Lagi-lagi Rizal menghela nafas berat. Setelah selesai menyesap kopinya, Rizal pun mengajak Anto pulang. Mereka mengemudikan mobil masing-masing. Anto sudah mendapat kabar kalau Desti pulang dengan menumpang taksi. Sesampai di rumah, tekat Rizal bulat, dia harus memperbaiki hubungannya dengan Desti. Apapun itu kesalahan, selama masih dapat diperbaiki, masih ada jalan untuk kembali. Entah jam berapa Desti tiba di rumah. Rizal menunggu hingga larut, namun tak kunjung pulang. Hingga ia pun terlelap.Namun Rizal lega, saat pagi-pagi hendak ke masjid, dilihatnya Desti sudah tidur di kamar sebelah. Rizal menghela nafasnya berat. Tak mudah ternyata menjadi nahkoda dalam rumah tangga. Selama ini, dia sangat membebaskan Desti, sebagai bentuk cintanya pada wanita yang diperlakukan laksana barang mahal yang khawatir pecah jika disentuh. Namun, Rizal kini paham. Seharusnya, dia menjaga Desti dan mengarahkan, agar tidak tersesat. Bukan membiarkannya, hanya karena dia terlalu mencintainya. R
Mobil yang dikendarai Rizal berhenti di depan rumah besar milik keluarga Desti. Desti segera turun dan masuk rumah saat Rizal masih turun dari mobil. Pria itu hanya mampu menatap wanita yang masih resmi jadi istrinya. Rizal menyusul masuk, lalu menemui mertuanya yang sedang santai di ruang tengah. "Duduk, Nak Rizal." Bibi yang bekerja di rumah orang tua Desti dengan sigap mengeluarkan minum dan cemilan. Papa Desti sedikit heran dengan sikap Rizal yang agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Meski putrinya tak pernah berubah, namun biasanya Rizal bersikap hangat. Pagi itu, ada ketegangan tergambar di wajah Rizal. "Bi, bisa panggilkan Desti?" pinta Rizal pada bibi yang akan undur diri. "Saya perlu bicara dengan Papa dan juga Desti," lanjut Rizal seraya menatap Papa Mertuanya. Dengan malas, Desti menuruni tangga. Tingkahnya belum berubah, meski kini sudah menjadi seorang ibu. “Pa, saya antar Desti pulang, karena dia menginginkannya." Rizal membuka pembicaraan, setelah Dest
“Aku sudah menuruti kata-kata Papa dan Bang Desta untuk menikah dengan Mas Rizal. Tapi, ternyata aku tak bisa mencintainya, Pa. Aku tak bisa hidup tanpa cinta,” ucap Desti. Dada Rizal bergetar. Pedih hati rasa hatinya mendengar kata-kata Desti. Cinta yang selama ini dia upayakan ternyata sudah lama pupus tanpa dia ketahui. Selama empat tahun hidup bersama Desti, dia gagal menumbuhkan benih cinta itu di hati Desti untuknya. Selama ini, dia hanya dapat menumbuhkan cintanya sendiri. Mengupayakan segalanya yang dipikirnya dapat menyemaikan cinta. Dan ternyata dia salah besar. Dia telah menyemai benih yang salah. Dia telah menyiram benih yang sama sekali tak ingin tumbuh. Hati Rizal terluka mendengar perkataan jujur itu. “Desti! Tarik ucapanmu! Kamu tidak tahu, dengan siapa kamu bicara?” Suara Pak Hamdani meninggi. Pria itu sangat malu pada menantunya. Dia merasa gagal mendidik putrinya, sehingga putrinya tak punya rasa hormat pada suaminya, sebagaimana almarhumah istrinya yang tulus
Sepeninggalan Rizal, Pak Hamdani menelpon putranya. Dia meminta Desta segera datang. Usai memarkir mobilnya dengan asal, Desta berjalan tergesa masuk rumah. Ada Papa dan adiknya duduk di ruang tengah. Meski sudah empat tahun menikah, gaya adiknya tak berubah. Semaunya sendiri. "Benar apa yang papa katakan?" tanya Desta sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Benar, Dik?" ulang Desta karena Desti malah asyik memainkan ponselnya. Tak ada kecemasan tersirat di wajahnya. Padahal Papa dan Kakaknya sangat gusar. Desti hanya mengangkat kedua bahunya, setelah meletakkan ponselnya ke atas meja. "Nasehati adikmu, Ta!" titah Sang Papa. “Bodoh kamu, Dik! Apa kurangnya Rizal?” seru Desta. Dia dulu turut andil dan merayu Desti agar menerima Rizal, karena baginya, Rizal itu sosok sempurna. Pekerja keras, ulet dan berani mengambil resiko. Sangat cocok menjadi bisnisman, selain juga bertangan dingin. Tapi rupanya, mahir dalam bisnis, belum tentu juga berhasil dalam rumah tangga. “Aku bos
Sejak Rizal dengan kesibukannya sering keluar kota dan Desti pun mulai enggan diajak pulang kampung saat Rizal punya kesempatan, orang tua Rizal lah yang lebih sering berkunjung. “Mamanya Sasti kemana, Ti?” tanya Ibunda Rizal pada Siti, pengasuh Sasti. "Lagi ke luar, Bulik," jawab Siti setelah terdiam sejenak. Ia bingung harus berkata apa.Meskipun Rizal maupun Desti tak pernah menceritakan kalau keduanya sedang ada masalah, sebagai orang terdekat yang 24 jam ada di rumah, Siti dapat merasakan bahwa keduanya sedang tidak baik-baik saja. “Mamanya Sasti sering keluar, apa Rizal tidak menegur?” tanya ibu Rizal lagi. Wanita itu tahu, kalau Desti hanya ibu rumah tangga. Harusnya, setelah punya anak, dia akan lebih banyak bersama anaknya. Siti yang keponakannya, hanya bertugas membantu saja. Bukan seratus persen urusan anak, harus dia yang pegang. Siti nafas berat, lalu menghembuskannya lagi. Tak berani berkata apa-apa, meski pada buliknya sendiri. Dia tak mau mengadu. Karena kalau itu
“Kenapa, Nek? Ada apa?” tanya Sasti karena neneknya masih berhenti, sementara toko mainan tinggal beberapa langkah lagi dari posisi mereka berdiri. “Ke sana, Nek!” tunjuk Sasti ke arah yang berlawanan dengan pandangan neneknya seraya mengayunkan jemari tangannya yang tergenggam oleh tangan neneknya, agar ibu dari papanya itu mendengarkan ucapannya. Namun, karena neneknya masih terdiam, Sasti pun akhirnya menyapukan pandangan ke arah yang dilihat neneknya. “Mama!” teriak gadis mungil itu seraya melepaskan genggaman tangan neneknya. Gadis itu lalu berlari dan menghambur ke mamanya, yang sedang berdua dengan pria yang tak dikenal oleh Sasti. Sontak Bu Ridwan kaget. Demikian juga Desti yang tak menyangka akan dipeluk Sasti dari belakang. Dengan bergetar, Desti menyapukan pandangan untuk mencari dengan siapa putrinya pergi ke mall. Wajah Desti serta merta berubah pucat pasi, karena tak menyangka putrinya memergokinya sedang bersama pria lain yang bukan papanya. “Kamu sama siapa, Nak
Mobil yang dikendari Anto sudah meluncur kembali ke rumah. Sasti yang duduk di bangku belakang, bersebelahan dengan Bu Ridwan sibuk dengan boneka barbie barunya. Sementara, Bu Ridwan masih sibuk dengan pikirannya sendiri seraya menghubung-hubungkan kejadian demi kejadian yang sejak awal mulai dicurigainya. Ingin rasanya Bu Ridwan mencecar Anto, tapi, wanita itu tak ingin anak kecil di sebelahnya akan mendengarkan percakapannya. Meski belum mengerti, anak sekecil itu dapat merekam dengan baik apa yang didengarnya. Sementara di rumah, Rizal sengaja pulang saat jam makan siang. Dia ingin memanfaatkan kebersamaannya dengan Sasti. Dia tak ingin kehilangan Sasti jika akhirnya nanti Desti tak dapat diraihnya kembali. Cukup sudah waktu yang selama ini telah terlewat dan tak dapat kembali. Rizal yang mendapati ayahnya sedang sibuk dengan pot tanaman di teras rumah, padahal hari sudah siang, sedikit kaget. Ayahnya tak mengabarkan kalau akan datang. “Lho, Bapak datang? Kenapa tidak berkirim
Setelah Sasti diajak Mbak Siti menjauh, barulah Bu Ridwan buka suara. “Tadi Ibu lihat Desti di mall.” Bu Ridwan mengambil jeda sejenak. Wanita paruh baya itu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan dirinya. Lalu tatapan Bu Ridwan beralih ke suaminya. “Kamu ada masalah sama Desti?” tanya Ibunda Rizal. “Bu!” tegur Pak Ridwan. Lelaki itu sudah berpesan, sebagai orang tua, tak baik mencampuri rumah tangga anaknya. Anak lelakinya sudah dewasa. Baik dan buruk, dialah yang menentukan dalam bersikap. “Ibu hanya nanya, Pak. Bukan mencampuri. Kita sebagai orang tua, juga berhak memberi saran. Perkara diterima atau tidak, itu urusannya Rizal,” lanjut Bu Ridwan membela diri. Rizal menghela nafasnya. Dia tak ingin menambah beban orang tuanya. Mengetahui kondisi rumah tangganya, pasti akan membuat kedua orang tuanya bersedih.“Ibu lihat dia bersama siapa?” Meski akan sakit jika mendengarnya, namun, tak urung ditanyakan juga pertanyaan itu. Rizal merasa, sebagai lelaki dia tak ada har
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp