“Lihatlah, sekumpulan lansia kaya, mereka tak terlihat sakit sama sekali.” Kata Jemima sambil tersenyum lembut. “Tempat yang nyaman juga menyenangkan.” Lanjutnya. “Hm, tentu saja. Tapi, perlu Kamu tahu__” balas Alma sambil menjeda kalimatnya. “Mereka juga sama seperti rakyat jelata, kalau kehidupan mereka baik-baik saja, untuk apa mereka membangun rumah perkumpulan begini.” Lanjut Alma. “Tapi, setidaknya nenekku akan hidup bahagia dan nyaman jika aku memiliki uang banyak.” “Ah, rupanya Kamu memikirkan nyonya Berta.” Sahut Alma. “Ah, lupakan kesedihan. Bibi yakin, nenekmu itu sangat bahagia karena memiliki cucu terbaik sepertimu, Jemima.” Lanjutnya. Jemima tersenyum hambar, bagaimanapun juga dia masih belum puas mengurus neneknya dan jauh dari kata ‘cucu terbaik’ untuk neneknya itu. “Aku tak pantas menyandangnya, banyak hal yang aku sesali.” Gumam Jemima. Alma tersenyum simpul. “Baiklah, Bibi Alma. Jadi apa yang harus aku lakukan di tempat ini?” tanya Jemima tak mau buang-bua
Jemima melirik ke arah yang Alma tunjukkan. “Wanita itu? siapa dia?” tanya Jemima setelah melihat wanita lansia yang sangat cantik di depan sana, dia sedang duduk sendirian, melihat kolam ikan koi sambil minum teh. “Wah, dia sangat anggun dan berkharisma.” Lanjut Jemima tampak terkagum-kagum. “Wah! bukankah aromanya bau uang? haha…” goda Alma. Jemima melirik wanita itu dan tertawa bersamaan, “Bibi Alma terbaik.” Pujinya sambil mengacungkan jempol. “Tugasmu menjaganya.” “WAH! benarkah?” “Apa dia baik?” Alma mengangguk, “sangat baik.” Jemima menggeleng kagum, “apa tugasku?” “Apapun yang bisa Kamu lakukan, tugas utama adalah memperhatikan obat, makan dan jam istirahatnya.” Jelas Alma. Jemima mengangguk-angguk, “baiklah aku mengerti Bibi Alma.” “Kamu
Jemima tersentak kaget, sekaligus menyesali pertanyaannya. “Ah, maaf, Nek.” “Tidak, jangan minta maaf. Sayang,” balas nyonya Valencia. “Katanya dia tinggal di kota Coast Field, semoga saja dia tak menyesali keputusannya.” Sambungnya menjelaskan. Jemima mengangguk mengerti tapi tak mau bertanya lebih dalam lagi, takut nyonya Valencia merasa sedih. Hari itu Jemima menghabiskan waktunya untuk berbincang hal lain dengan nyonya Valencia dan malamnya dia tinggal di rumah Alma. Di kota Spring Brooks, Julian tampak kesal sekaligus khawatir karena Jemima tak kunjung pulang juga, padahal gadis itu sudah berjanji akan setengah hari saja tinggal di kota Applered. “Egan, bisakah melacak keberadaan Jemima?” tanya Julian yang dari tadi menatap keluar. “Tentu saja, ada nomor ponselnya?” jawab Egan.
Julian tak berkutik, kali ini kesabarnnya benar-benar ingin segera meledak. “Sam, Mat, pegangi dia.” Perintah pria itu pada kedua temannya. Pria yang dipanggil Sam dan Mat itu adalah pria yang mengganggu Jemima saat Julian sedang luntang lantung di jalanan perbatasan antara kota Spring Brooks dan Coast Fiel, tentu saja Julian ingat juga dengan pria satunya lagi, yaitu Ian. Setidaknya begitulah Jemima menyebutnya, Julian berjanji akan mencari tahu nama asli mereka. Sam dan Mat mulai berdiri di samping Julian, mereka mengapitnya. Tentu saja bukan masalah besar bagi Julian, dia yakin bisa menumbangkan kedua pria lancang yang mulai memegangi pundak serta tangannya. Ian berjalan mendekat, lalu memungut kacang-kacang yang tadi dilemparkannya ke lantai. “Heh! bukankah tak berdaya? siap untuk makan camilan?” tanya Ian sambil bersiap membuka mulut Julian agar bisa
Egan menatap Mat, karena bisa-bisanya pria itu menyuruhnya bersujud?“Oh, jadi Kau tak peduli kalau seluruh orang yang bernama Egan tidak bisa bekerja di perusahaanku?” tanya Ian.“Ian, aku rasa perusahaan di kota ini bukan hanya perusahaan Maxim saja.” Jawab Egan.“Oh ya? kita lihat saja nanti.” Tantang Ian.“Oh, jadi dia keluarga Maxim?” tanya Julian setelah sekian lama diam.“Betul, pamannya adalah pemilik utama perusahaan Maxim.” Jawab Egan.Ian tampak bangga karena dipikirnya bisa membuat gentar si gelandangan.“Oh, pamannya, aku pikir ayahnya. Bisa-bisanya bangga atas pencapaian orang lain hanya karena menyandang nama yang sama.” Hina Julian.Wajah Ian mendadak merah karena emosi, dia juga sangat tersinggung dengan perkataan orang tersebut.“Cih! dengan percaya dirinya berkata ‘perusahaanku’, tidak tahu malu.” Dengus Julian lagi disertai seringaian mengejek.
“Tentu saja ada masalah.” Sahut Julian.“Ah, benarkah?” tanya Egan tampak bingung, bingung akan kata-kata Dante yang menyesatkan pikirannya.“Ck! tamat riwayatmu dan keluargamu!” jawab Julian.“Kau tidak takut?” tanyanya lagi sambil menatap tajam kedua mata Egan.Egan tampak tegang, tapi dia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, lalu menggeleng, masih bingung, tak paham, tak mengerti dengan maksud perkataan bosnya itu.“Ah, rupanya partnerku ini masih polos sekali. Sudahlah, aku mau istirahat, pergilah.” Usir Julian.Egan semakin bingung apalagi saat dia diusir begitu saja setelah mendapat kalimat-kalimat absurd, “tapi, apa Tuan mau istirahat disini?” tanyanya.“Hm, menunggu Jemima.” Jawab Julian.“Oh, baiklah, selamat malam__”“Hump! pergilah, istirahat sana.” Potong Julian mengusir.“Oh, baik.” Balas Egan, namun tanpa sepengetahuan Julian, Ega
“Hey, ada apa denganmu? are you okay, Dude? calm down.” “NO! pergilah, kalau Kamu mau pergi.” Jawab Julian, terlihat marah. “Hey, apa karena aku mau pergi? ayolah Julian, aku hanya ingin bekerja, bukan meninggalkanmu selamanya.” Balas Jemima. “Apa Kamu ingat? misiku?” lanjutnya bertanya. Julian diam, merajuk seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ibunya. “Misiku belum berubah, cari rumah baru untuk kita sambil melunasi hutangku.” Emosi Julian mulai reda, dia tak mau terus egois jika tidak ingin ditinggalkan oleh gadis itu. “Maaf, Jemi. Aku tidak memiliki siapapun sekarang, kecuali Kamu.” Katanya. “Sikapku mungkin keterlaluan.” Lanjutnya. Jemima tersenyum lembut, lalu memeluk Julian penuh kasih seperti memeluk anak kecil, mengusap-usap punggung pria itu karena tinggi badannya tak sepantar dengannya, jadi dia tak bisa mengelus rambut kepala pria besar itu. “Kenapa? apa hubunganmu dengan Victor tak berjalan mulus?” tanya Jemima. Julian menghela napas, Jemima benar-benar suk
Julian tak terlihat peduli sama sekali, Jemima tak menyerah, dia melanjutkan penjelasannya agar pria itu mengerti. “Oh ya, tapi asal Kamu tahu, meskipun dia gagal jadi ibu tiriku, dia tetap menganggapku seperti putrinya. Banyak uang yang dia berikan untukku, banyak uang juga yang dia berikan untuk ayahku, padahal itu uang hasil jerih payahnya seumur hidup.” Sambung Jemima. “Baiklah, maaf. Aku pikir… hanya aku yang dekat denganmu, tak menyangka masih ada orang lain.” Balas Julian. “Tentu saja, lagipula kita tidak saling kenal dari kecil. Butuh penyesuaian untuk kita saling berbagi cerita.” Jawab Jemima. “Lalu, apa pekerjaanmu disana?” “Menjaga orang tua.” “Oh ya? Kamu suka dengan pekerjaan itu?” Jemima mengangguk. “Kalau Kamu bisa jadi karyawan tetap di hotel ini, apa bisa kamu batalkan pekerjaan disana?” tanya Julian, masih belum pantang menyerah dan berharap kalau Jemima tergiur dengan tawarannya. Jemima menggeleng. “Hah? Kenapa?” Jemima menatap lekat wajah Julian, dia har