Victor, Miller dan Dante berhenti berjalan ketika seseorang memanggil Victor untuk berbicara sebentar.“Ya, benar. Anda Victor kan? Apakah Anda turun untuk menyambut kedatangan saya?” tanya pria tersebut, membuat kening Victor mengernyit heran.‘Sombong! Siapa kamu?’ batin Victor sambil merasa heran.Melihat Victor hanya diam, pria itu berjalan mendekat.“Aduh, minggir!” seru pria itu, menyikut tubuh Dante dengan sengaja untuk melaluinya.“HEY!” Miller segera melangkah maju, menatap tajam pria tersebut.“Santai, Bro. Saya hanya ingin bicara dengan Tuan Victor. Kalian manusia hina, minggir lah. Jangan menghalangi!” balas pria tersebut, lebih tegas daripada Miller, penjaga pribadi Dante.Miller merasa kesal melihat perlakuan tak sopan terhadap Dante, hampir saja ia menyerang pria tersebut namun Dante memberikan isyarat agar ia bertahan.“Vic, saya Adam Flaming, sepupumu,” ujar pria itu lagi setelah Miller memberinya jalan.Victor merasa tidak nyaman, terutama setelah mengetahui identita
Dante tampak memakai outfit yang tidak mudah ditebak harganya, meskipun bagi orang yang mengenalnya pasti akan tahu bahwa itu bukan pakaian biasa. Adam Flaming, sayangnya, sudah terlambat untuk menyesali ulahnya.“Maaf atas tindakan sepupu saya, Tuan Dante,” ucap Victor setelah beberapa saat. Dante hanya mengangguk, suasana semakin canggung karena ekspresi wajahnya terlihat semakin tegang.“Tuan, dalam lima menit kita akan sampai di depan rumah keluarga Sullivan,” sambut Miller, mencoba meredakan ketegangan agar mereka bisa fokus kembali pada rencana yang melibatkan Jemima.Dante sekali lagi hanya mengangguk, sedangkan Miller melirik Victor yang memberinya isyarat untuk tetap tenang.Beberapa menit berlalu, mereka tiba di depan rumah keluarga Sullivan. Suasana di luar rumah sepi, namun terdengar keramaian di dalamnya.“Ah, sayang Steve tidak ikut__”“Aku tidak butuh Steve,” potong Dante sebelum Miller menyelesaikan kalimatnya.“Maaf, Tuan.”Dante tidak memberi respon, tampak acuh tak
"Ada apa?" tanya Tuan Sullivan dengan penuh kekhawatiran.Bela terlihat kebingungan, "Ian tidak dapat dihubungi.""Kenapa ini terjadi? Seharusnya dia sudah ada di sini lebih dulu," kata Tuan Sullivan dengan penuh kekhawatiran."Tenanglah dulu, Sayang. Mari masuk ke dalam, udara di luar sangat dingin," ajak Bela mencoba menenangkan situasi."Ayo turun, Kita harus masuk juga," ajak Dante setelah keluarga Sullivan memasuki gereja.Di dalam gereja, pertikaian mereka berlanjut, suara ribut dan saling menyalahkan terdengar kembali."Seharusnya sebelum pergi, pastikan dia sudah bergerak duluan," ujar Tuan Sullivan."Apa kamu menyalahkan saya? Seharusnya kamu mengurus hal-hal sepele seperti itu sendiri, apakah kamu tidak melihat saya sibuk sejak pagi?" balas Bela dengan penuh emosi."Sepele? Apakah kehadiran Ian di sini dianggap sepele?" tanya Tuan Sullivan."Maksudku, bantu saya. Jangan hanya memikirkan diri sendiri!" bela Bela dengan keras."Memikirkan diri sendiri? Hey Bela, yang sedang di
Malam hari di kota Coast Field yang dingin.“Lepaskan! Apa yang kalian lakukan!”“Tolong… “Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita berteriak meminta pertolongan sambil berlari ketakutan di dalam lorong yang disampingnya berjejer para tunawisma yang sedang beristirahat.“Lepaskan! Tolong… tolong!”Salah satu pria diantara para tunawisma itu terbangun dan mengangkat kepalanya, pria tersebut itu melihat sekeliling, dia sadar jika itu bukan mimpi apalagi halusinasi karena tepat beberapa meter di depannya terlihat ada seorang gadis yang tampaknya sedang dikejar tiga orang pria. Ada begitu banyak tunawisma, tapi tak ada satupun dari mereka yang mau menolong seorang gadis yang kini sedang diganggu beberapa pria hidung belang itu, mereka tak mau peduli dan memilih mengabaikan dengan pura-pura tidur.Baiklah, masa bodoh! batin pria itu, dia jadi ingat akan dirinya sendiri yang baru saja mengalami hal tak mengenakan, mengapa juga dia harus mempedulikan gadis malang itu, yang bukan siapa-siap
Dari kegelapan muncullah seorang pria berjalan mendekat dan lampu terowongan mulai memperlihatkan wujud aslinya.“Hah?! Apa-apaan ini, gelandangan?!” seru Ian setelah sadar siapa pria di depannya.“Apa kau sudah bosan hidup?!“Gelandangan sialan!”Pria misterius itu tampak tak peduli dengan semua makian Ian, dia semakin mendekat dan menarik lengan sang gadis hingga berhasil direbutnya dari tangan Ian.“Lepaskan dia, bangsat!”Ian tampak sangat murka ketika muncul orang asing yang menurutnya kumal dan menjijikan itu.Sedangkan Jemima sama sekali tak peduli dengan siapa dia ditolong, yang pasti gadis itu sangat mensyukurinya karena ternyata masih ada yang peduli terhadap penderitaannya.“Ayo kita habisi saja gelandangan itu!”Ian dan kedua temannya bersiap untuk memberi ganjaran terhadap pria kumal di depannya, mereka mulai menyerang pria tunawisma yang saat ini wajahnya tertutupi sebagian hoodie jaket yang dikenakannya.“Sejak kapan kita berurusan dengan gelandangan?” ejek Sam sambil me
Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi
Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di mus
“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak