Pov Dion “Aku tak tahu lagi harus buat kamu percaya seperti apa, Yu! Kalau kamu gak rela karena berpikir jika aku sudah menyentuhmu, maka tak ada cara lain, aku akan secepatnya bertanggung jawab. Kita akan menikah.” Kalimat itu berulang-ulang terngiang dalam benak. Pesawat yang membawaku pulang menuju tanah air terasa sangat lambat. Padahal perjalanan Singapura-Indonesia hanya butuh waktu dua jam saja. Semua ini karena Mama, dia membuat aku terjebak dalam semua ini. Bahkan selama di Singapura, aku sama sekali seperti orang linglung. Gawai yang tertinggal membuat aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Sialnya lagi aku baru saja melempar janji pada seseorang lalu kemudian menghilang dengan mendadak. Kepanikan Mama mendengar Nenek yang sakit keras dan terjatuh di kamar mandi membuat Mama mengirimku cepat. Bahkan rupanya ticket sudah dia siapkan. Awalnya, katanya Mama yang hendak pergi, tetapi karena Papa ada kunjungan dinas ke luar pulau. Mama memohon agar aku segera berangkat
Pov DionSakit terasa menjalar hingga ke lubuk hati paling dalam. Aku menelan saliva dan mencoba menahan gejolak yang bermuara. “K--kenapa, Bu? Kenapa Ayu begitu tega mengkhianati hubungan kami? Kenapa, Bu? Kenapa?! Apakah ada lelaki lain yang begitu mudah membuat Ayu jatuh cinta? Ternyata aku salah, selama ini kukira dia tipe perempuan setia yang menjaga marwahnya. Namun, ternyata sama saja.” Aku tersenyum getir mendapat kenyataan yang sangat membuat anganku tertampar. Dia sudah menerima khitbah dari orang lain. Secepat itu. “Katakan padaku, Bu! Katakan, siapa lelaki itu?” Aku kembali menatap Ibu. Perempuan yang mengatakan kalimat itu dengan begitu ringan. Seolah perasaanku untuk Ayu hanya sebuah permainan.“Kamu jangan sembarangan menilai Ayu. Tak ada asap kalau tak ada api. Siapapun lelaki itu, Kamu tak bisa mengubah lagi keputusan Ibu. Ibu sudah memberikan restu pada mereka. Menikah itu tak hanya sekadar mencintai pasangan, tetapi membuatnya nyaman di tengah keluarga barunya! I
Pov - Dion“Assalamu’alaikum, Ma! Dion. Boleh masuk!” Aku mengetuk daun pintu. Tak berapa lama kudengar derit daun pintu yang terbuka. Namun alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Rencana apa lagi sebetulnya yang tengah mereka buat untukku? “Hay, Dion!” “Vio? Lagi ngapain di sini?” Aku menatap datar pada perempuan yang mengenakan dress di atas lutut itu. Seleranya Mama ya yang modelan Dewi sama Vio memang. Entah kenapa, padahal dia sesama perempuan, tetapi malah pada suka yang kurang-kurang bahan.” “Mama sakit, Yon. Badannya dari malem panas banget. Ini masih aku kompres.” Viona menunjukkan handuk kecil yang tampak masih basah pada tangannya. Aku menautkan alis, menatap wajah Mama yang tampak tak ada pucat-pucatnya. Namun, karena Viona mengatakan Mama sakit, lekas aku mendekat. “Mama sakit apa?” tanyaku. Bukan khawatir, tetapi justru malah curiga. “Gak tahu, Yon. Dari malem badan Mama meriang, panas dan dingin. Untung ada Viona m
Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Mengintip dari balik tirai dengan mata berkaca-kaca. Kepergian Dion menoreh luka dan membawa sekeping asa. Punggungnya sudah menghilang di tikungan ketika kututup rapat kembali gorden kain yang menjadi tempatku bersembunyi. Tak terasa ada tetes hangat yang menyeruak, mengalir pada sudut mata kemudian berjatuhan. Kuseka dengan punggung tangan seraya menunduk dan berjalan menuju kamar. Kututup pintu kamar rapat-rapat, kerebahkan tubuh yang terasa lemas. Kembali terngiang penggalan kalimatnya yang membuatku tercengang. “Denger, Yu. Aku gak tahu menahu tentang pertunangan itu. Asal kamu tahu. Hari ini, aku baru pulang dari Singapura. Nenek jatuh dari kamar mandi dan Mama memintaku pergi.” “Kamu melihat mobil keluarga Viona mungkin benar! Tapi apa kamu melihatku, Yu?! Pasti enggak ‘kan? Aku harap kamu tunggu aku. Akan kuurus semua ini dengan Mama! Kamu masih cinta sama aku ‘kan, Yu?” “Aku mencintai kamu, Yu! Bukan Viona! Tolong beri kesem
Ah, benar saja. Aku sudah tertinggal. Lekas aku maju dan membayar di kasir. Sesekali aku masih melirik ke arah mereka. Sepertinya aku harus menguntitnya. Aku harus mengetahui apakah ada kebenaran lain yang disembunyikan Pak Faqih dariku? Akhirnya acara bayar membayar pun selesai. Si*lnya, mereka sudah menghilang. Lekas aku berjalan mencari keberadaan dua orang itu. Aku harus mendapatkan sesuatu. Kutelusuri lorong-lorong mall. Lekas aku memakai masker yang tadi kugunakan untuk berkendara. Setidaknya, aku merasa sedikit aman ketika wajah ini terlindung masker. Ke mana mereka? Rupanya terlalu cepat mereka menghilang. Aku, bahkan tak bisa aku menemukannya. Harusnya aku pulang saja dan tengah bercerita dengan Harum, sekarang. Namun, rasa penasaran yang menggebu membuat aku memutuskan untuk mengabaikan rencana awalku. “Baru keluar dari tempat makan? Berarti ‘kan sudah pertemuannya? Kalau mereka pergi, berarti ada kemungkinan pulang atau pindah tempat? Hmmm, belanja, misalnya.” Aku meng
“Ayo dimakan dulu, Ay.” Lagi-lagi dia memanggilku, Ay. Dasar. “Hmmm … sebelum makan, boleh gak aku minta sesuatu?” tanyaku dan menatapnya lekat. “Minta apa?” Dia bertanya santai sambil mengambil sumpit makan miliknya. “Aku mau dengerin hasil sadapan suara Tante Lani dengan Pak Faqih sekarang, bisa?” tanyaku padanya.“Kasih tahu aku, kenapa kamu ingin mendengarkan suara rekaman ini?”Pertanyaan Dion sontak membuat otakku berputar untuk mencari jawaban. “Ahmmm … kenapa memangnya kamu tanya gitu? Gak bolehkah aku ingin dengar?” Aku sengaja bertanya kembali. Rasanya gak ada gunanya juga Dion tahu alasanku. “Bukan gak boleh dengar. Hanya saja, aku hanya akan memberikan file rekaman suara ini pada orang yang berkepentingan.” “Aku berkepentingan.” Aku menjawab cepat. “Kepentingan untuk apa?” Dia menatapku lagi. Kok jadi menyebalkan kayak gini, sih?Aku diam, menghela napas kasar lalu kubuang. Melihat aku terdiam, kudengar, Dion kembali membuka suara.“Apakah setelah mendengar file reka
“S--saya b--bisa jelaskan, Yu! Jangan salah paham!” Suaranya terdengar gemetar. Aku tersenyum hambar. “Bapak tak perlu menjelaskan apapun karena saya sudah telanjur meragukan ketulusan Bapak dalam pernikahan ini. Saya merasa, Bapak hanya menjadikan saya alat agar Bapak bisa segera naik jabatan dengan memisahkan saya dengan Dion. Saya yang awalnya tersanjung dipinang oleh orang sebaik Bapak, kini merasa kecewa dan saya meminta agar Bapak segera membatalkan pinangan Bapak pada saya dan rencana pernikahan kita batal.” Entah dari mana keberanian tiba-tiba muncul begitu saja. Aku begitu lancar bicara dan mengucapkan kalimat seberani itu. Suasana meja makan menjadi hening. Semua saling terdiam dan menyimpan sendok seperti kehilangan selera makan. Aku yang baru saja dikuasai rasa sedih, kecewa dan emosi menatap orang tua Pak Faqih dan adik-adiknya yang sudah begitu baik. “Maafkan saya, Pak, Bu! Maafkan saya kelepasan.” Lantas aku beranjak setelah mohon diri. Perasaan campur baur tak ka
“I--Ibu?” Suaraku bergetar. “M--Maafin Ibu, Yu … maafin Ibu yang sudah egois selama ini …,” lirihnya seraya menyeka air mata yang berjatuhan. “Bu!” Aku bangkit dan menghampiri Ibu. Dia meraih jemariku, lalu kembali mengulangi kalimat itu,”Maafin, Ibu.” Tanpa kusangka, bersamaan dengan itu dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku termangu, merasakan air matanya yang hangat membasahi setelan seragamku.“Ibu akan bicara dengan Faqih setelah ini. Maafin Ibu yang sudah egois.” Dia melepas rengkuhannya lalu menjauhkan tubuhnya dariku. Ibu melirik pada Dion, tetapi tak bicara apapun. Dia langsung melengos pergi. Aku masih termangu ketika Dion tiba-tiba sudah berdiri dalam jarak satu hasta dariku. “Sepertinya aku sudah mendapatkan lampu hijau. Kabari jika Ibu sudah menyelesaikan urusanmu dengan Pak Faqih. Ibarat kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Yang lebih cepet ya, yang sambil lari.” Dion terkekeh seraya mengacak pucuk kepalaku. Sempat-sempatnya bergurau tak penti
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-