Beberapa hari berlalu dan berita tentang Victor yang mengajak Dante ke sebuah butik hingga berakhir dengan perselisihan bersama Hektor pun masih belum reda, berita itu menyebar ke setiap kota, dan yang membuat berita itu tak kunjung surut karena adanya Dante Vascos di video tersebut. Mereka sangat penasaran dengan sosok yang populer namanya tapi tidak diketahui wajah aslinya.Hari ini adalah hari dimana Jemima kembali ke Spring Brooks, Dante bahagia karena istrinya itu akhirnya bisa bersamanya lagi. Pagi-pagi sekali Dante sudah berada di stasiun dan menunggu Jemima turun dari kereta. Setelah beberapa jam berlalu terlihat wanita yang ditunggunya itu keluar dari kereta dan berjalan sesukanya tanpa menoleh ke arah Dante.‘Tunggu, apa matanya sudah buta?’ tanya Dante dalam hati.‘Hah, mau kemana dia? Bukannya aku sudah bilang kalau aku akan menjemputnya?’ tanyanya lagi masih dalam hatinya, lalu segera menyusul Jemima.“Jemima!” serunya beberapa meter di belakang Jemima, dan wanita itu mas
Jemima segera mendorong tubuh Julian, dan Julian segera keluar dari dalam tempat duduk Jemima. Dia berjalan pindah dan memasuki mobil, keduanya tersenyum canggung karena sudah melakukan hal diluar dugaan.“Ayo berangkat,” ajak Julian memecah kecanggungan. Mobil berjalan dengan elegan, sesekali Jemima mencuri pandang ke arah Julian yang menyetir mobil tersebut, dalam hatinya dia begitu memuji pria di sampingnya.“Aku tak tahu kalau kamu bisa menyetir,” kata Jemima.“Hm, well. Banyak sekali hal yang kamu tidak tahu tentangku, karena aku Dante Julian Vascos.”“Haha, ya, ya, ya. Kamu memang Dante Julian Vascos, yang biasa aku panggil Julian,” balas Jemima sedikit meledek. Sepertinya wanita ini masih tidak merasa bahwa yang dikatakan Julian itu fakta tentang dirinya.“Ya, memangnya kenapa?”“Tidak apa-apa, ngomong-ngomong soal Dante dan Vascos, apa kamu melihat beritanya?” balas Jemima balik bertanya. Julian tampak melonggarkan kancing kemejanya, dia pikir Jemima akan percaya jika dia mema
Melihat Julian yang diam saja, Jemima menatapnya penuh khawatir. “Ada apa denganmu?” tanyanya, “apa kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi.Julian menepis tangan Jemima yang akan mengusap keringat di dahinya, baginya itu adalah keringat gugup, bukan keringat demam. Dan dia tidak butuh perhatian sama sekali.“Oh iya, sebentar lagi kita sampai di hotel, apa kamu tidak mau makan diluar dulu? Berdua denganku?” tanya Jemima menawarkan sesuatu agar Julian tidak murung. Sayangnya Julian menggelengkan kepalanya, dia menolak dengan tegas.‘Ada apa dengannya? Kenapa dia mendadak badmood?’ Batin Jemima sambil sesekali mencuri pandang ke arah Julian yang lebih fokus menyetir dibanding mengobrol dengannya.“Hmm, gimana kalau malam nanti kita makan malam bersama? Anggap aja kencan pertama kita?” tanya Jemima berusaha membujuk. Lagi-lagi Julian menggeleng, Jemima jadi kesal sendiri karena dia bingung dengan kesalahan yang dibuatnya hingga membuat pria itu berubah drastis.“Baiklah, sudah sampai. Turun,
Beberapa lama sudah berlalu, Dante juga sudah bergerak dari duduknya, Victor dan Egan terlihat sudah selesai berbicara. Saat Egan memilih keluar, Victor memilih duduk di samping Dante. “Are you okay?” tanya Victor, dan Dante menggeleng. “Katakan, ada masalah apa?” tanya Victor lagi. Dante menghela napas kesal, “Sepertinya ada wanita tua aneh yang meracuni pikiran Jemima.” “Oh ya?!” seru Victor tampak penasaran sambil mendekat ke arah Dante, dan memperbaiki posisi duduknya. “Wanita tua? siapa? neneknya?” tanya Victor, Dante menggeleng dengan dahi mengkerut tampak berpikir. “Hah? bukan? lalu siapa?” desak Victor lagi. Dante menghela napas putus asa, rasanya dia ingin kembali ke kota Redapple, kota dimana rumahnya berada sekaligus kota tempat Jemima bekerja. “Ayolah kawan jangan diam saja, mau sampai kapan kau mendengarkan pendapat orang lain, dan mau sampai kapan kau menerima hinaan dari orang-orang yang tak mengenalimu?” desah Victor, kini dia yang terlihat frustasi. “Hmmm, ga
Egan menoleh ke arah Dante yang masih penasarannya dengan pertanyaannya. “Karena mungkin saja mantan Anda juga datang ke acara tersebut,” balas Egan. “Mantan? Siapa?” Egan mengedikkan pundaknya acuh tak acuh. “Saatnya bersiap, Tuan.” Dante melihat jam di tangannya, memang sekitar tiga puluh menit lagi adalah waktunya makan malam, dia mengangguk pada Egan yang tampak segera mempersiapkan segala sesuatunya. Dante mulai membersihkan diri, berdandan rapi dan bersiap pergi. “Sepertinya kita akan terlambat,” ujar Egan. “Biarkan saja, bukan tamu penting, apa yang kau cemaskan?” tanya Dante. “Bukankah disana juga sudah ada Victor? sepertinya aku tak datang pun tidak jadi masalah,” sambungnya. “Oh iya, perasaan kamu ada terus siang malam di hotel ini, memangnya kamu gak mau pulang?” tanya Dante setelah sadar jika Egan selama ini selalu berada disisinya. “Tidak, Tuan. Tempatku di sisi Anda,” jawab Egan. Dahi Dante mengkerut, “tunggu! maksudnya? perasaan aku tak memintamu berada disis
“Ah, baiklah sepertinya kita makan malam dulu,” timpal Samuel tampak canggung. Terlihat Victor melambaikan tangan pada seseorang, dan mereka seakan mengerti apa maksudnya, satu persatu pelayan datang sambil membawa menu makanan untuk mengisi meja panjang yang kini berada di depan Dante juga anggota keluarga Anderson. “Ekhem, tuan Vascos,” kata Samuel masih tampak gugup tapi sepertinya pria itu tak bisa dan tak tahan dengan sikap berbasa basi. “Iya, silahkan jika Anda ingin berbicara,” balas Dante. “Ekhem, sebelumnya saya ingin meminta maaf atas kelancangan sikap putra kedua saya,” jelas Samuel sambil melirik sejenak ke arah Hector. “Sebagai orangtua… saya merasa malu karena__” “Halo, aku tak menyangka bisa bertemu kalian disini,” seseorang memotong perkataan Samuel hingga semua yang hadir menoleh ke arah suara tersebut. ‘Ah, sial. Mau apa dia datang kesini,” batin Dante tampak kesal. Samuel yang perkataannya dipotong pun tampak marah setelah melihat siapa pemilik suara tersebu
Wajah Samuel beserta Mira tampak murka meskipun pasangan itu berusaha menjaga harga diri yang sudah dirobohkan oleh sikap Sarah yang ceroboh, namun ada Dante juga Victor disana, kedua tamu itu lebih berharga daripada sikap murahan Sarah yang seharusnya perlu ditindak lanjuti secepatnya. Semua terdiam, semua gugup kecuali Dante dan Victor. “Baiklah, sepertinya apa yang dikatakan tuan Victor benar,” ujar Samuel. “Mungkin kita bertemu saat tuan Vascos ada waktu saja,” sambungnya dengan nada suara dan wajah yang kecewa. Dante tampak mengangkat tangannya, “tidak masalah. Biarkan calon menantu Anda berada disini, Anda bisa melanjutkan perkataan Anda tadi,” katanya. “Saya takut Anda merasa tidak nyaman,” balas Samuel. “Tentu saja tidak, mari kita bersulang,” ajak Dante sambil mengangkat gelas wine di depannya, bersamaan itu beberapa pelayan wanita tampak berjalan mendekat ke arah meja tersebut dan berdiri di belakang para tamu sambil memegang botol wine yang tampaknya sangat berharga.
Sepertinya Hera tak mau mengalah, dia ingin terlihat baik dimata Dante juga Victor, berharap kedua pria itu terutama Dante dapat menyukai keberaniannya dalam melawan Sarah. “Ayolah kakak iparku tersayang, bisakah kamu tak mempersulit keadaan kami yang sedang ada acara ini?” tanya Hera tampak kesal dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat. Sarah menjentikkan telunjuknya ke arah Hera, “Tidak Hera, aku menolak keras baju bekasmu itu.” Hera semakin kesal, dia menatap ke arah Jemima sambil mendengus kasar, “BODOH! GARA-GARA PELAYAN SEPERTIMU, SEMUANYA JADI BERANTAKAN!” Jemima tampak terdiam, kini ada satu lagi wanita yang memakinya, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. “Begini saja, aku akan membalaskan kemarahanmu pada pelayan hina itu__” “Oh ya?” potong Sarah tampak senang sambil menoleh ke arah Dante, seakan menyiratkan sesuatu. “Apa yang akan kamu lakukan?” lanjutnya bertanya. “Aku akan lakukan hal serupa, tapi aku harap kak Sarah mau duduk diam dulu, setelah semua
Untung saja ada William yang tiba-tiba saja mau bersekutu dengannya, dia yakin kalau Dante dan Jemima akan segera berpisah. Lalu, apakah rencana keduanya akan berhasil? Beberapa minggu berlalu, pasangan Julian dan Jemima tampak semakin romantis. Keduanya sedang dimabuk cinta, dan Julian berpikir jika saatnya dia akan berencana jujur tentang identitasnya pada Jemima. Malam itu Julian berencana makan malam bersama di restoran hotel tempat mereka tinggal selama ini, dia akan membuat Jemima tak bisa melupakan makan malam romantis tersebut. Julian juga berharap kali ini istrinya itu mau mendengarkan penjelasannya tanpa berpikir salah paham, apalagi masih menertawakannya. Siang harinya sebelum rencana makan malam bersama, dia pergi ke butik bersama Victor. Sahabatnya itu sengaja dipaksa agar mau pergi dengannya, meskipun dia tahu sedang rapat penting. “Dante, mereka datang jauh dari luar negeri. Rasanya…”
William mengangguk tegas, “Tentu saja, apa kau mau membantuku?” tantang William. Sepertinya kesempatan ini tak mau dia abaikan begitu saja, balas dendam pada Dante adalah tujuan hidupnya saat ini. Tapi, apakah Sarah mau membantunya?William masih menunggu jawaban dari wanita yang kini duduk di depannya itu, dan baru saja berkenalan secara akrab di hari itu juga.“Tunggu, sebelum aku menjawabnya… lalu status mereka berdua apa sekarang?” tanya Sarah, penasaran.“Suami istri, tapi sepertinya pernikahan mereka hanya pura-pura dan bisa jadi hanya pernikahan kontrak.”“Apa?! Pernikahan kontrak?” tanya Sarah, hampir saja kedua matanya keluar dari rongganya.William mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi kaget yang diperlihatkan Sarah padanya, dia menjaga imej agar tetap terlihat tenang, berwibawa dan dewasa.“Kamu yakin mau merebutnya kembali?” tanya Sarah, dan William menjawab dengan anggukan.
Pria itu menyelesaikan dulu transaksinya, sementara Sarah yang tak terima menahan malu segera pergi dari butik itu sampai-sampai pria yang menolongnya harus mengejarnya.“Sarah Anthony?!”“Tunggu!”Sarah menghentikan langkah kakinya, pria yang membayar belanjaannya tadi ternyata mengenal hingga tahu namanya.“I-i-ini barangmu,” kata pria itu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.Sarah tampak tak bergeming, dia masih menatap bingung ke arah pria itu.“Ah, ya. Kenalin namaku William Maxim,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dengan terlebih dahulu menyimpan barang-barang milik Sarah.Sarah, yang awalnya bingung dan tak mengenali William, terkejut ketika mengetahui identitas pria itu. William, putra keluarga Maxim, adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi luas. Sarah, yang haus balas dendam, melihat peluang dalam pertemuan ini.“Ah, putra keluarga Maxim? Senang bertem
Mobil yang Egan kendarai akhirnya tiba di sebuah klinik praktek dokter pribadi.“Bukannya kita mau ke rumah sakit?” tanya Julian.Egan terbatuk-batuk, dia ingin bicara tapi tidak berani.“Kenapa? Kau sakit juga?” tanya Julian lagi.Egan memandang ke arah Julian, tatapannya seakan menghakimi.“Apa?” tanya Julian malah menantang.“Aduh__” dia mengaduh karena pinggangnya disikut Jemima.“Sakit tau!”Jemima membalas dengan kedua mata yang melebar, nyalinya mendadak ciut sampai-sampai Egan harus menahan tawa karena melihat ekspresi Julian yang lucu. Dia seperti kebanyakan pria lainnya jika sudah ada pawangnya, tak terlintas jika dia adalah seorang Dante Vascos yang terkenal seperti Singa.“Tuan Julian, ayo turun,” ajak Egan dengan gigi gemerutuk menahan kesal. Kesal karena Julian lupa dirinya siapa.“Ayo nona Jemima, kita periksa di dokter Cross.” Jemima mengangguk, lalu turun dan menuruti apa kata Egan. Lagipula dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan dan mengambil banyak waktu Egan
“Aw, kenapa?!” seru Julian karena tiba-tiba saja pinggangnya terasa sakit karena dicubit.“Jangan tidak sopan begitu,” jawab Jemima. "Tuan Victor, nona Sarah. Panggil mereka dengan sopan," sambung Jemima.“Owh,” balas Julian sambil mengangguk-angguk.“Eh tunggu,” sambungnya sambil menatap aneh ke arah Jemima.Jemima membalas dengan isyarat kedua mata.“Ya, maksudku wanita itu sudah mempermalukanmu. Untuk apa kita bersikap sopan, apa kau sudah tidak punya harga diri?” tanya Julian, membuat kedua mata Jemima melebar.Jemima menghela napas. “Julian, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang sopan santun. Kita tidak bisa bersikap kasar kepada orang lain, bahkan jika mereka bersikap buruk kepada kita.”“Tapi dia sudah bersikap kasar!” protes Julian. “Dia bahkan mengejekmu!”“Aku tahu,” jawab Jemima dengan tenang.“Dia juga menjambak dan membenturkan kepalamu,” tambah Julian lagi.“Ya, aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk membalasnya dengan kasar. Kita harus menunjukkan bahwa kita lebih b
Jemima terus berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Sarah kuat. Dia merasakan darah mengalir di pelipisnya. "Kau ingin melihatku menghancurkan gadis ini?!" Sarah menatap orang-orang di sekitarnya dengan mata menyala. "Sarah, hentikan!" Beberapa orang mulai kembali berteriak, "Kau harus berhenti!" "Tidak, aku tidak akan berhenti sampai dia meminta maaf!" Jemima terus berjuang. "Lepaskan!" Jemima memohon, "Lepaskan rambutku!" "Kau harus diajari!" Sarah berteriak, matanya menatap tajam ke arah Jemima. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan muncul dan menarik Sarah dari Jemima. Sarah berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. "Kau tidak boleh melakukan ini," kata pria itu, suaranya tegas. "Pergi, dan urusan kita belum selesa. Ingat itu!”
Jemima semakin bingung. "Saya tidak pernah merusak gaun Anda! Saya bahkan tidak tahu apa yang Anda bicarakan!" “Kejadian semalam adalah murni kecelakaan,” ungkap Jemima. Berusaha membela diri. Sarah mencibir, "Jangan berpura-pura! Aku tahu kau yang melakukannya! Dan aku tidak akan berhenti sebelum kau mengganti gaunku!" Jemima terdiam, jantungnya berdebar kencang. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian semalam seharusnya sudah selesai, hanya antara Sarah, keluarga tunangannya, dan Victor. Tapi Sarah bersikeras bahwa Jemima bersalah. Apa yang harus dilakukan Jemima? Saat Jemima larut dalam lamunan, Sarah tiba-tiba merebut tas miliknya dan menghamburkan isinya ke lantai. Jemima berteriak marah, kesabarannya sudah habis. "Apa anda gila?!" teriaknya. "Kembalikan tasku!" Sarah tertawa sinis sambil merebut kembali tas itu. Suasana semakin ramai, orang-orang mengerumuni mereka, dan seseor
Setiap sudut ruangan kamar hotel itu menjadi saksi bisu betapa menggeloranya hasrat sepasang suami istri itu. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari kamar mandi, keduanya masih bertingkah manis dengan saling mengeringkan tubuh, mengeringkan rambut, hingga memakaikan pakaian untuk mereka kenakan hari itu. Kedua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. “Sayang, aku akan ke atas untuk menemui Victor,” kata Julian sambil merapikan poni Jemima. Wajah Jemima tampak cemas. Julian bisa menebak isi kepalanya, wanita itu pasti mencemaskan kejadian semalam. Julian meraih tubuh Jemima, lalu memeluknya penuh kasih sambil mengelus-elus rambutnya. "Kau yakin tidak apa-apa, Julian? Aku khawatir Victor akan..." Jemima terdiam, kalimatnya terhenti sebelum selesai. "Khawatir apa, sayang?" tanya Julian, matanya menatap dalam ke mata Jemima. Jemima menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa. Cepatlah, aku akan menunggumu di sini." Julian tersenyum, mencium kening Jemima, lalu beranjak pergi. Jemima menatap pu
Jemima terdiam, matanya masih berkaca-kaca. Lagipula apa kata Julian memanglah benar, dalam kesusahan mereka, sempat-sempatnya dia memikirkan seorang anak?Jemima mengusap air matanya, "Aku bahagia, Julian."Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan tubuh dan jiwa mereka yang saling bersatu. Malam itu, di tengah keheningan kamar yang kedap suara, cinta mereka bersemi dengan indah, tetapi di balik keindahan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. ***Keesokan harinya Julian mendapati Jemima sudah tidak ada di sampingnya, dia melihat sekeliling kamar itu, sayup-sayup terdengar percikan air di kamar mandi. Aroma sabun dan tubuh Jemima tercium samar, mengundang hasratnya.Julian segera bangun, dan berjalan menuju kamar mandi. Saat pintu dibuka, terlihat Jemima sedang mandi di dalam sana, dari luar kaca terlihat samar-samar tubuh polos yang sedang berdiri sambil bermain dengan shower air di atasnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi