Mendengar itu, Victor, Tommy bahkan Eddie yang kini sedang melihat kejadian itu ikut memandang ke arah orang-orang yang Julian tunjuk. “Habislah mereka.” Gumam Eddie dan Tommy ikut ngangguk-ngangguk. “Katanya siapapun yang berani menyinggung tuan Dante, keluarganya juga bisa lenyap.” Lanjutnya masih berbisik. “Ya, menurut rumor sih begitu. Tapi aku belum yakin,” balas Tommy. “Hump!” gumam Eddie. “Buktinya, Anda dilepaskan begitu saja.” Sambung Tommy membuat Eddie merasa malu sendiri. Keduanya kembali memperhatikan Victor, terdengar Julian kembali berbicara. “Mereka hanya orang-orang rendahan, Victor. Bekerja menjaga pintu untuk menyambut para tamu saja sudah sangat arogan.” “Ah… tapi entah kenapa aku merasa tak kecewa apalagi sakit hati dengan perlakuan mereka. Karena begitulah sifat manusia, hanya saja… tolong Kau perbaiki a
Peter tertegun linglung.“Karena… siapa tahu dia adalah orang yang Anda inginkan untuk bertemu.” Sambung Victor lagi.Peter menghela napas berat sambil melihat ke arah para bodyguardnya yang serentak menundukkan kepalanya.“Urus mereka, tuan Dante tak mau melihat perlakuan begini lagi.” Kata Victor sambil bersiap pergi.“Eh, Tuan. Pestanya?”“Itu ‘kan pesta Anda, terserah Anda mau bagaimana.” Jawab Victor dan kini benar-benar pergi meninggalkan Peter yang putus asa.***Julian keluar dari dalam lift, terlihat dari jauh Jemima tampak cemas hingga akhirnya tersenyum ceria saat melihat kedatangannya.“Hey! itu kan lift__”“Ah, salah naik.” Potong Julian segera mengelak.“Hm, Kamu ya, hati-hati.” Balas Jemima dengan mimik kesal.“Kalau tuan Diego lihat, habislah kita.” Lanjutnya.“Hm.”Lift terdengar terbuka dan Tommy keluar, pria itu ingin mengejar Julian tapi langkahnya segera terhenti saat tahu pria itu kini sedang mengobrol dengan Jemima. Tak lama kemudian, Eddie dan dua pegawainya ju
Jemima menatap lekat ke arah Julian, gadis itu tampak mengasihinya. Lalu tangannya mengusap rambut kepala Julian, seperti mengusap anak kecil yang sedang bersedih.“Aku janji, aku akan secepatnya mencari tempat juga pekerjaan baru.” Katanya.Julian terkejut, “hah?! pekerjaan baru?”Jemima mengangguk, “ya. Jadi… tolong bersabarlah, ya.” Pintanya dan sekarang satu tangannya itu berpindah posisi, menepuk-nepuk pundak Julian.“Kenapa?” tanya Julian.“Hm?” balas Jemima.“Kenapa harus mencari kerja lain? apa disini tidak baik?” tanya Julian lagi.Wajah mungil cantik itu tersenyum lembut dengan tatapan mata genit, terlihat sangat menarik, hingga dada Julian berdebar-debar.“Ayolah… aku hanyalah pekerja magang, jadi aku bisa mencari pekerjaan tambahan lainnya. Apalagi sekarang aku memiliki misi lain,” jelas Jemima.Julian tampak bingung, “misi?”“Ya, mi
Julian menatap penuh tanda tanya. “Kamu pikir, aku bohong?” tanya Julian. Jemima menggeleng-geleng, “eh, ini kan kamar tamu hotel.” “Iya, memangnya Kamu berharap kamar presidential?” balas Julian. “Ayolah… bukan begitu… maksudku__” “Ah, masuk saja. Aku benar-benar mengantuk,” potong Julian sambil melengos pergi dan segera duduk di sofa. Melihat sikap Julian yang tampak lelah, akhirnya Jemima hanya bisa mengikuti pria itu masuk kedalam. Matanya amat berbinar senang, dia tak menyangka akan diberi fasilitas sebagus ini. “Maaf, ranjangnya cuma ada satu.” Kata Julian. Jemima mengangguk tak peduli, pandangannya masih terpukau dengan kamar tersebut. “Terima saja, namanya juga numpang.” Kata Julian lagi. “Eh, Kamu anggap aku apa?” tanya Jemima, tatapan genitnya mulai datang lagi.
“Tidak bisakah Kau melayani dengan baik, siapapun tamu di hotel ini? tidak bisakah Kau diam tak menggangguku?!” tiba-tiba saja Julian berteriak di depan wajah Roberto yang sedari awal seakan mengajaknya adu jotos.Beberapa tamu yang kebetulan berada di Lobby Hotel itu terlihat penasaran dengan apa yang terjadi, tak hanya itu saja, beberapa petugas penjaga pintu masuk pun segera berlarian ke arah keributan tersebut.“Ada apa? sudah malam, bisa mengganggu tamu lain.” Tanya salah seorang petugas.“Usir langsung, seret dia keluar, Roberto!” seru petugas satunya lagi, tampak emosi.“Ya, memang seharusnya aku lakukan sedari tadi.” Balas Roberto, lalu menarik kerah Julian hingga tubuhnya pun tertarik beberapa langkah jika saja Julian tak segera menghentikannya.BRUAK!ARGH!AH!Suara tubuh jatuh bersamaan erangan kesakitan itu terdengar menggema di gedung Lobby yang megah tersebut. Belum selesai di sana, para penjaga yang merudung Julian terdengar ikut berteriak karena terkejut dengan kejadi
Julian mengedikkan kedua bahunya, tak acuh, tak peduli, malas, tak ingin diganggu. Tampaknya dia sedang dalam mood yang tak karuan saat ini.“Hey! kenapa mengacuhkanku? apa Kau mengenalnya?” tanya pria bernama Montana tadi, pria kedua yang bersikap kasar pada Julian selain Roberto.Julian menghela napas sesak, lalu menjentikkan jarinya ke arah Eddie.“Cih! pria gila!” dengus Montana.Eddie terlihat kikuk dan segera berlari kecil ke arah Julian.“Tuan Eddie? mengenalnya?” tanya Montana.Eddie diam mematung, tak percaya kini dia sedekat itu dengan pria nomor satu di negara Interlan. Rasanya seperti mimpi, bahkan setelah bertemu dengan Victor rasa bangganya belum hilang, apalagi sekarang bertemu dengan Dante.“Piuh! tuan Eddie saja diam begini, Kau benar-benar gila__”“Jangan mencacinya lagi, kalau Kau masih ingin hidup.” Potong Eddie, lalu melirik dengan lirikan maut.Mendengar perkataan itu keluar dari mulut Eddie, yang sejatinya masih menjadi orang kaya yang dihormati, Montana menjadi
Si Jenius tampak maju, dia terlihat gugup saat berhadapan dengan Julian, berkali-kali pria itu membenarkan posisi kacamatanya yang baik-baik saja untuk menutupi kecemasannya tersebut.“Aku saja, aku panggil Diego.” Katanya mengajukan diri dengan penuh percaya diri.Eddie tentu saja tak bisa menerima kelancangan bawahannya itu.“EKHEM!”Deheman itu tak membuat gentar niat si Jenius untuk membantu Dante.“Yeah! aku menyukaimu, Kawan.” Kata Julian.“Tapi… tidak perlu, diam saja dulu.” Lanjutnya.“Begini? apa tidak masalah?” tanya si Jenius sambil melihat kegaduhan di sekeliling Lobby Hotel.“EKHEM! maaf anak buah saya sangat lancang, Tu__”Julian mengangkat tangannya, “tidak masalah.” potongnya.“Ah… panggil ambulan dulu.” Lanjutnya, entah memerintah pada siapa. Yang jelas si Jenius segera mengangkat ponselnya dan memanggil 911.Lagi-lagi Eddie tampak kesal karena tingkah bawahannya itu telah melangkahinya.Montana dan yang lainnya tampak tak bisa berkutik karena seorang Eddie Franklin a
Wajah Diego tampak senang, di tangannya dia main-mainkan kunci mobil sport mahalnya. Sayangnya senyuman sumringah itu segera terhenti saat di depannya ada beberapa pria serentak melihat ke arahnya. “Tuan, lihatlah. Ada orang gila yang ingin naik lift ini.” Kata Montana segera mengadu. “Ah, kenapa dia?” tanya Diego yang tertarik pada tubuh yang masih terbujur di lantai tersebut. “Lihatlah, ini ulah orang gila itu!” adu Montana lagi sambil menunjuk ke arah Julian. Diego tampak sedikit malu. “Ow! bergaya sekali. Mau meninggalkan tugas hotel seenak jidat? memangnya ini Hotel nenek moyangmu?” sindir Julian. Montana segera terdiam, tak mungkin dia orang biasa kalau berani bicara kasar pada Diego. Diego mendekat, tampak siap mau diapain juga, pria itu benar-benar pasrah apalagi sudah tertangkap basah akan bepergian keluar, berhubung saat ini dia sedang dihukum atas kelancangannya terhadap Dante dua hari ini. “Maafkan saya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Diego, tampak s
Untung saja ada William yang tiba-tiba saja mau bersekutu dengannya, dia yakin kalau Dante dan Jemima akan segera berpisah. Lalu, apakah rencana keduanya akan berhasil? Beberapa minggu berlalu, pasangan Julian dan Jemima tampak semakin romantis. Keduanya sedang dimabuk cinta, dan Julian berpikir jika saatnya dia akan berencana jujur tentang identitasnya pada Jemima. Malam itu Julian berencana makan malam bersama di restoran hotel tempat mereka tinggal selama ini, dia akan membuat Jemima tak bisa melupakan makan malam romantis tersebut. Julian juga berharap kali ini istrinya itu mau mendengarkan penjelasannya tanpa berpikir salah paham, apalagi masih menertawakannya. Siang harinya sebelum rencana makan malam bersama, dia pergi ke butik bersama Victor. Sahabatnya itu sengaja dipaksa agar mau pergi dengannya, meskipun dia tahu sedang rapat penting. “Dante, mereka datang jauh dari luar negeri. Rasanya…”
William mengangguk tegas, “Tentu saja, apa kau mau membantuku?” tantang William. Sepertinya kesempatan ini tak mau dia abaikan begitu saja, balas dendam pada Dante adalah tujuan hidupnya saat ini. Tapi, apakah Sarah mau membantunya?William masih menunggu jawaban dari wanita yang kini duduk di depannya itu, dan baru saja berkenalan secara akrab di hari itu juga.“Tunggu, sebelum aku menjawabnya… lalu status mereka berdua apa sekarang?” tanya Sarah, penasaran.“Suami istri, tapi sepertinya pernikahan mereka hanya pura-pura dan bisa jadi hanya pernikahan kontrak.”“Apa?! Pernikahan kontrak?” tanya Sarah, hampir saja kedua matanya keluar dari rongganya.William mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi kaget yang diperlihatkan Sarah padanya, dia menjaga imej agar tetap terlihat tenang, berwibawa dan dewasa.“Kamu yakin mau merebutnya kembali?” tanya Sarah, dan William menjawab dengan anggukan.
Pria itu menyelesaikan dulu transaksinya, sementara Sarah yang tak terima menahan malu segera pergi dari butik itu sampai-sampai pria yang menolongnya harus mengejarnya.“Sarah Anthony?!”“Tunggu!”Sarah menghentikan langkah kakinya, pria yang membayar belanjaannya tadi ternyata mengenal hingga tahu namanya.“I-i-ini barangmu,” kata pria itu dengan nafas sedikit ngos-ngosan.Sarah tampak tak bergeming, dia masih menatap bingung ke arah pria itu.“Ah, ya. Kenalin namaku William Maxim,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dengan terlebih dahulu menyimpan barang-barang milik Sarah.Sarah, yang awalnya bingung dan tak mengenali William, terkejut ketika mengetahui identitas pria itu. William, putra keluarga Maxim, adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi luas. Sarah, yang haus balas dendam, melihat peluang dalam pertemuan ini.“Ah, putra keluarga Maxim? Senang bertem
Mobil yang Egan kendarai akhirnya tiba di sebuah klinik praktek dokter pribadi.“Bukannya kita mau ke rumah sakit?” tanya Julian.Egan terbatuk-batuk, dia ingin bicara tapi tidak berani.“Kenapa? Kau sakit juga?” tanya Julian lagi.Egan memandang ke arah Julian, tatapannya seakan menghakimi.“Apa?” tanya Julian malah menantang.“Aduh__” dia mengaduh karena pinggangnya disikut Jemima.“Sakit tau!”Jemima membalas dengan kedua mata yang melebar, nyalinya mendadak ciut sampai-sampai Egan harus menahan tawa karena melihat ekspresi Julian yang lucu. Dia seperti kebanyakan pria lainnya jika sudah ada pawangnya, tak terlintas jika dia adalah seorang Dante Vascos yang terkenal seperti Singa.“Tuan Julian, ayo turun,” ajak Egan dengan gigi gemerutuk menahan kesal. Kesal karena Julian lupa dirinya siapa.“Ayo nona Jemima, kita periksa di dokter Cross.” Jemima mengangguk, lalu turun dan menuruti apa kata Egan. Lagipula dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan dan mengambil banyak waktu Egan
“Aw, kenapa?!” seru Julian karena tiba-tiba saja pinggangnya terasa sakit karena dicubit.“Jangan tidak sopan begitu,” jawab Jemima. "Tuan Victor, nona Sarah. Panggil mereka dengan sopan," sambung Jemima.“Owh,” balas Julian sambil mengangguk-angguk.“Eh tunggu,” sambungnya sambil menatap aneh ke arah Jemima.Jemima membalas dengan isyarat kedua mata.“Ya, maksudku wanita itu sudah mempermalukanmu. Untuk apa kita bersikap sopan, apa kau sudah tidak punya harga diri?” tanya Julian, membuat kedua mata Jemima melebar.Jemima menghela napas. “Julian, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang sopan santun. Kita tidak bisa bersikap kasar kepada orang lain, bahkan jika mereka bersikap buruk kepada kita.”“Tapi dia sudah bersikap kasar!” protes Julian. “Dia bahkan mengejekmu!”“Aku tahu,” jawab Jemima dengan tenang.“Dia juga menjambak dan membenturkan kepalamu,” tambah Julian lagi.“Ya, aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk membalasnya dengan kasar. Kita harus menunjukkan bahwa kita lebih b
Jemima terus berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Sarah kuat. Dia merasakan darah mengalir di pelipisnya. "Kau ingin melihatku menghancurkan gadis ini?!" Sarah menatap orang-orang di sekitarnya dengan mata menyala. "Sarah, hentikan!" Beberapa orang mulai kembali berteriak, "Kau harus berhenti!" "Tidak, aku tidak akan berhenti sampai dia meminta maaf!" Jemima terus berjuang. "Lepaskan!" Jemima memohon, "Lepaskan rambutku!" "Kau harus diajari!" Sarah berteriak, matanya menatap tajam ke arah Jemima. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan muncul dan menarik Sarah dari Jemima. Sarah berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. "Kau tidak boleh melakukan ini," kata pria itu, suaranya tegas. "Pergi, dan urusan kita belum selesa. Ingat itu!”
Jemima semakin bingung. "Saya tidak pernah merusak gaun Anda! Saya bahkan tidak tahu apa yang Anda bicarakan!" “Kejadian semalam adalah murni kecelakaan,” ungkap Jemima. Berusaha membela diri. Sarah mencibir, "Jangan berpura-pura! Aku tahu kau yang melakukannya! Dan aku tidak akan berhenti sebelum kau mengganti gaunku!" Jemima terdiam, jantungnya berdebar kencang. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian semalam seharusnya sudah selesai, hanya antara Sarah, keluarga tunangannya, dan Victor. Tapi Sarah bersikeras bahwa Jemima bersalah. Apa yang harus dilakukan Jemima? Saat Jemima larut dalam lamunan, Sarah tiba-tiba merebut tas miliknya dan menghamburkan isinya ke lantai. Jemima berteriak marah, kesabarannya sudah habis. "Apa anda gila?!" teriaknya. "Kembalikan tasku!" Sarah tertawa sinis sambil merebut kembali tas itu. Suasana semakin ramai, orang-orang mengerumuni mereka, dan seseor
Setiap sudut ruangan kamar hotel itu menjadi saksi bisu betapa menggeloranya hasrat sepasang suami istri itu. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari kamar mandi, keduanya masih bertingkah manis dengan saling mengeringkan tubuh, mengeringkan rambut, hingga memakaikan pakaian untuk mereka kenakan hari itu. Kedua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. “Sayang, aku akan ke atas untuk menemui Victor,” kata Julian sambil merapikan poni Jemima. Wajah Jemima tampak cemas. Julian bisa menebak isi kepalanya, wanita itu pasti mencemaskan kejadian semalam. Julian meraih tubuh Jemima, lalu memeluknya penuh kasih sambil mengelus-elus rambutnya. "Kau yakin tidak apa-apa, Julian? Aku khawatir Victor akan..." Jemima terdiam, kalimatnya terhenti sebelum selesai. "Khawatir apa, sayang?" tanya Julian, matanya menatap dalam ke mata Jemima. Jemima menggeleng, "Tidak, tidak apa-apa. Cepatlah, aku akan menunggumu di sini." Julian tersenyum, mencium kening Jemima, lalu beranjak pergi. Jemima menatap pu
Jemima terdiam, matanya masih berkaca-kaca. Lagipula apa kata Julian memanglah benar, dalam kesusahan mereka, sempat-sempatnya dia memikirkan seorang anak?Jemima mengusap air matanya, "Aku bahagia, Julian."Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan tubuh dan jiwa mereka yang saling bersatu. Malam itu, di tengah keheningan kamar yang kedap suara, cinta mereka bersemi dengan indah, tetapi di balik keindahan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. ***Keesokan harinya Julian mendapati Jemima sudah tidak ada di sampingnya, dia melihat sekeliling kamar itu, sayup-sayup terdengar percikan air di kamar mandi. Aroma sabun dan tubuh Jemima tercium samar, mengundang hasratnya.Julian segera bangun, dan berjalan menuju kamar mandi. Saat pintu dibuka, terlihat Jemima sedang mandi di dalam sana, dari luar kaca terlihat samar-samar tubuh polos yang sedang berdiri sambil bermain dengan shower air di atasnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi