Wajah Diego tampak senang, di tangannya dia main-mainkan kunci mobil sport mahalnya. Sayangnya senyuman sumringah itu segera terhenti saat di depannya ada beberapa pria serentak melihat ke arahnya. “Tuan, lihatlah. Ada orang gila yang ingin naik lift ini.” Kata Montana segera mengadu. “Ah, kenapa dia?” tanya Diego yang tertarik pada tubuh yang masih terbujur di lantai tersebut. “Lihatlah, ini ulah orang gila itu!” adu Montana lagi sambil menunjuk ke arah Julian. Diego tampak sedikit malu. “Ow! bergaya sekali. Mau meninggalkan tugas hotel seenak jidat? memangnya ini Hotel nenek moyangmu?” sindir Julian. Montana segera terdiam, tak mungkin dia orang biasa kalau berani bicara kasar pada Diego. Diego mendekat, tampak siap mau diapain juga, pria itu benar-benar pasrah apalagi sudah tertangkap basah akan bepergian keluar, berhubung saat ini dia sedang dihukum atas kelancangannya terhadap Dante dua hari ini. “Maafkan saya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Diego, tampak s
Pertanyaan Dante membuat Eddie bimbang, bagai memakan buah simalakama.“Bagaimanapun juga… mereka berdua adalah orang yang setia dengan saya, disaat yang lain meninggalkan dan mengkhianati saya… mereka ada untuk saya.” Jawab Eddie tanpa ragu sedikitpun.“Wow! saya suka orang sepertimu, baiklah, saya tidak akan memaksa.” Balas Julian.“Tapi, sepertinya mereka berdua mengidolakan Anda.” Jelas Eddie, dia tampak sedikit takut dengan perkataan Julian yang mungkin saja tidak mau menolongnya.“Oh ya? mereka berdua? kalian?” tanya Julian sambil menunjuk si Jenius dan si Bodyguard.Keduanya mengangguk penuh harap.“Kalian ingin bekerja denganku?” tanya Julian dengan ekspresi tak percaya.Keduanya mengangguk, Julian sungguh merasa heran.“Bukankah kalian setia pada tuan Eddie?” tanyanya lagi.“Kalau Anda mau membantunya, kami tak khawatir pindah atasan.” Jawab si Jenius, pria yang sangat cerewet dan Julian menyukainya.“Lagipula… tuan Eddie masih memiliki dua pengganti kami.” Lanjutnya.Alis Ju
Tubuh Diego bergetar hebat saat namanya terdengar menggema di ruangan itu. “Sudah kukatakan agar Kau berubah!” “Sudah kuberi kesempatan tapi Kau benar-benar sampah!” “Kau juga, manusia rendahan sepertimu sungguh hina dan tak tahu sopan santun!” “Kalian, hah! dua wanita buruk yang tak pernah mau berubah menjadi lebih baik, dasar Jalang!” Bukan hanya Diego, para penjaga pintu dan dua wanita penjaga meja untuk menyambut tamu itu pun kembali jadi sasaran sumpah serapah Victor. Semua terdiam pasrah, tak ada yang berani menyela saat Victor benar-benar murka. Victor menjadi sosok sadis, wajahnya terlihat menakutkan saat Dante tak ada lagi bersamanya, terlihat Eddie Franklin segera pergi menjauh dan menghindar dari Victor, dia takut menjadi sasaran kemarahan pria kejam itu. Kejadian tersebut menjadi rahasia umum betapa sadisnya perlakuan Victor pada para bawahannya, hingga menjadi gosip panas di antara para pegawai agar lebih waspada, jangan sampai menyinggung siapapun termasuk dia. S
Julian mengangkat alisnya, (ada apa dengan tingkahnya?) batinnya bertanya-tanya. “Malu tahu! ntar mikirnya… dikasih hati malah minta jantung.” Sambung Jemima dengan suara pelan, terdengar lemah lembut dan jika sudah berbicara begitu malah Julian malas melanjutkannya. (Hm, ada udang dibalik batu.) Batin Julian sambil memperhatikan gelagat Jemima. “Tapi… kalau bisa sih minta yang satu kamar dua ranjang, biar kamu bisa tidur tanpa gangguan.” Lanjut Jemima disertai gelagat genit yang menjadi senjata pamungkasnya saat dia sedang merayu atau merajuk. (Wah! dugaanku ternyata benar, ada maunya.) Batin Julian. (Katanya malu, huh! dimana letak kemaluannya?) batin Julian lagi. “Hey! buka bajumu, biar aku cucikan.” Pinta Jemima tanpa merasa bersalah sedikitpun. “Heh! cerewet.” Dengus Julian pelan. “Kenapa? itu bau!” desak Jemima sambil menarik kemeja Julian dan Julian pun tak mau kalah, mereka saling menarik hingga tubuh Jemima terjatuh dalam dekapan tangan kekar Julian. Untuk sesaat ke
“Akh!” Julian kehabisan kata-kata karena pasti dikira hubungannya dengan Victor adalah hubungan yang memalukan, padahal bukan itu maksudnya, dia merasa malu saat melihat juniornya bangun dipagi hari, biasanya meminta jatah dari Sarah untuk dikeloni. Sayangnya Jemima tak peka.“Baiklah, setelah ini kamu bisa tidur lagi, berkencan dengan Victor atau… apapun yang mau dilakukan, terserah.” Kata Jemima.“Yang jelas, jangan lupa makan, mandi dan ganti baju.” Lanjutnya, lalu pergi ke kamar mandi.Julian menghela napas dan mengibaskan tangannya, seakan pasrah dengan apapun yang ditudingkan oleh Jemima terhadapnya.(Biar waktu yang menjawabnya.) Batin Julian dan kembali memperbaiki posisi tidurnya, mencoba memejamkan matanya untuk kembali tidur.Julian tertidur cukup lama, sore hari dia baru keluar dari kamar. Dia berjalan melalui Lobby Hotel lalu melihat sekeliling, dia sadar jika Victor sudah merubah tatanan para pegawai hanya dalam satu malam.(Hump! Victor yang hebat.) Batinnya sambil mend
Egan, Steve dan Julian tampak bingung dengan sikap Miller yang sangat berlebihan. “Miller, apa ada masalah?” tanya Egan. Miller mengangguk, “sepertinya Steve yang pantas dengan tanggung jawab itu.” “Oh ya?” tanya Julian sambil melirik ke arah Steve. UHUK! Steve yang sedang minum langsung tersedak. “Tidak, jangan.” Katanya segera menolak. “Ck!” Julian berkecap lidah lalu menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar. “Ya, saya tahu kalau tuan Dante salah bicara.” Sahut Miller. Semuanya tampak termangu, sepertinya Miller memang tak terlalu bodoh. “Coba jelaskan?” tantang Egan. “Dia yang memiliki otak.” Jawab Miller sambil menunjuk ke arah Steve. “Dan apa peranmu?” tanya Egan lagi. “Aku bisa membantu dengan sedikit otak dan sepenuhnya dengan otot.” Jawab Millaer. “WOW!” seru Egan sambil menutup mulutnya, “You're cool, man.” Lanjutnya memuji. Julian terlihat mesem-mesem, “baiklah. Aku akan jujur, sebenarnya masalah Eddie akan aku serahkan pada Steve.” Egan dan Miller tam
“Lihatlah, sekumpulan lansia kaya, mereka tak terlihat sakit sama sekali.” Kata Jemima sambil tersenyum lembut. “Tempat yang nyaman juga menyenangkan.” Lanjutnya. “Hm, tentu saja. Tapi, perlu Kamu tahu__” balas Alma sambil menjeda kalimatnya. “Mereka juga sama seperti rakyat jelata, kalau kehidupan mereka baik-baik saja, untuk apa mereka membangun rumah perkumpulan begini.” Lanjut Alma. “Tapi, setidaknya nenekku akan hidup bahagia dan nyaman jika aku memiliki uang banyak.” “Ah, rupanya Kamu memikirkan nyonya Berta.” Sahut Alma. “Ah, lupakan kesedihan. Bibi yakin, nenekmu itu sangat bahagia karena memiliki cucu terbaik sepertimu, Jemima.” Lanjutnya. Jemima tersenyum hambar, bagaimanapun juga dia masih belum puas mengurus neneknya dan jauh dari kata ‘cucu terbaik’ untuk neneknya itu. “Aku tak pantas menyandangnya, banyak hal yang aku sesali.” Gumam Jemima. Alma tersenyum simpul. “Baiklah, Bibi Alma. Jadi apa yang harus aku lakukan di tempat ini?” tanya Jemima tak mau buang-bua
Jemima melirik ke arah yang Alma tunjukkan. “Wanita itu? siapa dia?” tanya Jemima setelah melihat wanita lansia yang sangat cantik di depan sana, dia sedang duduk sendirian, melihat kolam ikan koi sambil minum teh. “Wah, dia sangat anggun dan berkharisma.” Lanjut Jemima tampak terkagum-kagum. “Wah! bukankah aromanya bau uang? haha…” goda Alma. Jemima melirik wanita itu dan tertawa bersamaan, “Bibi Alma terbaik.” Pujinya sambil mengacungkan jempol. “Tugasmu menjaganya.” “WAH! benarkah?” “Apa dia baik?” Alma mengangguk, “sangat baik.” Jemima menggeleng kagum, “apa tugasku?” “Apapun yang bisa Kamu lakukan, tugas utama adalah memperhatikan obat, makan dan jam istirahatnya.” Jelas Alma. Jemima mengangguk-angguk, “baiklah aku mengerti Bibi Alma.” “Kamu
Untung saja ada William yang tiba-tiba saja mau bersekutu dengannya, dia yakin kalau Dante dan Jemima akan segera berpisah. Lalu, apakah rencana keduanya akan berhasil? Beberapa minggu berlalu, pasangan Julian dan Jemima tampak semakin romantis. Keduanya sedang dimabuk cinta, dan Julian berpikir jika saatnya dia akan berencana jujur tentang identitasnya pada Jemima. Malam itu Julian berencana makan malam bersama di restoran hotel tempat mereka tinggal selama ini, dia akan membuat Jemima tak bisa melupakan makan malam romantis tersebut. Julian juga berharap kali ini istrinya itu mau mendengarkan penjelasannya tanpa berpikir salah paham, apalagi masih menertawakannya. Siang harinya sebelum rencana makan malam bersama, dia pergi ke butik bersama Victor. Sahabatnya itu sengaja dipaksa agar mau pergi dengannya, meskipun dia tahu sedang rapat penting. “Dante, mereka datang jauh dari luar negeri. Rasanya…”
William mengangguk tegas, “Tentu saja, apa kau mau membantuku?” tantang William. Sepertinya kesempatan ini tak mau dia abaikan begitu saja, balas dendam pada Dante adalah tujuan hidupnya saat ini. Tapi, apakah Sarah mau membantunya?William masih menunggu jawaban dari wanita yang kini duduk di depannya itu, dan baru saja berkenalan secara akrab di hari itu juga.“Tunggu, sebelum aku menjawabnya… lalu status mereka berdua apa sekarang?” tanya Sarah, penasaran.“Suami istri, tapi sepertinya pernikahan mereka hanya pura-pura dan bisa jadi hanya pernikahan kontrak.”“Apa?! Pernikahan kontrak?” tanya Sarah, hampir saja kedua matanya keluar dari rongganya.William mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi kaget yang diperlihatkan Sarah padanya, dia menjaga imej agar tetap terlihat tenang, berwibawa dan dewasa.“Kamu yakin mau merebutnya kembali?” tanya Sarah, dan William menjawab dengan anggukan.
Pria itu menyelesaikan dulu transaksinya, sementara Sarah yang tak terima menahan malu segera pergi dari butik itu sampai-sampai pria yang menolongnya harus mengejarnya.“Sarah Anthony?!”“Tunggu!”Sarah menghentikan langkah kakinya, pria yang membayar belanjaannya tadi ternyata mengenal hingga tahu namanya.“I-i-ini barangmu,” kata pria itu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.Sarah tampak tak bergeming, dia masih menatap bingung ke arah pria itu.“Ah, ya. Kenalin namaku William Maxim,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dengan terlebih dahulu menyimpan barang-barang milik Sarah.Sarah, yang awalnya bingung dan tak mengenali William, terkejut ketika mengetahui identitas pria itu. William, putra keluarga Maxim, adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi luas. Sarah, yang haus balas dendam, melihat peluang dalam pertemuan ini.“Ah, putra keluarga Maxim? Senang bertem
Mobil yang Egan kendarai akhirnya tiba di sebuah klinik praktek dokter pribadi.“Bukannya kita mau ke rumah sakit?” tanya Julian.Egan terbatuk-batuk, dia ingin bicara tapi tidak berani.“Kenapa? Kau sakit juga?” tanya Julian lagi.Egan memandang ke arah Julian, tatapannya seakan menghakimi.“Apa?” tanya Julian malah menantang.“Aduh__” dia mengaduh karena pinggangnya disikut Jemima.“Sakit tau!”Jemima membalas dengan kedua mata yang melebar, nyalinya mendadak ciut sampai-sampai Egan harus menahan tawa karena melihat ekspresi Julian yang lucu. Dia seperti kebanyakan pria lainnya jika sudah ada pawangnya, tak terlintas jika dia adalah seorang Dante Vascos yang terkenal seperti Singa.“Tuan Julian, ayo turun,” ajak Egan dengan gigi gemerutuk menahan kesal. Kesal karena Julian lupa dirinya siapa.“Ayo nona Jemima, kita periksa di dokter Cross.” Jemima mengangguk, lalu turun dan menuruti apa kata Egan. Lagipula dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan dan mengambil banyak waktu Egan
“Aw, kenapa?!” seru Julian karena tiba-tiba saja pinggangnya terasa sakit karena dicubit.“Jangan tidak sopan begitu,” jawab Jemima. "Tuan Victor, nona Sarah. Panggil mereka dengan sopan," sambung Jemima.“Owh,” balas Julian sambil mengangguk-angguk.“Eh tunggu,” sambungnya sambil menatap aneh ke arah Jemima.Jemima membalas dengan isyarat kedua mata.“Ya, maksudku wanita itu sudah mempermalukanmu. Untuk apa kita bersikap sopan, apa kau sudah tidak punya harga diri?” tanya Julian, membuat kedua mata Jemima melebar.Jemima menghela napas. “Julian, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang sopan santun. Kita tidak bisa bersikap kasar kepada orang lain, bahkan jika mereka bersikap buruk kepada kita.”“Tapi dia sudah bersikap kasar!” protes Julian. “Dia bahkan mengejekmu!”“Aku tahu,” jawab Jemima dengan tenang.“Dia juga menjambak dan membenturkan kepalamu,” tambah Julian lagi.“Ya, aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk membalasnya dengan kasar. Kita harus menunjukkan bahwa kita lebih b
Jemima terus berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Sarah kuat. Dia merasakan darah mengalir di pelipisnya. "Kau ingin melihatku menghancurkan gadis ini?!" Sarah menatap orang-orang di sekitarnya dengan mata menyala. "Sarah, hentikan!" Beberapa orang mulai kembali berteriak, "Kau harus berhenti!" "Tidak, aku tidak akan berhenti sampai dia meminta maaf!" Jemima terus berjuang. "Lepaskan!" Jemima memohon, "Lepaskan rambutku!" "Kau harus diajari!" Sarah berteriak, matanya menatap tajam ke arah Jemima. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan muncul dan menarik Sarah dari Jemima. Sarah berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. "Kau tidak boleh melakukan ini," kata pria itu, suaranya tegas. "Pergi, dan urusan kita belum selesa. Ingat itu!”
Jemima semakin bingung. "Saya tidak pernah merusak gaun Anda! Saya bahkan tidak tahu apa yang Anda bicarakan!" “Kejadian semalam adalah murni kecelakaan,” ungkap Jemima. Berusaha membela diri. Sarah mencibir, "Jangan berpura-pura! Aku tahu kau yang melakukannya! Dan aku tidak akan berhenti sebelum kau mengganti gaunku!" Jemima terdiam, jantungnya berdebar kencang. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian semalam seharusnya sudah selesai, hanya antara Sarah, keluarga tunangannya, dan Victor. Tapi Sarah bersikeras bahwa Jemima bersalah. Apa yang harus dilakukan Jemima? Saat Jemima larut dalam lamunan, Sarah tiba-tiba merebut tas miliknya dan menghamburkan isinya ke lantai. Jemima berteriak marah, kesabarannya sudah habis. "Apa anda gila?!" teriaknya. "Kembalikan tasku!" Sarah tertawa sinis sambil merebut kembali tas itu. Suasana semakin ramai, orang-orang mengerumuni mereka, dan seseor
Setiap sudut ruangan kamar hotel itu menjadi saksi bisu betapa menggeloranya hasrat sepasang suami istri itu. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari kamar mandi, keduanya masih bertingkah manis dengan saling mengeringkan tubuh, mengeringkan rambut, hingga memakaikan pakaian untuk mereka kenakan hari itu. Kedua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. “Sayang, aku akan ke atas untuk menemui Victor,” kata Julian sambil merapikan poni Jemima. Wajah Jemima tampak cemas. Julian bisa menebak isi kepalanya, wanita itu pasti mencemaskan kejadian semalam. Julian meraih tubuh Jemima, lalu memeluknya penuh kasih sambil mengelus-elus rambutnya. "Kau yakin tidak apa-apa, Julian? Aku khawatir Victor akan..." Jemima terdiam, kalimatnya terhenti sebelum selesai. "Khawatir apa, sayang?" tanya Julian, matanya menatap dalam ke mata Jemima. Jemima menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa. Cepatlah, aku akan menunggumu di sini." Julian tersenyum, mencium kening Jemima, lalu beranjak pergi. Jemima menatap pu
Jemima terdiam, matanya masih berkaca-kaca. Lagipula apa kata Julian memanglah benar, dalam kesusahan mereka, sempat-sempatnya dia memikirkan seorang anak?Jemima mengusap air matanya, "Aku bahagia, Julian."Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan tubuh dan jiwa mereka yang saling bersatu. Malam itu, di tengah keheningan kamar yang kedap suara, cinta mereka bersemi dengan indah, tetapi di balik keindahan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. ***Keesokan harinya Julian mendapati Jemima sudah tidak ada di sampingnya, dia melihat sekeliling kamar itu, sayup-sayup terdengar percikan air di kamar mandi. Aroma sabun dan tubuh Jemima tercium samar, mengundang hasratnya.Julian segera bangun, dan berjalan menuju kamar mandi. Saat pintu dibuka, terlihat Jemima sedang mandi di dalam sana, dari luar kaca terlihat samar-samar tubuh polos yang sedang berdiri sambil bermain dengan shower air di atasnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi