“Kalaupun Mbak Ratih nerima Mas Rizal, aku harap itu bukan karena kasihan padamu, atau dia sedang mengasihi dirinya sendiri.” Kalimat yang diterima Rizal dari pesan singkat beberapa waktu lalu, masih terngiang. Sesaat sebelum dia turun dari mobil, ada nomor tak dikenal masuk ke nomornya. Dia mengingat-ingat sejenak. Kini saat dia sudah masuk rumah Ratih dan memindai beberapa foto yang menempel di dinding rumah itu, dia jadi teringat. Bahasanya masih sama. Ya, pasti pesan itu dari adik laki-laki Ratih yang pernah menemuinya. “Sini, Tante bantu.” Suara Ratih membuyarkan lamunannya. Bahkan Rizal tak sadar kalau Ratih sudah menghampiri putrinya. Saat melihat Ratih menggandenga Sasti, Rizal merasa rongga di dadanya melega. Entah rasa apa, dia tak tahu. Namun, dia yakin, itu bukan tentang kasihan dan mengasihani. Pandangan Rizal mengikuti gadis kecilnya dan gadis dewasa yang akhir-akhir ini dipujanya, hingga menghilang di pintu toilet. Tak lama, gadis itu keluar lagi dan membiarkan pint
Rizal menatap makanan yang ada di piring-piring itu, meski pikirannya tidak ke sana. Lalu, dia mencuri pandang gadis teman SMAnya itu. Parasnya masih sama. Lembut dan melankolis. Namun terlihat mandiri dan tidak manja. Karakter anak sulung terlihat jelas. Apalagi ditambah suka mengalah dan tak mau ribut dengan siapapun. Rizal masih ingat dengan jelas, kaca-kaca yang sering tercipta di mata Ratih saat masih berseragam abu-abu karena bentakannya. Bahkan, dia yang salah, tapi dia juga yang marah. Seringnya, Ratih membantunya, tapi tak satu pun ucapan terimakasih diberikan padanya. Kenapa dia sampai melupakan kebaikan gadis itu, hanya karena satu cela yang tak disukainya. Ya, kesalahan Ratih hanya satu. Dia berteman dengan Dewi, gadis yang menjadi incarannya. Dan Dewi pasti menolaknya karena ingin mengalah dari Ratih. Itu kesalahan Ratih. Ah, Dewi! Rizal tersenyum kala mengingat respon Dewi saat dia menelponnya. “Rizalnya Ratih?” Dulu, dia membenci kalimat itu. Sebegitu benciny
“Mbak, kamu sama Sasti langsung pulang saja. Aku masih ada urusan.” Minggu sore, Rizal balik ke Jakarta bersama Siti dan Sasti. Dia memesankan taksi untuk putri dan pengasuhnya itu. Sementara, dia sendiri mengendarai mobil meluncur ke rumah sahabatnya, Gilang. Tak sabar ia ingin segera menceritakan keberhasilannya berkunjung ke rumah orang tua Ratih. “Kamu tuh, sudah tahu Ratih kayak gimana, malah membuatnya terpojok.” Gilang bukannya antusias dan gembira mendengar cerita Rizal. Namun, nada bicaranya malah menyalahkan. “Dia itu manusia, Lang. Dia bisa menolak kalau nggak mau. Kalau dia diam saja, berarti dia memang masih menungguku.” Senyum kembali mengembang di bibir Rizal. “Mbak Ratih, mana bisa nolak orang di depan orang tuanya, Mas. Dasar kamu aja nggak sensitif!” omel Sekar begitu mendengar ucapan Rizal, yang masih saja terdengar jumawa. Rizal hanya mencebik. Dia tak percaya. Mana mungkin ada yang orang yang tak berani mengungkapkan perasaannya di depan orang lain. Kalau
“Kamu udah ke rumah Ratih?” tanya Nadia. Dia makan siang di pujasera tak jauh dari kantor Ratih. Awalnya dia janjian dengan Ratih, namun mendadak, dibatalkan karena Ratih tak bisa keluar kantor. Ada rapat penting yang belum selesai dan akan dilanjutkan usai makan siang. Akhirnya, karena sudah terlanjur gabut, Nadia menelpon Rizal. Dia tahu persis, teman SMA nya itu, nggak seperti karyawan yang jam istirahatnya harus on time. Sebagai CEO perusahaan milik keluarga mantan istrinya, dia dapat keluar kapan saja, kecuali ada rapat penting. Staf dan asistennya sudah dapat dipercaya untuk menghadel urusan kantor. “Sudah. Pasti Ratih sudah kasih tahu kamu, kan?" tebak Rizal. Dia penasaran, apa yang kira-kira Ratih katakan pada Nadia. “Bukan! Dini yang ngabarin.” Rizal sedikit kecewa, karena jawaban Nadia di luar harapannya. “Gimana-gimana?” Justru kini gantian Nadia yang penasaran. “Ya, seperti apa kataku. Insyaalloh diterima.” Bukan Rizal kalau tidak over percaya diri. Meski dalam h
Rizal beberapa kali menghapus pesan yang sudah dia ketik. Dibaca berulang, dihapus. Rasanya belum pas. Sangat berbeda dengan dia membuat kontrak kerjasama dengan klien. Itu semua karena dia ingin menulis pesan pada Ratih. Bahkan beberapa kali dia harus memastikan, benar itu nomor Ratih. Mengecek foto profil dan lainnya. Ini baru pertama kali dia hendak mengirim pesan. Rasanya, seperti saat ABG saja. Deg degan. Takut salah. Takut kurang jelas. Dan berbagai rasa ketakutan lainnya. Hingga akhirnya, Rizal memutuskan mengirimkannya, setelah hampir dua jam membuat draft pesan pertama. Ya, dia sadar, dia harus bicara pada Ratih. Kalau tidak, berbagai ancaman akan semakin menghimpitnya. [Pulang kerja, aku tunggu di cafe depan kantormu.]Dada Rizal berdebar. Menanti tanda contreng di pesan itu. Begitu contreng dua, hatinya semakin tak karuan. Ini lebih mendebarkan dibanding menunggu deal kontrak dengan klien. Mata Rizal melebar saat melihat tanda centrang biru. Apalagi disusul dengan tul
“Hai, Ratih. Ketemu lagi.” Rizal berdiri menghampiri Ratih yang juga mendekat ke mejanya. Tak ada senyum terulas di wajah Ratih. Namun, Rizal tidak was-was. Mungkin Ratih marah padanya. Namun, itu tak penting. Dia cukup kenal wanita. Marahnya bisa lumer dalam hitungan menit. “Ayo duduk.” Rizal menarik kursi dan mempersilahkan duduk Ratih, layaknya seorang gentleman. Lalu disusul dengan lambaian tangan pada pelayan. “Mau pesan apa?” Rizal sama sekali tak memedulikan sikap dingin Ratih. Bahkan, menganggap tak terjadi apa-apa. Dan benar saja dugaannya. Senyum tersungging saat waiter datang ke meja mereka. “Mau pesan apa, Bu?” “Samaain aja, Mbak," ucap Ratih sambil melirik ke cangkir Rizal yang masih penuh. “Ada lagi?” Ratih menggeleng. “Cukup, Mbak.” “Kamu nggak mau ngemil, pisang coklat?” sela Rizal sebelum waiter itu kembali. Ucapan Rizal membuat
Rizal menatap kepergian Ratih, hingga gadis itu hilang dari pandangan. Ditolak, bukan yang pertama bagi Rizal. Tapi, ditolak oleh perempuan yang selama ini dia yakin mencintainya dengan tulus, ternyata teramat menyakitkan. Rizal menghela nafas. Kopi buat Ratih masih utuh. Pun pisang keju coklat belum tersentuh. Padahal, Rizal sudah mengutit Ratih demi tahu cemilan favoritnya. Rizal menyomot pisang itu dengan garpu. Meski nggak ada nafsu makan, namun dia harus menghabiskannya. Membawa pulang makanan, bukan karakternya. Tangan kirinya memegang ponsel. Namun, Rizal gamang dengan apa yang hendak dilakukan dengan ponsel itu. Menelpon siapa? Nadia? Dewi atau Dini? Tiga perempuan yang bisa jadi penolongnya. Atau, bahkan Gilang? Rizal menggeleng. Mereka-mereka itu seolah sudah punya jawaban apa yang menjadi pertanyaan tersulit Rizal sekalipun tentang Ratih. ”Mas Rizal, gimana kemarin?” Sebuah notifikasi pesan membuat Rizal membuka aplikasi pes
Rizal mengerutkan kening. Bagaimana Dewi tahu kalau dia sedang gundah? Apa semua temannya juga sudah tahu? Rizal yakin, Ratih pasti tak bercerita. Karena Rizal mengenal Ratih cenderung introvert dan pendiam. Apalagi urusan pribadi. “Memangnya kamu mau apa?” Rizal mencoba bercanda. ”Aku kenal Ratih tiga tahun lamanya. Dan aku yakin, tak mudah berubah ia. Meski Ratih itu suka mengalah, untuk beberapa hal, dia punya prinsip. Kamu juga harus perlu tahu itu,” tukas Dewi. ”Maksudnya?” ”Zal, menikah itu adalah menyatukan dua individu yang berbeda. Beda dalam banyak hal. Masing masing punya kemauan dan keinginan. Jika tidak bisa mengkompromikan kemauan satu sama lain, tak hanya kegagalan, tapi juga menjadi toksik dalam sebuah hubungan.” Ucapan Dewi seolah sedang menegurnya. Dia memang sudah gagal. Dan benar kata Dewi. Selama hidup dengan Desti, dia lupa mengkompromikan banyak hal. Bahkan, dia hanya sibuk dengan dunianya dan menyangka Desti sud
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp