Tak lama, Lelaki yang kusebut namanya menyembul dari baik pintu. Tanpa basa basi aku mendorongnya kasar hingga dia terhuyung hampir jatuh. “Apa maksudmu memperlakukan Ela seperti ini? Kamu bilang dia lagi shopping, tapi nyatanya enggak!” teriakku sembari menatap nyalang pada Rizal. Sama sekali aku tak bisa bersikap sopan pada mantan kekasih yang kini menjadi adik iparku itu. Kesalahannya teramat fatal, karena telah menjadikan Ela sebagai sapi perah. Lelaki itu wajahnya berubah pias. Pandangan tertunduk. Namun, tak terdengar dia menyahut. “Jawab, Zal!” Aku kembali membentak. Sebagai sesama perempuan, aku tak rela adikku diperlakukan seperti ini. Bukankah kewajiban mencari nafkah ada pada suami? Rizal sedikit mengangkat wajah meski masih tak berani menatapku. “Maaf, Ve! Ini terpaksa,” Apa? Terpaksa? Apa enggak salah dengar? Bagaimana bisa dia bilang terpaksa? “Terpaksa bagaimana? Jangan mengada-ngada kamu!” Sama sekali aku tak memberi ruang pada Rizal untuk berkilah. Mungkin ma
Mobil yang kami kendarai berhenti di depan sebuah bangunan dengan pagar tembok yang menjuang. Seorang satpam membuka pintu gerbang dan mempersilakan kami masuk. Mungkin tadi Bapak sudah memberitahu kalau kami akan datang, atau memang si satpam hafal mobil Mas Farhan. Perlahan, Mas Farhan kembali melajukan mobil, dan berhenti di halaman rumah. Kami semua turun, lalu bersama-sama mendekati pintu. Sebelum sempat mengetuk pintu, seorang lelaki yang wajahnya mirip denganku menyembul, kemudian melempar senyum ke arahku dan Mas Farhan, lalu berganti menatap tak suka pada Rizal dan Ela. “Langsung masuk, Ve! Ibu sudah nunggu kamu,” ajak Bapak lalu berbalik dan melangkah.Lalu, aku mengajak rombongan kami mengekori pak Herman. Kami melintasi ruang tamu dan masuk semakin dalam. Sampai akhirnya berhenti di depan sebuah kamar. Pak Herman membuka pintu dan mempersilakan kami masuk. Pandanganku langsung tertuju pada Bu Lili yang terbaring lemah. Buru-buru aku menghampiri dan langsung meraih tang
Sejenak aku dan Hana saling tatap. Dia semakin memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadapku. Entah apa yang jadi alasannya, tapi yang jelas, dia seperti membenciku. Sebentar kemudian Bu Lili berdehem. Sepertinya dia mencium aroma pertengkaran antara aku dan keponakannya. “Ve, istirahat dulu sana. Kamarmu masih yang biasa. Ajak adikmu juga. Setelah itu ada yang mau Ibu bicarakan,” ucap Bu Lili. Aku mengangguk. Lalu mengajak semuanya beranjak, meninggalkan Hana dan Bu Lili. Langkah kami terhenti di depan sebuah kamar. Bapak membuka pintu lalu menoleh pada Ela dan Rizal. “Ini kamar kalian,” ucap Bapak. “Terima kasih, Pak! Maaf merepotkan,” sahut Ela. Meski terlihat sungkan, Akhirnya Ela dan Rizal masuk ke kamar, sedangkan kami menuju kamar sebelah. “Istirahat dulu, Ve. Satu jam lagi kami tunggu di ruang tengah,” ucap Bapak. Aku mengernyit sembari menerka apa yang ingin mereka bicarakan. Namun, sama sekali tak terlintas apa pun di pikiranku. “Memangnya bicara apa, Pak?” tanyaku
Rupanya di ruang tengah, Bapak, Ibu dan Hana sudah berkumpul. Entah apa yang ingin Ibu bicarakan sampai harus kumpul begini segala. “Duduk, Ve!” Ibu melempar senyum. Aku menurut. Gegas kuletakkan bokong di atas sofa berseberangan dengan mereka bertiga. Sedangkan Mas Farhan duduk di sebelahku.Sebentar aku mengedarkan pandangan pada mereka bertiga. Lalu menatap vas bunga yang tergeletak di atas meja. “Kamu tahu kenapa Ibu mengajakmu bicara?” tanya Bu Lili. Aku menoleh lalu menggeleng pelan. “Enggak, Bu! Memangnya ada apa?” Perempuan yang wajahnya masih pucat itu kembali melempar senyum. Sebenarnya aku kasihan, sepertinya dia memaksakan diri duduk di sini, padahal jika sekedar ingin bicara kan bisa sambil berbaring di ranjang. “Begini, Ve!” Ibu menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan, “Ibu sudah tua dan sering sakit-sakitan. Sepertinya repot kalau harus mengurus semua usaha. Ibu ingin tenang saja menikmati masa tua.” Aku mengernyit sembari menatap lekat pada wajah pe
“Jadi bagaimana, Ve?” tanya Bu Lili. Aku menoleh pada Mas Farhan yang duduk di sebelahku, berharap dia yang memberi jawaban. Namun, suamiku malah seperti melamun. “Bagaimana, Mas?” Aku menepuk lutut Mas Farhan. Dia tergagap, seperti kaget oleh suaraku. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Di sini kita sedang bicara serius, malah Mas Farhan melamun. “Ve ..., Han, kalian mau kan meneruskan usaha kami?” Bu Lili mengulang pertanyaan. Mas Farhan menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Sepertinya dia tengah memikirkan beban yang berat. “Bagaimana ya, Bu. Kami juga sedang merintis usaha. Jadi agak susah kalau meneruskan usaha Bapak dan Ibu,” sahut Mas Farhan lirih. Sama sekali tak terlihat Mas Farhan berambisi dengan tawaran mereka. Aku benar-benar bangga memiliki suami seperti dia. Di saat yang lain saling berebut warisan, dia justru seperti enggan. “Jadi kalian menolak?” Bu Lili memasang wajah sedih. “Bukan begitu, Bu! Hanya saja kami sedang merintis usaha, jadi kh
Setelah insiden dengan Hana, aku masih berdiam diri di kamar. Pun Mas Farhan yang juga menemani. Dia terus membujuk agar aku tak terbaka cemburu. “Perempuan mana yang tak cemburu jika ada yang berusaha mendekati suaminya?” Aku menengadahkan wajah, menatap sedih pada Mas Farhan yang duduk di sebelahku. “Yang penting kan aku enggak meladeni,” kilah Mas Farhan. Benar. Hari ini memang belum. Tapi bagaimana jika suatu saat nanti Hana berhasil merebut hati Mas Farhan?“Kamu yakin enggak tertarik dengan Hana?” tanyaku. Dia tersenyum. “Jangankan gadis memalukan seperti Hana. Bidadari saja tak sanggup menggantikan posisimu di hatiku.” Jika saja suasana hati sedang baik, sudah pasti kalimatnya akan membuat jiwa melambung tinggi. Sayangnya, ketakutan tengah mendera. Aku khawatir Mas Farhan khilaf, seperti halnya Rizal yang luluh oleh adikku sendiri.“Tapi aku benar-benar takut kamu tergoda, Mas!” lirihku. Entah kenapa bayangan saat Rizal mengkhianati kembali menoreh luka. Aku tak ingin kec
Selepas dhuhur Mas Farhan mengajakku kembali ke rumah Bu Lili. Mungkin dia tak nyaman berada di sini, di antara orang-orang yang tak jelas. Ya. keluarga ini memang memiliki masa lalu yang tak baik. Semua pernah melakukan kesalahan yang menurutku fatal. Namun, sama sekali aku tak menyimpan dendam. Biar bagaimanapun mereka berhak mendapat kesempatan untuk berubah. “Aku balik dulu, La!” Aku bangkit berdiri lalu menyalami adikku yang kecantikannya memudar terimpit beban. “Kenapa enggak menginap di sini saja?” tanyanya. “Enggak, La! Kasihan Bu Lili. Dia masih sakit, jadi harus ada yang mengurus,” jelasku. Lalu, aku membuka dompet, mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkan di tangan Ela. “Ini buat apa, Mbak?” Ela mengernyit. “Buat pegangan kamu, La. Sekalian beli baju ganti. Kan kamu enggak bawa apa-apa,” jelasku. Kristal bening mulai menggenang di mata Ela, tapi tak sampai jatuh. Mungkin dia terharu oleh sikapku yang masih tetap baik padanya. “Terima kasih, Mbak!” ucap E
Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha mengontrol emosi. Mas Farhan benar. Tak ada gunanya meladeni mereka. Lalu, Mas Farhan menarikku masuk. Meski sebenarnya ingin membalas ucapan mereka, terpaksa kuikuti langkah suami. Kami menerobos mereka yang masih berdiri di depan pintu. Sampai di dalam, aku langsung masuk ke kamar Bu Lili. Rupanya dia sedang duduk di tepian ranjang sembari mengobrol dengan Bapak yang duduk di kursi tak jauh darinya. “Sudah pulang, Ve?” tanya Bu Lili sembari melempar senyum ke arah kami. “Sudah, Bu!” Aku balas senyum. Lalu, kami mendekat, meraih punggung tangannya dan mencium takdim bergantian. “Duduk sini!” Bu Lili menepuk tempat kosong di sebelahnya. Aku menurut. Duduk di sebelah Bu Lili sedangkan Mas Farhan di sofa bersebelahan dengan Bapak. “Itu yang bukain kamu pintu Ibunya Hana,” celetuk Bu Lili. “Iya, Bu!” jawabku malas. Mengingat perempuan itu, darahku kembali mendidih. Ucapannya masih membekas walau mungkin dia tak sadar telah membuatku marah.
****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak
“Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran
Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah
Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela
*** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te
Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.
Mas Farhan kembali menolak, tapi aku terus memaksa. Bahkan, aku sendiri yang menghidupkan mesin mobil meski pada akhirnya Mas Farhan yang mengemudi. Tak butuh waktu lama kami telah sampai di halaman rumah Ibu. Gegas aku turun lalu berteriak menyebut nama adik iparku. “Rizal! Keluar kau!” teriakku kencang. Sudah tidak terkontrol lagi emosi di kepala. Gara-gara Rizal yang merayu, rumah tanggaku terancam hancur. Tanpa permisi aku langsung membuka pintu. Rupanya Ela sudah ada di depan pintu. “Astaghfirulloh, Mbak! Bikin kaget saja. Ada apa?” tanya Ela. “Mana suamimu?” “Enggak tahu, Mbak, memang kenapa?” tanya Ela dengan wajah heran. “Gara-gara dia Mas Farhan jadi marah denganku,” ucapku sembari menoleh pada suami yang telah berdiri di sebelahku. “Ngomong yang jelas dong, Mbak! Kita bicara sambil duduk,” ajaknya. Tepat saat hendak berpindah ke kursi ruang tamu, dari arah dalam Ibu datang mendekat. Dia tampak bingung melihatku yang tanpa senyum. “Ada apa, Ve? Kamu kenapa?” tanya
“Tak ada salahnya mereka ikut bicara, Ve! Toh maksudnya baik,” ucap Mas Farhan dengan nada suara terkesan menyudutkan. Aku terperangah mendengar kalimat suamiku. Sama sekali tak menduga dia akan termakan omong kosong itu. Sementara Hana dan ibunya tersenyum penuh kemenangan. Seharusnya Mas Farhan lebih mempercayaiku yang notabene istrinya, tapi kenapa malah lebih mendengar bualan Hana? “Baik dari mananya, Mas? Yang mereka katakan itu fitnah! Mereka ingin menghancurkan kita!” elakku sembari mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Di sini aku mulai yakin Hana dan ibunya sengaja menghasut Mas Farhan. Mungkin karena sakit hati tak mendapat warisan dari Bu Lili. “Fitnah bagaimana? Bukankah kamu mengakui Rizal kemari dan kalian saling berpegangan tangan?” cecar Mas Farhan. “Iya! Tapi dia yang meraih tanganku dan kutepis. Bukan berpegangan mesra seperti yang mereka katakan!” Sudahlah, Ve! Aku capek!” ketus Mas Farhan. Lalu, dia bangkit berdiri dan beranjak masuk. Aku benar-bena
*** Aku membuka mata saat sayup terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Rupanya tadi aku ketiduran. Buru-buru aku bangkit berdiri lalu beranjak ke luar. Benar dugaanku. Ternyata Bapak dan Mas Farhan telah kembali. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Keduanya mendekat ke arahku. Lalu, aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangan mereka. Ini salah satu caraku menunjukkan bakti, baik pada orang tua ataupun suami. “Mau aku bikinkan kopi, Mas?” tawarku. “Boleh.” Mas Farhan melempar senyum. “Bapak mau juga?” “Enggak usah. Bapak mau istirahat dulu,” Kemudian, kami sama-sama masuk ke dalam rumah. Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu, Bapak langsung beranjak ke kamar, sedangkan aku ke dapur. Tak lama, aku telah kembali dengan secangkir kopi di tangan. Kuletakkan di meja depan Mas Farhan lalu aku duduk di sebelahnya. “Ini, Mas!” ucapku.Sementara Mas Farhan menyeruput kopi, aku sibuk memandangi wajahnya. Bulir keringat yang masih menempel di pelipis membuat