"Dikta?!" Spontan aku memanggil namanya. Laki-laki itu masih berdiri di belakang Mas Radit sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Dikta?" Mas Radit balik bertanya lalu kubalas dengan anggukan kepala. Setelahnya, dia menoleh ke belakang. Dua lelaki saling tatap lalu Mas Radit mempersilakan Dikta untuk duduk di sampingnya. Keduanya tak saling kenal, hanya saja Dikta tahu jika Mas Radit adalah anak lelaki Pak Anwar, wali kelas kami saat SMA dulu. Setelah bersalaman, Mas Radit menawarinya untuk memesan makanan. Mas Radit tak terlihat canggung, biasa saja dan begitu ramah meski baru saja berkenalan dengan Dikta. "Soal tadi, aku tunggu jawaban kamu ya." Mas Radit menatapku dengan senyum tipisnya, sementara Dikta masih bergeming di tempat duduknya sembari mengalihkan pandangan. "Iya, Mas. Aku mau istikharah dulu," ujarku singkat lalu kembali mengaduk-aduk jus jambu di gelas."Iya. Nggak harus dijawab sekarang kok, Lan. Aku beri kamu waktu sampai siap dengan jawabanmu. Semoga
Kata-kata Dikta kembali terngiang di benak hingga membuatku tersenyum lagi dan lagi. Setelah membeli beberapa snack dan minuman dingin, Dikta membayar ke kasir. "Masih marah?" tanyanya saat aku dan dia keluar dari mini market. "Duduk dulu, mau adzan sepertinya," pintanya sembari menarik kursi di depan mini market untukku. "Makasih," balasku singkat. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kupukul lengannya cepat karena selalu dan terus membuat degub jantungku berlompatan tak karuan. Lagi-lagi Dikta terkekeh geli melihat tingkahku yang mungkin cukup lucu baginya. "Selalu lucu dan menggemaskan seperti dulu." "Selalu menyebalkan, iya," balasku lagi. Dikta manggut-manggut lalu membukakan minuman dingin untukku. "Makasih," ujarku lagi. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kata-kata itu terulang kembali dari bibirnya. Spontan membuatku tertawa juga pada akhirnya. "Gitu dong ketawa. Jangan cemberut terus. Kalau ketawa kadar cantiknya naik delapan puluh persen." Aku mencebik. "Bisa naik s
Bakda shalat maghrib, aku dan Dikta masih duduk santai di teras masjid. Banyak orang yang beribadah di masjid ini. Di depan masjid pun ada beberapa penjual makanan yang menjajakan dagangannya. "Masih sakit?" tanyaku saat melihat Dikta melipat celana bagian bawahnya. "Nggak. Lebih sakit jika kamu yang terluka," balasnya santai lalu mendongak ke arahku yang buru-buru mengalihkan pandangan. Aku nggak mau kedua mata kami bertemu. "Isshhh, ditanya beneran malah bercanda.""Siapa yang bercanda sih, Lan? Serius ini." Aku kembali mencebik, meski dalam hati berbunga-bunga. "Rasa itu masih sama seperti dulu, Lan. Nggak ada yang berubah. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu setelah perpisahan kita lima tahun lalu, tapi entah mengapa aku merasa yakin dengan hatiku sendiri. Aku percaya pilihanku tak salah jika kamu memang perempuan yang terbaik." Dikta menghela napas panjang lalu kembali menoleh ke arahku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali menundukkan kepala. "Apa karena ucapan Mas Radi
Seminggu belakangan aku sudah istikharah, berusaha menetralkan hati, tapi entah mengapa tetap condong pada Dikta. Mungkin hatiku memang tak sepenuhnya netral jadi masih berat sebelah. Sejak ungkapan cintanya di warung bakso minggu lalu, Mas Radit benar-benar memberiku kelonggaran waktu untuk memberikan keputusan. Dia tak menghubungiku sama sekali, padahal sebelumnya nyaris tiap hari bertukar pesan. [Sudah yakin dengan keputusanmu kan, Lan? Kalau memang yakin, kita perjuangkan cinta ini. Aku nggak mau kehilangan jejakmu lagi, Lana. Aku takut kamu menghilang seperti dulu.] Pesan dari Dikta membuatku kembali menghela napas. Mau tak mau aku memang harus segera memutuskan masalah ini agar tak ada yang terlalu lama menunggu dan berharap lebih. Mas Radit bukanlah lelaki yang buruk, hanya saja hati tak bisa dibohongi. Aku tak bisa mencintainya sebab hati ini sudah menunjuk nama lain dan itu bukan dia. Semoga saja keputusanku nanti tak terlalu menyakiti hatinya. [Sudah, Dik. Aku sudah sia
"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
"Dikta!" Tante Delima masih terus memanggil anak lelakinya seiring terdengar deru mobil Dikta yang mulai keluar garasi. Laki-laki itu buru-buru turun dari mobil lalu menghampiriku dan Ryan yang masih memesan taksi. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tak peduli dengan teriakan mamanya yang makin membuatku sakit kepala. "Kembali ke rumah, Dikta. Aku bisa pulang sama Ryan," ucapku berusaha tetap tenang agar Dikta tak sekacau itu. "Nggak, Lana. Aku harus mengantarmu pulang. Aku yang jemput, jadi aku pula yang antar," kekeuhnya. Aku menghela napas lagi dan lagi menghadapi keras kepalanya. Jika dia bersikeras mengantarku pulang, mamanya pasti akan semakin membenciku karena merasa dikesampingkan. Namun, aku juga tak bisa menyalahkan Dikta sepenuhnya sebab ini memang bagian dari tanggungjawabnya. "Mbak Lana benar, Mas. Sebaiknya Mas Dikta masuk dan menyelesaikan masalah ini dengan keluarga Mas Dikta. Kalau seperti ini semua akan semakin runyam." Ryan kembali menengahi. "Baguslah kalau
Perlahan menyusuri jalan menuju pemakaman, sementara Ryan berada di belakang dan mengikuti setiap langkahku. Dia pun tak banyak protes, cukup tahu apa yang kini membelenggu hati dan pikiranku. Ryan sudah cukup dewasa. Dia paham kapan saatnya bicara dan kapan saatnya memberiku waktu untuk mengeja segala rasa. Dengan gesit, Ryan mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di makam ibu. Mengumpulkan dedaunan yang jatuh di atasnya lalu jongkok di sebelahku. Kami sama-sama terdiam dalam kekhusyukan doa. Berharap ibu dan bapak tenang di sisiNya dan diampuni segala dosa-dosanya. Kupejamkan mata perlahan sembari menceritakan kejadian hari ini dalam diam. Aku ingin mengungkapkan apa yang kurasakan tanpa harus menggunakan kata-kata. Entah sudah berapa menit mataku masih saja terpejam, hingga akhirnya kurasakan pelukan di lenganku. Kubuka kedua mata. Adik lelakiku itu tersenyum meski dengan mata yang basah. "Ibu dan bapak memang sudah tiada, Mbak, tapi Mbak Lana tak perlu risau sebab masih ada