu
“Terima kasih, Mas.” “Udahan dulu ya sedihnya,” ucapnya sembari menyapu air mata Aisyah dengan tangannya. “Oh iya Mas, Bapak juga mau ketemu dengan Arka.” “Oh ya udah kalau begitu, kita sama-sama sekalian sama Una.” “Assalamualaikum, pak bu,” ucap Hendra memberi salam. “Waalaikumsalam, nak Hendra.” “Pak, yuk kita lihat cucu Bapak!” ucap Aisyah sembari mendorong kursi roda. “Memangnya Bapak sudah bisa ke luar?” “Nggak papa Bu, hanya sekitar rumah sakit saja. Bapak pasti sudah nggak sabar banget pengen lihat cucunya,” jelas Aisyah. Hendra segera membantu memindahkan tubuh pak Ahmad ke kursi roda. “Ayo Pak!” “Pasti Arka lucu banget ya, kapan Arkanya bisa dibawa pulang Kak?” “Insya Allah secepatnya, mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Proses pemulihannya perlu waktu yang lama dan kita tentunya harus mengikuti prosedur yang berlaku,” jelasnya. “Kita udah sampai.” Mata pak Ahmad seketika berbinar melihat cucunya yang tengah tertidur pulas di inkubator
*** “Aisyah, semua sudah siap kan?” “Sudah Mas, tinggal tunggu Ibu dan Hilda menuju ke sini saja.” Pandangan Hendra terus saja terpaku pada Aisyah, wanita itu tampak cantik dan anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih dibalut dengan make up natural menambah aura kecantikannya semakin terpancar dan membuat Hendra semakin jatuh cinta padanya. “Kamu cantik sekali hari ini Aisyah,” ucapnya. Tatapan Hendra masih terpaku pada kekasihnya itu. Aisyah tampak tersipu malu, “Apa sih Mas! Jangan gitu deh,” sahutnya. “Tapi kamu emang beneran cantik Aisyah, aku jadi semakin yakin kalau nggak salah pilih! Udah cantik, baik hati lagi, rasanya Mas adalah orang yang paling beruntung di dunia ini karena bisa memperistri kamu,” ungkapnya bahagia. Pipi Aisyah seketika memerah, ia semakin merasa malu karena Hendra terus saja menggodanya dengan kata-kata manisnya itu. Tangan kanan Aisyah melayang mendorong pundak Hendra pelan, “Apa sih Mas! Stop deh, aku nggak bisa digituin!” uc
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,