Pov Ayu[Assalamu’alaikum, Ay! Lagi apa?] Aku baru saja selesai menjemur pakaian ketika pesan dari Dion datang. Hari ini sedang tak enak badan. Jadi kuputuskan untuk tak pergi mengajar. Aku ingin beristirahat saja. Ya, selain beban pikiran yang lagi hebat. Kemarin waktu aku pulang dari rumah si Kakek yang bertemu di tukang bakso itu, aku kehujanan. Jadinya ya gini, deh! Meriang tipis-tipis. [Habis nyuci, Yon. Ini mau istirahat, gak enak badan.] [Kamu sakit, Ay?] [Enggak, hanya gak enak badan. Dah, ya, mau rehat dulu.] Aku pun lekas masuk. Kusimpan ponsel di samping laptop yang tak pernah tertutup. Lekas aku membaringkan badan. Kepala terasa berat dan badan agak anget. Aku sudah merebahkan tubuh agak lama. Namun hanya bolak-balik ke kanan dan kiri. Kucoba upejamkan mata, tapi gak tidur juga hingga Ibu muncul. Dia membawa segelas rebusan jahe hangat yang dicampur madu. “Diminum dulu, Yu. Biasanya agak enakan kalau bangun nanti.” “Iya, Bu. Makasih.” Aku pun meneguk air jahe han
Pov AyuAku berpura-pura tak melihat. Bukan urusanku jika dia yang belum menikah, tetiba berada di poli kandungan. Namun, sial. Dia malah datang dan menghampiri aku yang duduk di antara Dion dan Ibu. “Ayu ….” Suara lirihnya membuat kami bertiga menoleh. Duh, mimpi apa aku semalem. Kenapa sih, harus berurusan lagi dengan dia sekarang. “Eh, Wi. Ke dokter?” sapaku pada Dewi. Hanya basa-basi sebetulnya. Gak mau tahu juga. “Iya, Yu. Aku ke dokter.” Dia menunduk murung. Sesekali sudut matanya melirik Dion. “Semoga lekas sembuh, ya!” Aku bingung mau mengusirnya. Akhirnya pakai ala-ala ucapan dokter kalau habis berobat. Kan kalau bilang segera lekas sembuh, biasanya kan pasiennya langsung pulang. Namun, prediksiku salah. Dewi tetiba bersimpuh dan memeluk kakiku. “Aku gak bakal sembuh, Yu. Aku gak sakit.” Dia mulai terisak. Aku meringis, malas bertanya. Namun Ibu yang tampak kasihan meraih Dewi untuk bangun. “Sudah, Dewi. Malu sama orang. Kalau gak sakit kenapa juga malah nangis?” Suara
Pov Lani Aku berulang kali melirik jam tangan. Hatiku ketar-ketir, takut-takut kalau misi Dewi kali ini gagal. Beberapa menit setelah Dion pergi, Dewi ke rumah. Seperti biasa, dia pasti selalu memiliki solusi atas kegalauanku. Bagaimanapun, aku masih belum rela andai Dion harus melamar Ayu. Jika tak dengan Viona, Dewi adalah pilihan yang lebih baik untuk dijadikan calon menantu. Meskipun, jika Dion menikah dengan Dewi, maka aku tetap harus mengembalikan uang Lira senilai dua ratus juta yang kupakai itu. Namun, Dewi pun menjanjikan akan membayarkan utang-utangku pada Lira kalau aku merestuinya dengan Dion. Ya, kupikir apa salahnya jika Dion dengan Dewi. Toh selama ini keluarga kami dekat. Mas Subekti tengah pergi. Dia dan Dion sama saja. Sama-sama rendah seleranya. Dia sudah mendukung penuh hubungn Ayu dan Dion. Jelas, kedudukan gak imbang, makanya kemarin aku bilang setuju. Namun, selama masih ada waktu, meskipun harus berpura-pura setuju dan menyerang perlahan. Aku harus memisahk
Pov Lani“Bu Dewi! Gimana, Bu?” Kudengar Suara perawat itu memanggil lagi. Tanpa kusangka, Dion melewatiku begitu saja dan menarik lengan Dewi. Mereka pun masuk ke dalam ruangan. Entah apa yang Dion bisikkan sehingga Dewi tampak semakin pucat dan berulang kali menoleh padaku. Lalu? Aku bisa apa? Sepertinya lebih baik aku ikut ke dalam saja. Nanti jika ketika di USG Dewi gak hamil, aku hanya tinggal bilang alat di kliniknya yang rusak dan harus dibawa ke rumah sakit besar untuk pemeriksaannya. Dewi sudah terbaring di atas ranjang pasien. Seorang perawat tampak sudah memoles gel pada perutnya. Wajah dia kian pucat. Dokter bicara pada Dion dan menyarankan agar Dewi lebih banyak mengkonsumsi vitamin agar kehamilannya lancar. “Ibu, siapanya?” Dokter itu menoleh padaku. “Dia Ibu saya, Dok!” Belum sempat aku menjawab. Dion yang menjawab ucapan dokter tersebut. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pada dokter tersebut.“Wah selamaat, ya! Sebentar lagi akan punya cucu. Usia kandungannya baru
Pov Dewi “Tante gak butuh permintaan maaf kamu, Wi! Bersihkan nama keluarga kami atau Tante sendiri yang akan melaporkan kamu dengan tuduhan pencemaran nama baik!” Aku benar-benar kaget mendengar penuturan Tante Lani. Kukira dia masih mau membelaku, tetapi rupanya dia malah mengancamku. Padahal aku sudah minta maaf padanya. Lagi pula, dia adalah dalang dibalik semua rencana ini. Hanya saja aku memang salah mengeksekusi. Aku terlalu nafsu sehingga gak mikir dampak luasnya. "Tante kenapa tega? Bukannya Tante sendiri yang minta aku pura-pura hamil di depan Ayu, Tan? Lantas kenapa jadi aku yang salah? Aku gak terima!” Aku mengeratkan kepal. Sekalian saja kubongkar lah di depan Dion, tuman.Dion tampak terperangah mendengar ucapanku. Dia menatap Tante Lani. Wajah Tante Lani tampak menegang. Aku suka, kali ini posisi kita sama. Sama-sama tersudutkan. Andai Dion melaporkanku ke polisi, aku akan bawa nama dia yang jadi dalang di balik semua ini. “Omong kosong macam apa kamu, Wi? Sudah rusa
Pov DewiAku tak mau banyak musuh. Sudahlah gak kugubris juga. Aku tahu, duit mereka lebih banyak. Walaupun aku melawan, ya, percuma. Hanya ngabisin waktu dan tenaga. Lebih baik aku cari mangsa baru hingga akhirnya aku bertemu dengan Om Wisnu seorang pemilik PH. Hanya saja, sayangnya dia terlalu bucin sama istrinya. Dasar lelaki, suka jajan di luar tapi penakut di rumah. Tak berapa lama notifikasi M-Banking masuk. Aku menatapnya dengan tersenyum lebar. Angka yang lumayan. Enaknya gini kalau Om Wisnu, selalu memberi uang lebih. Jadi habis ngegugurin kandungan, masih ada sisa buat ke salon atau shopping. Kuusap perut ini, meminta maaf pada janin yang usianya baru tujuh minggu ini. Aku hanya ingin melahirkan anak-anak dari Dion. Jadinya terpaksa aku harus gugurkan. Namun, misal Om Wisnu mau ceraikan istrinya, aku juga mau sih sama dia. Dia tajir juga, hanya memang sudah tua. Sebelum ke sana, sepertinya lebih baik aku mengabari Viona tentang hal ini. Aku tahu, dia sama berharap pada Di
Pagi itu, aku sudah mengenakan gamis warna krem. Gamis dengan motif bunga pada bagian roknya dengan karet serut pada bagian pergelangan tangan ini, terasa nyaman. Pakaian ini bukan beli baru, tetapi memang masih layak pakai. Ibu selalu mengajarkan tak berlebihan. Meskipun, jujur, uangku berlimpah dan membanjiri rekening tiap bulan. Namun, aku tak serta merta merubah gaya hidupku menjadi hedon. Polesan make up kulapiskan pada wajah yang sudah segar. Entah kenapa, tadi malam aku tidur dengan nyenyak dan bangun dalam keadaan mood yang baik dan perasaan bahagia yang menguar. Perasaanku terasa ringan. Alisku yang memang sudah tebal, tak perlu kutambahi lagi, hanya lip cream warna peach yang kupakai agar bibirku tampak sehat dan segar. Usai mematut wajah, lekas kupakai kerudung segi empat yang sudah kulipat ujung ketemu ujung. Mode berjilbab yang paling membuatku nyaman sejak SMA. Kuatur biar simetris di wajah, lalu kusematkan jarum pentul pada tepinya. Sudah, deh. Cantik. Senyumku teruk
Aih, dasar jodoh, emang. Kenapa begitu cepat sepasang mata ini menangkap keberadaannya. Lelaki dengan setelan kemeja lengan panjang warna abu-abu tengah tersenyum menatapku. Rambutnya tampak sedikit pendek habis dipangkas, lengan kemejanya digulung hingga tiga perempat menampilkan jam tangan barunya. Ya, aku baru lihat jam tangan itu, sepertinya Dion memakai barang serba baru untuk datang ke acara kami. Setelah obrolan panjang lebar terjadi, akhirnya sebuah cincin disematkan pada jemariku. Riuh tepuk tangan terdengar. Aku menunduk semakin dalam dan menekan kebahagiaan yang meletup-letup di dalam sini agar tak membuncah keluar. Padahal rasanya aku ingin melompat dan memeluk Dion, rasanya seperti mimpi ketika akhirnya rasa yang sejak tujuh tahun lalu bersemayam ini akhirnya mendapat kejelasan. Cintaku berlabuh pada tempat yang kuinginkan.“Eh calon pengantin kok nangis,” kudengar suara Bi Murni---salah satu tetangga pelanggan nasi uduk ibu berkomentar. Aku hapal, meski tanpa tahu dia d
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-