“Ratih?!”
Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?” Aku mendahului bertanya sebelum ia mengajukan pertanyaan padaku. “Nganter Sasti belanja sama mamanya,” sahutnya datar. Aku menarik nafas dalam-dalam. Saat dia menyebut kata “mama” dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang menindih dalam dadaku. Apakah aku tak ikhlas jika dia menyebut mama untuk anaknya pada wanita lain, meski faktanya memang wanita itu mama dari anaknya? Apakah aku egois? Bahkan, aku belum menjadi istrinya. Mengapa rasanya bisa seperih ini? Apakah aku cemburu? “Sambil minum, yuk,” ajak Rizal. Dia mendahului langkahku. Bahkan dia tak bertanya apakah aku sedang mencari sesuatu? Ah, mengapa aku jadi seperti ini? Apakah aku penting bagi dia? Mengapa aku mengharapkan dia bertanya sesuatu padaku? Bisa jadi, memang lelaki seperti itu. Rizal memasuki sebuah cafe yang tak jauh dari pusat busana tempat kami tadi bertemu. “Dia mantan istrimu?” tanyaku saat kulihat wanita cantik itu lewat menggandeng Sasti. Mereka kembali ke tempat busana tadi. Sepertinya wanita itu belum puas mencari baju. “Iya. Tepatnya, mamanya Sasti,” ujarnya penuh penekanan. Sepertinya dia lebih suka menyebutnya sebagai mama Sasti dibanding mantan istrinya. “Cantik,” tukasku. Aku memang harus jujur mengakuinya jika dia cantik. Rizal merespon ucapanku dengan tersenyum simpul. Aku tak mengerti maksudnya. Apa dia merasa bangga karena aku memuji mantannya. Atau justru menyembunyikan sesuatu yang mungkin belum saatnya diceritakan. Aku tak mengerti. Kadang lelaki sukar dipahami. Aku punya adik lelaki. Menurutku, Hasan memang susah dipahami. Bicaranya irit. Yang penting-penting saja. Ia tidak suka membicarakan orang lain. Dia hanya suka membicarakan hal-hal yang berfaedah. Sampai detik ini pun aku tak terlalu tahu, bahan pembicaraan apa yang pantas untuk dibicarakan dengan makhluk bernama lelaki. Selama ini, baik jaman kuliah maupun saat aku sudah bekerja, aku hanya bisa bicara dengan lelaki untuk masalah yang terbatas masalah tugas kuliah, atau masalah pekerjaan. Hampir aku tak pernah membahas hal privasi. Mengenai pesan Nadia? Tentu aku bingung harus berkata apa. Apalagi, jika Rizal tak memancing membuka pembicaaan. “Kamu yakin tak keberatan menikah denganku?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. “Aku sudah melamarmu. Buat apa aku meragukan lagi. Bagiku, tak ada kamus buat mundur jika sudah melangkah ke depan. Setiap langkah, sudah kupertimbangkan dengan matang,” tukasnya mantap. “Aku takut kamu kecewa. Aku tak secantik mantanmu. Atau, orang yang pernah kamu taksir.” Aku ragu untuk menyebut nama Dewi. Aku rasa tak elok membuka masa lalu. Tapi, aku harus mengatakannya, seperti pesan Nadia. Semua ganjalan harus diungkapkan sebelum mengambil keputusan lebih lanjut. Aku rasa, inilah waktunya, sebelum kami melanjutkan jenjang lebih serius. “Kamu juga cantik. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Cantik yang dimiliki orang lain, kalau belum jodohku, aku bisa apa?” jawabnya datar. Awalnya aku seperti melayang dengan ucapannya, kalau aku cantik. Belakangan, dengan penjelasannya, dia seolah menjatuhkanku ke lembah terdalam.Ah, begitulah Rizal. Dari dulu, ucapannya masih saja pedas padaku, tak berubah. Padahal Bulik dan Paklik bilang kalau Rizal pemuda yang baik. Aku menghela nafas. Apa itu memang kharakternya, dan aku harus berdamai, atau bagaimana? Aku masih bingung.“Rizal, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku memberanikan diri. Aku masih penasaran dengan berpisahnya dia dengan istrinya. Aku takut jika ternyata berpisahnya disebabkan oleh sesuatu yang bisa saja menimpa terhadapku. Jadi, mumpung tidak ada Sasti, sebaiknya aku tanyakan saja.Rizal mengangguk, “Silahkan!” “Mengapa kalian berpisah?” Kuberanikan diri untuk bertanya, setelah sesaat menimbang. Ini kesempatan. Bisa jadi, esok aku tak ada waktu bertanya. Rizal terdiam sejenak. Dia menarik nafas panjang. Sepertinya cukup berat untuk menceritakannya padaku. Aku menunggu jawaban darinya. Bagiku, jika dia tak mau menjawab pun, sudah cukup jawaban bagiku untuk tidak melanjutkan proses ini. Meskipun dia sudah melamarku, toh aku masih punya waktu untuk menolaknya. Aku sudah berumur, tapi bukan artinya posisiku lemah, yang harus menerima siapa saja yang akan melamarku. Aku tetap punya hak untuk memilih dan menolak. “Dia sudah tak mencintaiku. Dia mencintai orang lain. Jadi, pernikahan kami tak bisa dipertahankan lagi.” ujar Rizal datar. Ada luka di sudut mata yang coba dia tutupi. Ya sudahlah. Berarti masalahnya orang ketiga. Aku menyimpulkan."Maksud kamu, dia...." Aku tak sampai hati menyebutkan. Kalau hanya tidak mencintai, bukannya pernikahan tak melulu atas nama cinta? Tak cukupkah dengan tanggungjawab jika cinta itu tlah tiada?Tapi, Rizal mengatakan, dia mencintai orang lain? Artinya....“Lalu, Sasti? Biasanya bukannya anak dibawah umur akan bersama ibunya?” Aku mencoba mengkorek dengan cara lain. Bukan aku tak mau mengasuh Sasti jika aku menikah dengan Rizal. Tapi, ini seperti hal yang aneh bagiku.Bapak-bapak itu, maksudku Rizal. Dia harus kemana-mana menggandeng gadis mungil itu. Meskipun menurutku, dia semakin tampak macho dan menawan dengan membawa Sasti kemana-mana. Apalagi dengan menenteng tas anak perempuan di tangannya.Kadang aku ingin tertawa geli melihatnya, tapi kutahan. Khawatir dia tersinggung. “Tak bisa kuceritakan. Tapi, aku memang memenangkan hak asuh anak. Bukankah itu menunjukkan aku bapak yang baik?” selorohnya. Meski aku tak seluruhnya menangkap maksudnya, ada senyum terbit di bibirnya, membuat hatiku kembali bergetar.Tatapan matanya yang bertumbukan dengan tatapanku, sontak mengoyak hatiku.Getar cinta itu masih sama. Sama dengan sebelas tahun lalu. Ah, sudah begitu lama ternyata. Ya, memang lama. Teman-teman sebayaku hampir semua sudah berkeluarga. Mereka telah memiliki anak-anak yang lucu. Bahkan, sebagian dari mereka, anaknya sudah bersekolah. Sedang aku? Masih memikirkan diriku sendiri. Bahkan kini, masih merasakan getar cinta pertama. Cinta yang datang terlambat. Tak lama, nada panggil ke ponsel Rizal membuat kami menatap pada titik yang sama. Sebuah nama tertera di sana.Rizal mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Lalu ia mengusap dan mengangkat panggilan itu. “Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Rizal menitahkan pada si penelpon.Aku bisa menebak, pasti itu dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku sambil menyesap jus jeruk di hadapanku. Tak enak kalau keberadaanku menganggu acara mereka.“Aku kenalkan kamu pada Desti dulu.” Rizal mencoba menahanku. BERSAMBUNG...“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru
Hari menjelang senja, Aku kembali ke kosan. Kosanku berada di gang sempit di belakang kantor. Kira-kira 700 meter dari kantor. Tapi, jalanannya hanya bisa dilalui motor atau bajaj. Kalau pun bisa dilalui mobil, tapi hanya satu arah dan tidak bisa bersimpangan. Biasanya, bagi yang bertamu menggunakan mobil harus parkir jauh dari kosan. Parkir di pinggir jalan sebelum masuk gang. Kosku itu berada di lantai dua. Lantai satu dihuni oleh pemilik rumah. Kamarku berada tepat di ujung paling depan. Kalau membuka jendela, maka aku bisa mengintip orang yang lalu lalang di jalanan depan kosan. Termasuk juga melihat penjual nasi uduk yang kadang buka dasaran di pagi dan sore hari. Aku sendiri penghuni paling baru di kosan. Semua rata-rata sudah menghuni kosan lebih dari setahun. Kabarnya, penghuni yang paling sering bergantian ya penghuni kamarku ini. Entah mengapa, meski aku pikir kamarku paling nyaman, karena ventilasi langsung masuk udara luar, buktinya tak ada yang mau pindah ke sini. Mungk
“Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti,” jelas Rizal. “Oh.” Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban. "Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti. Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya. "Kok, malah bengong." Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara. "Oh, iya. Ayuk." "Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya. Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekita
“Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!”Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi. Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan. Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali. "Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf? "Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda. Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya. "Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih." Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan
Warung tenda tempat kami makan sudah lebih ramai dibanding tadi saat kami datang. Meskipun tempat ini hanya menyajikan penyetan, namun sangat berarti buat penduduk urban sepertiku yang tempat tinggalnya tidak dilengkapi dapur. “Sasti butuh seorang ibu. Dan ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung,” sambungku karena Rizal tak juga mengeluarkan penjelasannya. Ini terdengar sok bijak. Namun, aku sering mendengar penjelasan serupa, meski aku belum berpengalaman.Aku menatap Rizal yang sibuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia lapar, karena sama sekali tak memberi jeda untuk berbicara. Atau, dia perlu energi untuk memberi penjelasan padaku?“Sebenarnya tak semuanya harus kuceritakan. Tapi, baiklah.” Rizal menyudahi makan pecel ayamnya. Rizal menumpuk piring nasi dan piring bekas pecelnya menjadi satu, sehingga meja di hadapannya terlihat bersih. Sementara, aku masih berusaha melanjutkan makananku yang belum habis. “Sebenarnya aku sudah melupakan semuanya. Dia adalah mamanya Sasti.
Ibu bagi Sasti? Sebenarnya dia mencari istri, apa pengasuh anak? Aku nggak tahu, kenapa aku yang dipilih? Aku nggak punya pengalaman dalam mengasuh anak. Kalau benar dia menginginkan ibu bagi putrinya, harusnya memilih yang berpengalaman. Bukan sepertiku, bahkan cinta dunia anak-anak pun tidak. Aku masuk ke dalam kosan. "Cie, siapa tuh, Tih?" Mbak Femy, salah satu senior di kosan yang tadi lewat saat aku bersama Rizal, kini menyembulkan kepala di pintu kamarku yang memang belum tertutup. "Kayaknya kamar ini beneran mengundang jodoh, ya?" Mbak Femy masuk ke kamar. Dia langsung duduk di sisi ranjang. "Semua yang menempati kamar ini, akan keluar saat dia nikah. Dan hampir tiap tahun itu," ucap Mbak Femy. Aku memang penghuni baru di kosan ini. Sebelumnya, aku tinggal beberapa gang dari sini. Sayangnya, kosan yang sudah membuatku nyaman itu harus direnovasi, sehingga aku pindah ke tempat ini. "Alhamdulillah. Rejeki berarti ya, aku pindah ke sini. Kalau gitu, Mbak Femy pindah s
"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya. "Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya. "Mas Rizal udah transfer aku. Ntar kalau kurang, baru aku bilang sama kamu." "Apa?" Aku melotot membaca pesan dari Dini. Bisa-bisanya Dini dan Rizal berkomunikasi di belakangku? Apa aku cemburu? Sebenarnya bukan ke cemburu, tapi, semacam merasa dilangkahi saja. Tapi, ini semua juga salahku. Aku yang cuek dan tak mau tahu urusan pernikahan ini. Jadi, mungkin Dini yang ambil inisiatif. "Tenang Mbak. Calon Kakak Iparku baik kok. Nggak neko-neko. Semua diserahin padaku, asal tahu bere
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp