Wanita muda itu tak pernah sekalipun merasakan hidup susah. Dari kecil selalu tumbuh berkecukupan dan berlimpah harta.“Kembalilah ke rumah suamimu. Wanita yang sudah menikah dan punya anak, kewajiban utamanya adalah mengabdi pada suami. Bukan tinggal bersama orang tuanya. Lakukan kewajibanmu sebagai istri dan ibu, maka pahala akan mengalir padamu,” ucap Pak Hamdani. “Tapi aku tak mencintai Rizal, Pa. Aku bosan hidup dengannya. Dia terlalu baik padaku. Aku merasa tak bisa menjadi diriku sendiri. Lagi pula, akhir-akhir ini dia pun mulai mengaturku. Aku tidak suka, Pa," rajuk Desti. Dia yakin kalau papanya akan berpihak padanya. Sejak kecil hingga dewasa, keluarganya sangat sayang padanya. “Tutup mulutmu!” Pak Hamdani tak dapat menahan emosinya. Dulu, dia berharap dengan menikah, Desti akan memahami tugas dan tanggungjawab dengan sendirinya. Apalagi dia menjadi pendamping Rizal, pemuda yang dikaguminya. Ternyata, dugaan Hamdani meleset. Mungkin, Rizal juga tak berani menegur karena
“Ada dua permintaanku sebelum aku kembali, Mas,” ucap Desti setelah sedari tadi hanya terdiam. “Ya. Utarakanlah,” sahut Rizal seraya bersiap mendengarkan dengan seksama. “Pertama, aku ingin pulang bersamamu, jika bapak dan ibumu sudah tidak ada di rumah kita. Aku sedang tak menginginkan ada orang lain, selain kita,” ucap Desti memberikan syarat pertama.Rizal mengerutkan keningnya sejenak, karena kedua orang tuanya memang sedang ada di rumahnya. Namun, lagi-lagi Rizal memilih untuk berhusnudzon. Mungkin peristiwa Desti bertemu ibunya saat sedang bersama lelaki lain, membuat Desti merasa tak nyaman. Rizal berjanji, jika Desti telah kembali padanya, dia tak akan memberi celah pada istrinya itu untuk berhubungan lagi dengan mantannya itu. Rizal sudah memikirkan untuk bekerjasama dengan Anto untuk mengawasi Desti. Jika Desti kembali lagi, maka dipastikan dia tak akan memaafkan Desti lagi. Kini, pintu maaf masih dibuka. Karena Rizal pun merasa menyumbang kesalahan atas kejadian ini. Di
“Kak, aku minta tolong carikan pekerjaan untukku,” suara Desti setengah berbisik saat menghubungi Gavin. Dia tak mau penghuni rumahnya sampai mendengar rencananya itu. Gavin yang sedang di kantor, mengerutkan keningnya sekilas. "Bekerja? Untuk apa kamu mencari pekerjaan?" tanya Gavin. Bahkan, dia tahu persis, harta dari orang tua Desti mungkin tak habis buat dia dan abangnya. Bahkan, kini Desti juga sudah menikah dengan suami yang sukses dalam bisnisnya. “Aku ingin minta pisah dari Rizal, Kak. Aku mencintaimu. Aku ingin kembali padamu, Kak. Tapi, kita tidak mungkin bisa menikah sebelum masa iddahku lewat. Aku perlu uang,” jelas Desti sebelum Gavin menjawab keheranannya. “Desti,” ucap Gavin, lalu mengambil jeda sejenak. Dia tak habis pikir dengan kenekatan mantan kekasihnya itu. “Kamu jangan melakukan hal konyol. Sudah, lupakan tentang kita. Kamu sudah punya keluarga. Sebaiknya, kamu pertahankan keluargamu. Pertahankan yang sudah kamu genggam. Bukan mencari sesuatu yang bisa jad
Sementara, Desti mulai menyiapkan berkas lamarannya. Beruntung, ijazahnya masih ada di rumah orang tuanya. Sekarang tinggal membuat surat lamaran. Tapi, perusahaan mana yang hendak dilamar? Sementara Gavin belum memberinya informasi apapun. Desti tak menyerah. Semakin cepat dia mendapat pekerjaan semakin baik. Segera dibukanya situs pencarian lowongan kerja dari laptopnya. Dulu, dia tak pernah membayangkan akan menjadi pencari kerja seperti sekarang. Dulu, dia memang kuliah. Tapi, tak lebih hanya sekedar kesibukan, sebagaimana teman lainnya. Dengan kuliah, dia punya banyak teman, dan ada aktivitas lainnya, tapi tak pernah berpikir membidik perusahaan tempat bekerja, sebagaimana teman-temannya. Kini, seolah dia harus kembali ke bangku kuliah tingkat akhir, saat satu persatu teman-temannya mengajak diskusi hendak berkarir di mana. “Ah, tak perlu idealis. Yang penting dapat kerja, cukup untuk menyambung hidup jika pisah dari Mas Rizal,” guman Desti dalam hati. Wanita itu lalu me
“Tapi aku sudah mau terlambat. Ini minggu pertamaku bekerja. Apa jadinya kalau aku datang terlambat. Aku bisa dipecat!” dalih Desti. Wanita muda menunjukkan wajah tak sukanya pada Rizal. Wajah yang dulunya selalu membuat Rizal luluh dan mengalah. Tapi, kini Rizal tidak terganggu dengan ekspresi itu. Lelaki itu tetap tidak rela jika Desti memamerkan keelokan penampilannya pada lelaki lain di luar sana. Rizal mulai memahami, kalau selama ini ternyata dirinya tak terlalu dianggap oleh Desti. Permintaannya hanya dianggap angin lalu. Semua itu karena dia terlalu mencintai Desti, hingga dia tak ingin melukai hati wanita yang dicintainya ini. Namun, rupanya cintanya kini menjadi boomerang. Bukan balasan cinta yang diperolehnya, namun justru sikap tak patuh yang sering ditunjukkan oleh Desti. “Aku tidak mau tahu. Kamu dipecat lebih baik daripada aku membiarkan kamu berdandan berlebihan seperti itu!” tunjuk Rizal dengan satu tangannya berkacak pinggang. Dadanya bahkan terlihat kembang
Sementara Rizal hanya menghela nafasnya. “Apa yang sedang dicari Desti? Uang? Dia punya segalanya. Sementara selama ini pun dia hanya bekerja untuk Desti dan Sasti. Bukan untuk siapa-siapa?” guman Rizal. “Tapi tak mengapa, yang penting keutuhan rumah tangga tetap terjaga, meskipun prosesnya harus tertatih,” guman Rizal lagi. Rizal merasa dirinya seperti harus saling mengenal dengan Desti dengan sikap yang sebenarnya. Bukan dengan kepura-puraan yang selama ini dilakukannya. Karena sandiwara itu tak kan dapat bertahan selamanya. Dia dan Desti hidup dalam dunia nyata. Dia punya keinginan, dan Desti punya kehendak. Semua harus dikomunikasikan. Bukan seperti yang selama ini dilakukannya, mengalah dan mengalah tanpa berusaha untuk mencari jalan tengah. Rizal menghela nafasnya kembali. Dia menyadari, ternyata hidup berkeluarga tak semudah seperti menjalankan bisnis yang selama ini dibawah kendalinya. Dia hanya tinggal memerintah bawahannya, maka system akan berjalan sesuai dengan rencan
“Gimana sih, Prit? Kok kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar kerja?” protes Desti tatkala mereka sudah keluar dari ruangan Pak Sofian. Posisi meja kerja mereka bersebelahan, hanya dibatasi partisi pendek. “Aku sebenarnya sudah lama mau keluar. Cuma Pak Sofian minta ada pengganti dulu. Maklumlah aku sudah lama di sini. Dan yang pegang keuangan dari dulu, ya aku. Aku bosen, say. Nggak naik-naik jabatan. Makanya aku pilih keluar, cari suasana baru,” jelas Prita. “Trus aku nanti gimana?” tanya Desti. Dalam hatinya, dia mulai panik. Tadinya dia menyangka Prita akan selalu ada untuknya. Tapi, kalau Prita sampai keluar, bagaimana nasibnya. Tenang aja. Bos itu baik kok. Cuma dingin aja. Asal kita kerjanya bener, dia nggak bakal ngomel,” sambung Prita. “Aku masih sampai akhir bulan di sini. Jadi, kamu masih punya kesempatan belajar. Jangan lupa, bos itu kalo di kantor datangnya pagi. Kamu jangan pernah datang telat. Kecuali, kamu akan dipecat tanpa pesangon,” ujar Prita setengah berbisik
“Silahkan,” ujar Sofian, meski dengan ekspresi dingin, tapi gerakan tangannya mempersilahkan Desti untuk keluar lift itu duluan. Sebagai bos, bahkan Sofian memperlakukan Desti bukan seperti bawahannya, bahkan layaknya mitra kerjanya saja. Mereka berjalan beriringan menuju depan lobi, dimana supir kantor akan menunggu mereka. “Sekretaris baru?” tanya Tio, Direktur yang mengajak Sofian meeting. Mereka bertemu langsung di ruang meeting hotel, karena Pak Direktur langsung berangkat ke lokasi. “Ohya, Desti, kenalin. Ini Pak Tio, direktur kita. Ini Desti, staf saya yang baru,” sahut Sofian. Usia Tio lebih tua dari Sofian. Kalau Sofian terlihat tampan, mapan dan menarik, sementara Tio lebih mirip Bos dengan perut buncit dan jarang olahraga. “Pinter juga, Pak Sofian!” seloroh Tio seraya melirik ke Sofian sembari menyalami Desti. Jari tangannya digerakkan seperti ingin memberi kode sesuatu yang Desti tak mengerti. Tiba-tiba Desti merasa tidak enak hati. Selama ini, melihat bos ge
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp