Hai readers >3 Sadar nggak sih akhir-akhir ini aku lebih sering update? :v Soalnya lagi ngejar deadline tamat wkwk, hope you still enjoy it! Happy reading love >3
*** [Halo, assalamualaikum istriku sayang!] [Waalaikumsalam, iya Mas?] [Coba tebak, Mas mau nyampein kabar gembira apa?] [Memangnya kabar apa Mas?] [Tebak dulu dong!] [Emm, hari ini Mas pulangnya lebih awal?] [Salah!] [Mas mau ngasi surprise?] [Haduh Aisyah! Masa iya mau ngasi surprise bilang-bilang gimana sih kamu!] [Ya kan nebak Mas! Lagian Mas juga suka ngide kan] [Iya deh iya.] [Terus apa kabar gembiranya?] [Kabarnya gembiranya, alhamdulilah Arkanza udah boleh pulang!] [Hah, Mas ini beneran? Tau dari mana?] [Iya Aisyah, ini seriusan. Mas ini lagi di rumah sakit, kata dokternya tadi begitu karena Arkanza progresnya cepat membaik sejauh ini, jadi hari ini sudah diperbolehkan pulang dan Mas sekarang lagi ngurus administrasinya] [Alhamdulilah Ya Allah, terima kasih! Ya udah Mas, sekarang Aisyah siap-siap ke sana ya!] [Alhamdulilah. Iya Aisyah, kamu hati-hati di jalan, pelan-pelan aja.] [Iya Mas, pasti!] Tut! [panggilan diakhiri] “Bu! Ibu!” panggil Aisyah kegirangan.
“Ma, kita kapan pulang ke rumah Papa?” “E, Kia main sama Oma dulu ya!” Jihan berusaha mengalihkan perhatian anaknya. “Mama kenapa? Kia kan udah sembuh Ma, Kia sekarang udah belajar jalan. Kok kita lama banget di sini? Kata Mama kita di sini cuma liburan. Kia kangen sama Papa Ma!” rengeknya tanpa henti. “Duh, Kia. Tolong jangan ganggu Mama dulu!” Ini adalah kesekian kalinya sikap Jihan memberikan penolakan atas pertanyaan-pertanyaan dari Kiara-putrinya. Hal tersebut mengundang rasa penasaran kedua orang tuanya. “Kia sama Oma dulu ya sayang!” ucap ibu Jihan, berusaha menjauhkan cucunya terlebih dahulu. Setelahnya ia menghampiri Jihan kembali. “Jihan kamu kenapa sih akhir-akhir ini Mama perhatiin lebih sering ngejauhin anak kamu?” “Ngejauhin gimana maksud Mama? Mana mungkin lah Ma aku kayak gitu ke anak aku sendiri!” bantahnya. “Terus yang tadi Mama lihat itu apa?” “Hmm, Mama kan tau sendiri aku lagi sibuk!” “Sesibuk-sibuknya kamu, sejak kapan sih kamu bisa sampai me
“Kamu kenapa Aisyah?” Aisyah tak sadar Hendra sedang bertanya padanya. “Aisyah!” panggilnya untuk yang kesekian. Hendra beralih menepuk pundak istrinya pelan. Aisyha terkejut, “A, eh iya Mas. Kenapa?” “Hmm, harusnya Mas yang nanya kamu kenapa? Kok tiba-tiba murung terus ngelamun gitu?” “Ah, enggak. Perasaan Mas aja kali!” kilahnya. Ia beranjak pergi menyusul bu Asih. Tangan kanan Hendra melesat mencekal tangan Aisyah dan mengentikan langkah wanita itu. “Ada apa Mas? Aku udah bilang nggak kenapa-napa!” kekehnya. Ia terus saja membantah. “Aisyah aku ini suami kamu, jadi tolong ya apa pun perasaan yang mengganjal di hati kamu usahain dibagi juga ke aku!” Hendra berusaha membujuk istrinya itu. “Maaf Mas.” Aisyah tertunduk lesu. “Maaf, maaf kenapa? Kamu nggak ada buat salah kok! Mas cuma berusaha ngingetin ke kamu aja, kalau ada apa-apa ayo cerita ke Mas kan udah sering dikasi tau juga kalau Mas ada di sini buat jadi tempat keluh kesah kamu. Udah ya, jangan sedih gitu
*** “Ini semua demi anak gua, gimana pun caranya hari ini gua harus bisa nemuin anak gua!” gumamnya dalam hati. “Bima! Kamu kerja hari ini?” “Iya, Ma. Hari ini Bima nggak keliling karena mau ngerekap data penjualan di kantor,” jawabnya. “Oh, baguslah. Setidaknya Mama di rumah nggak was-was mikirin kamu ketemu sama temen-temen Mama nanti di jalan!” Ajeng kembali membahasnya. Bima mendengus. “Terserah Mama, Bima udah capek dengerin itu mulu!” Ia melangkah pergi. Pria itu mulai menjalankan aksinya, tanpa sepengetahuan Ajeng ia nekat pergi ke Surabaya demi memuaskan rasa penasarannya dan hasratnya untuk bertemu dengan anaknya. Bima kini tak bisa menahan lagi rasa keingintahuannya, bahkan ancaman dari ibunya sendiri pun tak mempan baginya. * “Kali ini gua harus bertindak hati-hati,” gumamnya. Pria itu kembali menyusuri jalan yang cukup dikenalnya. Langkahnya berhenti di seberang jalan tepat di depan rumah sederhana berwarna hijau dengan kedai ma
*** “Bima, habis dari mana kamu?” tanya Ajeng marah. “Dengerin penjelasan Bima dulu Ma!” sahutnya. Ia sedikit gelagapan. “Seharian kamu nggak pulang ke rumah buat khawatir, di telpon nggak diangkat! Nggak ada kabar sama sekali!” Bima pergi ke Surabaya tanpa sepengetahuan Ajeng dan bahkan pria itu mengabaikan panggilan telepon dari ibunya yang membuat Ajeng semakin kesal padanya. “Ma! Dengerin dulu makanya, dari tadi Bima nggak dikasi kesempatan ngomong!” “Dari mana aja kamu? Jangan bilang karena alasan lembur kerja ya, Mama sudah hapal dengan alasan-alasan omong kosongmu itu!” Bima mengeluarkan gawainya, karena ia tak diberikan kesempatan berbicara ia dengan cepat memutar rekaman video yang berisikan bu Asih menggendong seorang bayi di depan teras rumah. “Mama lihat! Apa yang Bima dapatkan!” Ajeng meraih gawai Bima dan melihatnya dengan saksama. “Ini bu Asih kan! Maksud kamu apa?” Ajeng sedikit bingung. “Bima! Jadi kamu pergi ke rumah perem
Tok! Tok! Tok! “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, siapa?” Bu Asih membuka pintu, “Eh, bu Yani. Kapan sampai sininya? Tiba-tiba udah di sini aja!” “Kemarin malam, kita baru sampai di Surabaya! Ini kejutan karena kita nggak ada ngabarin siapa-siapa kalau hari ini mau ke sini!” tukasnya. “Yak ampun, saya sampai kaget! Ayo bu pak masuk dulu!” “Arkanya mana bu Asih?” “Arkanya masih tidur kalau jam segini, tapi bentar lagi dia bangun kok. Ibunya lagi di kedai bantu-bantu Hilda nyiapin jualan, kayaknya lagi sibuk sampai nggak ngeh ada yang datang.” “Pagi-pagi udah sibuk banget Aisyah!” “Ya beginilah bu kegiatan kita di sini cuma begini, buat nyambung hidup! Bu Yani sama pak Hedi mau minum apa?” “Udah bu, nggak usah repot-repot. Oh iya saya ke sini mampir sebentar, mau lihat Arka boleh?” “Kok buru-buru sekali bu?” “Iya, nanti kita ke sini lagi. Saya kebetulan lama di sini sekitar sebulanan, cuma karena nggak sabar lihat Arka jadi tadi langsung mampir ke sini eh ternyata Arkanya mas
*** “Gimana bro?” “Gimana kenapa?” Hendra bingung. “Ya elah, lu sama istri lu! Gimana?” “Alhamdulilah, aman-aman aja kok,” sahutnya. Sekumpulan teman lelaki dokter itu, saling lempar pandang lantas mereka tertawa. “HAHAHA.” Hendra yang tak tahu menahu merasa keheranan akan hal apa yang teman-temannya tertawakan. Hendra menggaruk kepalanya, “Kalian ngetawain apa sih?” “Nggak, nggak ada!” sahut salah seorang temannya, yang mengenakan baju polo berwarna putih. “Gimana perasaan lu Hen? Nikah sama orang yang udah pengalaman?” tanya lelaki berkacamata. “Iya tuh, udah berpengalaman dikasi bonus lagi! Hebat lu Hen, ajarin gua dong!” timpal yang lainnya. “Pengalaman? Kalian semua lagi ngomongin apa sih?” Hendra masih tampak bingung. Mereka saling tunjuk dan kembali saling lempar pandang. “Lu kayak nggak ngerti aja sih Hen, gini nih udah jadi bapak-bapak lupa deh sama candaan tongkrongan!” Hendra masih terdiam, ia berusaha mencerna p
“Silahkan dipilih-pilih bu! Ini semua barang berkualitas jadi dijamin keaslian dan keamananya!” ucap Bima, berusaha meyakinkan pembeli untuk membeli dagangan perabotan dapur yang ia jajakan. Tampak sekumpulan ibu-ibu mengelilingi dagangan Bima dan memilih-milihnya, ada juga yang hanya sekadar melihat-lihat saja. “Yang ini berapaan?” “Oh itu murah bu, hanya tiga puluh lima ribu aja!” jawabnya antusias. “Oh ya udah saya beli ini ya,” ucap ibu berambut ikal itu, sembari merogoh kantung bajunya untuk meraih uang yang ia bawa. “Kembaliannya ibu, terima kasih!” tukas Bima, sembari memberikan uang kembalian pada ibu berambut ikal itu. “Kamu Bima anaknya bu Ajeng kan?” tanya seorang ibu-ibu berdaster kuning yang baru saja tiba. “E, iya bu. Saya Bima!” sahutnya tanpa rasa sungkan. “Oh, berarti benar ternyata masalah gosip itu!” celetuknya. Ibu itu tampak senang karena baru saja seperti mendapatkan sebuah kebenaran yang sangat penting. “Maaf, gosip apa ya bu?” tanya Bima pen
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,