Hai readers >3 Sehat selalu ya, aku secara pribadi mengucapkan terima kasih banyak kepada kalian semua yang sudah mau mampir ke cerita receh ini dan mau men-support cerita ini, pokoknya terima kasih ya! Semoga rejeki kita semua selalu dilancarkan! Happy reading love >3
“Kita berdua belum berpikiran sampai ke sana Ma,” sahut Hendra. “Oh begitu, lebih baik kalian segera rencanakan mateng-mateng ya!” sarannya. “Iya Ma, ya seperti yang Mama dan Papa lihat sekarang kondisinya seperti ini Hendra hanya bisa mengerti keadaan Aisyah, lagi pula Hendra juga masih punya tugas mengabdi di sini jadi ya rencana kita ke depannya paling hanya di sini-sini dulu dan untuk ke depannya lagi kita berdua belum tau,” jelas Hendra pada kedua orang tuanya. “Yah, intinya kalian berdua harus saling mendukung satu sama lain dan harus saling terbuka satu sama lain itu kunci yang utama serta satu lagi jangan lupakan kewajiban pada Tuhan!” jelas ayah Hendra. “Iya Pa, Insya Allah Hendra akan berusaha menjadi imam yang baik untuk Aisyah dan keluarga kecil Hendra. Saat ini, Hendra juga masih banyak belajar jadi Hendra pastinya masih perlu bimbingan dari orang tua dan orang-orang terdekat yang berkenan mengingatkan Hendra.” “Bagus itu Nak!” *** “Eh, eh kalian sudah denger gosip
“Oh iya Bu, Aisyah mau ke rumah sakit nanti siang sekalian mau bawain makanan kesukaan Bapak, pasti Bapak seneng banget biar tenaganya juga cepet pulih!” “Iya Aisyah, Ibu di rumah dulu nemenin Hilda jualan.” * Aisyah mengemas semua makanan yang hendak dibawa ke rumah sakit. “Ada lagi yang kurang Nak?” “Sudah Bu, sudah semuanya. Aisyah juga sekalian mau bawain buat Mas Hendra biar dia nggak usah beli lagi makan siang,” tukasnya. “Oh iya udah, hati-hati di jalan ya!” “Iya Bu, Aisyah pamit. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, hati-hati!” Aisyah melangkah pergi dengan membawa tas berisi penuh dengan kotak makanan untuk bekal makan siang pak Ahmad dan Hendra. “Assalamualaikum, Mas.” “Waalaikumsalam, Aisyah. Loh, tumben kamu ke sini siang-siang?” “Iya Mas, Aisyah mau jenguk Bapak sekalian bawain kesukaan Bapak jadi Aisyah sekalian mampir ke sini juga buat bawain Mas bekel makan siang,” jelasnya. “Wah, Mas kebagian juga nih! Hampir aja Mas ke luar tadi pada
*** Keadaan sunyi senyap, sementara itu bu Asih tampak merapikan barang-barang almarhum pak Ahmad. Ia menata kembali beberapa potong pakaian suaminya dan dimasukkannya ke lemari, sesekali ia memandangi dan memeluk baju almarhum pak Ahmad hingga tak terasa air matanya kembali menetes. “Aisyah,” panggilnya. “Iya Bu.” “Ke sini sebentar Nak!” Aisyah bergegas menghampiri ibunya. “Iya ada Bu?” “Kamu nanti mau ke rumah sakit lihat Arka kan?” “Iya Bu, paling agak siangan. Kenapa?” “Ibu ikut ya! Ibu kalau di rumah keinget Bapak terus Nak,” jelasnya lesu. Tangan Aisyah meraih pundak ibunya, “Iya Bu. Hahh, Aisyah tau seperti apa yang Ibu rasain sekarang, Aisyah juga rasanya masih seperti mimpi kalau Bapak sudah nggak nemenin kita lagi di sini,” ungkapnya. “Iya Nak, tapi Ibu masih ngerasain kehadiran Bapak di sini masih nemenin kita dan liatin kita sekarang!” “Meskipun raga Bapak sudah nggak ada di sini, Aisyah juga yakin Bu kalau Bapak pasti selalu jagain kita!
Bima memandangi anak-anak yang tengah asyik bermain bola, di sela-sela jam makan siang saat ia rehat sehabis keliling menjajakan barang jualannya. Pria itu tampak memikirkan sesuatu. “Kira-kira anak gua sama Aisyah, laki-laki atau perempuan ya?” gumamnya. Pria itu kembali mengingat tentang masa lalunya, “Coba aja dulu gua nggak cerai sama dia, pasti hidup gua sekarang bahagia bisa deket sama anak!” ucapnya lepas. “Eh, enggak-enggak! Keputusan gua buat cerai sama dia sudah tepat, sekarang gua cuma perlu anak gua bukan dia! Bagaimana pun caranya gua harus berhasil dapetin anak gua.” Sifat asli Bima mulai keluar. * “Gimana hari ini Bima? Kamu nggak ketemu sama temen-temen Mama kan?” “Apa pentingnya sih Ma, aku ketemu sama temen Mama atau nggak?” Bima mulai kesal. “Ya siapa tau kamu ketemu di jalan terus mereka ngenalin kamu, Mama sendiri kan yang jadi malu nanti!” “Keterlaluan ya Ma! Mama harusnya bersyukur punya anak seperti Bima yang masih mau tanggung jawab dengan keluarga!” “Be
*** [Halo, assalamualaikum istriku sayang!] [Waalaikumsalam, iya Mas?] [Coba tebak, Mas mau nyampein kabar gembira apa?] [Memangnya kabar apa Mas?] [Tebak dulu dong!] [Emm, hari ini Mas pulangnya lebih awal?] [Salah!] [Mas mau ngasi surprise?] [Haduh Aisyah! Masa iya mau ngasi surprise bilang-bilang gimana sih kamu!] [Ya kan nebak Mas! Lagian Mas juga suka ngide kan] [Iya deh iya.] [Terus apa kabar gembiranya?] [Kabarnya gembiranya, alhamdulilah Arkanza udah boleh pulang!] [Hah, Mas ini beneran? Tau dari mana?] [Iya Aisyah, ini seriusan. Mas ini lagi di rumah sakit, kata dokternya tadi begitu karena Arkanza progresnya cepat membaik sejauh ini, jadi hari ini sudah diperbolehkan pulang dan Mas sekarang lagi ngurus administrasinya] [Alhamdulilah Ya Allah, terima kasih! Ya udah Mas, sekarang Aisyah siap-siap ke sana ya!] [Alhamdulilah. Iya Aisyah, kamu hati-hati di jalan, pelan-pelan aja.] [Iya Mas, pasti!] Tut! [panggilan diakhiri] “Bu! Ibu!” panggil Aisyah kegirangan.
“Ma, kita kapan pulang ke rumah Papa?” “E, Kia main sama Oma dulu ya!” Jihan berusaha mengalihkan perhatian anaknya. “Mama kenapa? Kia kan udah sembuh Ma, Kia sekarang udah belajar jalan. Kok kita lama banget di sini? Kata Mama kita di sini cuma liburan. Kia kangen sama Papa Ma!” rengeknya tanpa henti. “Duh, Kia. Tolong jangan ganggu Mama dulu!” Ini adalah kesekian kalinya sikap Jihan memberikan penolakan atas pertanyaan-pertanyaan dari Kiara-putrinya. Hal tersebut mengundang rasa penasaran kedua orang tuanya. “Kia sama Oma dulu ya sayang!” ucap ibu Jihan, berusaha menjauhkan cucunya terlebih dahulu. Setelahnya ia menghampiri Jihan kembali. “Jihan kamu kenapa sih akhir-akhir ini Mama perhatiin lebih sering ngejauhin anak kamu?” “Ngejauhin gimana maksud Mama? Mana mungkin lah Ma aku kayak gitu ke anak aku sendiri!” bantahnya. “Terus yang tadi Mama lihat itu apa?” “Hmm, Mama kan tau sendiri aku lagi sibuk!” “Sesibuk-sibuknya kamu, sejak kapan sih kamu bisa sampai me
“Kamu kenapa Aisyah?” Aisyah tak sadar Hendra sedang bertanya padanya. “Aisyah!” panggilnya untuk yang kesekian. Hendra beralih menepuk pundak istrinya pelan. Aisyha terkejut, “A, eh iya Mas. Kenapa?” “Hmm, harusnya Mas yang nanya kamu kenapa? Kok tiba-tiba murung terus ngelamun gitu?” “Ah, enggak. Perasaan Mas aja kali!” kilahnya. Ia beranjak pergi menyusul bu Asih. Tangan kanan Hendra melesat mencekal tangan Aisyah dan mengentikan langkah wanita itu. “Ada apa Mas? Aku udah bilang nggak kenapa-napa!” kekehnya. Ia terus saja membantah. “Aisyah aku ini suami kamu, jadi tolong ya apa pun perasaan yang mengganjal di hati kamu usahain dibagi juga ke aku!” Hendra berusaha membujuk istrinya itu. “Maaf Mas.” Aisyah tertunduk lesu. “Maaf, maaf kenapa? Kamu nggak ada buat salah kok! Mas cuma berusaha ngingetin ke kamu aja, kalau ada apa-apa ayo cerita ke Mas kan udah sering dikasi tau juga kalau Mas ada di sini buat jadi tempat keluh kesah kamu. Udah ya, jangan sedih gitu
*** “Ini semua demi anak gua, gimana pun caranya hari ini gua harus bisa nemuin anak gua!” gumamnya dalam hati. “Bima! Kamu kerja hari ini?” “Iya, Ma. Hari ini Bima nggak keliling karena mau ngerekap data penjualan di kantor,” jawabnya. “Oh, baguslah. Setidaknya Mama di rumah nggak was-was mikirin kamu ketemu sama temen-temen Mama nanti di jalan!” Ajeng kembali membahasnya. Bima mendengus. “Terserah Mama, Bima udah capek dengerin itu mulu!” Ia melangkah pergi. Pria itu mulai menjalankan aksinya, tanpa sepengetahuan Ajeng ia nekat pergi ke Surabaya demi memuaskan rasa penasarannya dan hasratnya untuk bertemu dengan anaknya. Bima kini tak bisa menahan lagi rasa keingintahuannya, bahkan ancaman dari ibunya sendiri pun tak mempan baginya. * “Kali ini gua harus bertindak hati-hati,” gumamnya. Pria itu kembali menyusuri jalan yang cukup dikenalnya. Langkahnya berhenti di seberang jalan tepat di depan rumah sederhana berwarna hijau dengan kedai ma
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me