Melihat Julian yang diam saja, Jemima menatapnya penuh khawatir. “Ada apa denganmu?” tanyanya, “apa kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi.Julian menepis tangan Jemima yang akan mengusap keringat di dahinya, baginya itu adalah keringat gugup, bukan keringat demam. Dan dia tidak butuh perhatian sama sekali.“Oh iya, sebentar lagi kita sampai di hotel, apa kamu tidak mau makan diluar dulu? Berdua denganku?” tanya Jemima menawarkan sesuatu agar Julian tidak murung. Sayangnya Julian menggelengkan kepalanya, dia menolak dengan tegas.‘Ada apa dengannya? Kenapa dia mendadak badmood?’ Batin Jemima sambil sesekali mencuri pandang ke arah Julian yang lebih fokus menyetir dibanding mengobrol dengannya.“Hmm, gimana kalau malam nanti kita makan malam bersama? Anggap aja kencan pertama kita?” tanya Jemima berusaha membujuk. Lagi-lagi Julian menggeleng, Jemima jadi kesal sendiri karena dia bingung dengan kesalahan yang dibuatnya hingga membuat pria itu berubah drastis.“Baiklah, sudah sampai. Turun,
Malam hari di kota Coast Field yang dingin.“Lepaskan! Apa yang kalian lakukan!”“Tolong… “Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita berteriak meminta pertolongan sambil berlari ketakutan di dalam lorong yang disampingnya berjejer para tunawisma yang sedang beristirahat.“Lepaskan! Tolong… tolong!”Salah satu pria diantara para tunawisma itu terbangun dan mengangkat kepalanya, pria tersebut itu melihat sekeliling, dia sadar jika itu bukan mimpi apalagi halusinasi karena tepat beberapa meter di depannya terlihat ada seorang gadis yang tampaknya sedang dikejar tiga orang pria. Ada begitu banyak tunawisma, tapi tak ada satupun dari mereka yang mau menolong seorang gadis yang kini sedang diganggu beberapa pria hidung belang itu, mereka tak mau peduli dan memilih mengabaikan dengan pura-pura tidur.Baiklah, masa bodoh! batin pria itu, dia jadi ingat akan dirinya sendiri yang baru saja mengalami hal tak mengenakan, mengapa juga dia harus mempedulikan gadis malang itu, yang bukan siapa-siap
Dari kegelapan muncullah seorang pria berjalan mendekat dan lampu terowongan mulai memperlihatkan wujud aslinya.“Hah?! Apa-apaan ini, gelandangan?!” seru Ian setelah sadar siapa pria di depannya.“Apa kau sudah bosan hidup?!“Gelandangan sialan!”Pria misterius itu tampak tak peduli dengan semua makian Ian, dia semakin mendekat dan menarik lengan sang gadis hingga berhasil direbutnya dari tangan Ian.“Lepaskan dia, bangsat!”Ian tampak sangat murka ketika muncul orang asing yang menurutnya kumal dan menjijikan itu.Sedangkan Jemima sama sekali tak peduli dengan siapa dia ditolong, yang pasti gadis itu sangat mensyukurinya karena ternyata masih ada yang peduli terhadap penderitaannya.“Ayo kita habisi saja gelandangan itu!”Ian dan kedua temannya bersiap untuk memberi ganjaran terhadap pria kumal di depannya, mereka mulai menyerang pria tunawisma yang saat ini wajahnya tertutupi sebagian hoodie jaket yang dikenakannya.“Sejak kapan kita berurusan dengan gelandangan?” ejek Sam sambil me
Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi
Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di mus
“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak
Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir