Suara motor dan mobil bersahutan, deruman gas dan decitan ban memekikkan telinga malam ini.Waldi yang memakai jaket kulit warna hitam dan celana jeans biru tua nampak siap menanti lawannya.Tak sendiri, namun ada Ibrahim dan Resa yang menemani dan beberapa anak buah berjaga di belakang gedung. Mereka sudah mengantisipasi, akan rencana jahat Davon.Sebenarnya timbul rasa khawatir tadi di benak Waldi saat meninggalkan Karmila di kamar mereka.Padahal dulu – dulu tidak demikian, mau malam ataupun subuh ditinggalkannya rumah dengan Karmila yang tidur sendiri di kamar belakang.Mungkin dulu rasa dan hasrat belum ada.Bila demikian, sungguhlah cinta mampu merubah seseorang seperti kata para pujangga dalam sajak – sajak cinta.Diciuminya tadi Karmila berulang – ulang bahkan masih sempat menyesap bibir mungil itu.“Perginya jangan lama,” ucap Karmila tadi sambil memperbaiki kerah jaket Waldi.“Iya.” Singkat saja jawaban Waldi.“jangan terluka lagi,” Karmila memegang kedua tangan suaminya lal
Betapa terkejut Waldi saat membuka pintu rumah dua lantai itu, hanya kegelapan saja. Bahkan lampu dapur pun sudah dimatikan. Namun lampu di ruang kerjanya menyala. Waldi melangkah cepat keatas namun penuh dengan perhitungan. Benar – benar takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Karmila. Dan...“Kamu sudah pulang?” ada mama Ranti yang baru saja selesai menerima telepon dari orang kepercayaannya.Jantung Waldi serasa mau copot, lega dan bersyukur ada mamanya datang, itu berarti Karmila dalam keadaan aman dan baik – baik saja.Tak menjawab pertanyaan mamanya, Waldi luruh terduduk, meremas rambut cepaknya.Darah menetes dari buku jarinya, memar di pelipis dan celana yang sobek akibat perkelahian tadi tak diperdulikannya.Diam dan heran dengan diri Dan perasaannya sendiri.Sampai kapan akan begini terus. Hanya karna harta harus melewati jalan pahit seperti ini, dipaksa dewasa oleh keadaan, ya dia harus dewasa sebelum waktunya, demi menjaga harta orang tuanya. Sedangkan dulu – dulu
"Bagaimana keadaan Resa?” Waldi menanyakan kabar anak buahnya itu pada Ibrahim dan Murat yang baru tiba. Mereka berada di ruang kerja Waldi, membahas tentang peristiwa kemarin malam.“Dia sementara masih ditahan Bos, namun tetap tak mengaku mengapa mengkhianati kita.” Lapor Murat yang tadi bertemu langsung dengan Resa di kantor polisi.“Entah ada dendam apa dia dengan kita, bukankah selama ini pengobatan ibunya ditanggung Bos?, namun mengapa dia tergiur dengan tawaran Davon yang hanya menjadikannya kambing hitam.” Ibrahim pun heran dengan perubahan Resa ini. Padahal anak ini terlihat baik dan selalu bisa diandalkan, bahkan beberapa kali ikut Ibrahim menggagalkan misi besar Davon untuk menghancurkan usaha bosnya. “Selidiki terus, mungkin dia dibawah ancaman.”“Siap bos.” Ibrahim dan Murat mengangguk patuh.“Saya berharap, ini kali terakhir kita ribut dengan Davon atau pun preman lainnya Im, usiaku sudah tiga pulu lebih, rasanya Lelah juga, harta banyak namun bila harus berdarah – dara
Pak Darsi memeluk putrinya yang baru saja turun dari mobil Bersama suaminya, mobil yang terbilang mewah karna di kampung mereka tak ada orang yang menggunakan mobil mewah seperti milik menantunya itu.“Kamu Bahagia nduk?” pertanyaan pak Darsi tentu menanyakan kebahagian Karmila dengan pernikahannya dengan Waldi, sedikit banyak orang tua ini mengetahui kabar menantunya yang suka berantem, bahkan pernah dibumbui bahwa Waldi juga pengedar obat-obat terlarang, tentu Pak Darsi tak langsung mempercayai cerita putri tirinya. Ya Mirna yang menghembuskan kabar itu, entah darimaba didengarnya. Pak Darsi pun mengetahui tentang kebencian putri tirinya itu pada putri kandungnya sendiri, namun sifat sukan mengalah dari almarhum istrinya telah menurun kepada putrinya itu. Sebab selama ini Karmila tak pernah sekalipun melaporkan kelakuan Mirna padanya. Padahal pak Darsi mengatahuinya.“Alhamdulillah senang pak, mas Waldi memperlakukan Mila dengan baik, mama mertua Mila juga baik.Waldi sedang ke mobi
“Mikir apa?” Waldi mendekati Karmila yang tampak duduk termenung di dekat jendela, padahal gulita telah menyapa. Sementara pak Darsi yang jarak naik mobil jauh, sudah beristirahat di kamar tamu lantai bawah. Waldi pun telah memberitahu bu Ranti akan kedatangan ayah Karmila dan telah menceritakan semua kejadian yang tadi siang terjadi di rumah ayah mertuanya itu. Bu Ranti mengatakan akan ke rumah Waldi sepulang dari butik beliau esok sore.“Ingat bu Sukiya Mas,” Karmila menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik suaminya itu yang sedang memeluknya dari belakang.“Koq sayang mikirin mereka?” Waldi mengernyit tak suka.“Aku kasihan mas, kemana mereka akan tinggal, biar Mira jahat dan tak suka padaku tapi bu Sukiya juga pernah mengurus Bapak dengan baik.”Waldi heran sendiri dengan perasaan yang dimilik istrinya ini, mengapa harus memikirkan orang – orang yang jelas menyakitinya. Biarpun bu Sukiya baik katanya, namun beliau tak mampu melerai putrinya saat menyakiti Karmila.“Tapi bu Su
Sungguh kabar yang cukup mengejutkan bagi Waldi, demi mendengar kabar tentang Davon yang tertangkap, lebih mengejutkan lagi sebab tertangkapnya bukan karna pemalsuan surta-surat seperti yang Waldi laporkan namun tertangkap karna ternyata Davon terbukti menjadi bandar narkoba, salah satu anak buahnya membocorkan pada tim kepolisian yang menangkap mereka.Waldi memang curiga dari dulu, darimana Davon bisa hidup mewah sedangkan penghasilannya hanya berasal dari satu properti sewa saja. Pernah Waldi mengajaknya bekerja sama di perusahaan namun di tolaknya dengan angkuh. Ah Waldi hanya kepikiran bibinya, ibu Davon, entah orang tua itu tahu atau tidak dengan pekerjaan haram putranya itu, kalau dengan istrinya, tentu Waldi tak memikirkan lagi apalagi khawatir.__Dua hari ini Waldi bersama Ibrahim berada di pusat kota guna mengurus surat – surat properti miliknya yang telah dipalsukan oleh Davon. Niatnya akan melaporkan Davon dengan tindak kejahatan pemalsuan surat dan pemerasan. Sebab yang
Sejenak, Fania tertegun melihat seorang wanita muda, berhijab dengan kulit putih bersih membukakan pintu untuknya. Sedikit kecewa, sebab yang diharap tak seperti, pikirannya. Dikiranya, Waldi atau setidaknya, mbok Sum yang biasa bekerja paruh waktu di rumah mantan kekasihnya itu yang akana membuka pintu.“Mbak, cari siapa?” Karmila bertanya pada tamunya, sebab sang tamu nampak melamun.“Eh, itu maaf. Mas Waldi, ada?” tergagap, Fania menjawab sang, Nyonya rumah.Mas Waldi, sejenak perasaan cemburu mungkin hinggap di hati, Karmila. Selama menjadi istrinya tak ada wanita yang lain yang memanggil suaminya dengan sebutan mas. Siapa sebenarnya, perempuan ini? Benak Karmila, bertanya-tanya.“Maaf mbak, suami, saya sedang di luar kota, mungkin sedang dalam perjalanan pulang hari ini.” Ucap Karmila, berusaha menenangkan perasaannya.Suami? Balik Fania, yang merasa cemburu, namun pantas kah? Bukankah dirinyalah dulu yang meninggalkan Waldi, sebab termakan bujuk rayu dan fitnah dari Davon, lalu
“Ada apa ini?” gelegar suara Waldi mengalihkan perhatian Fania. Entah bagaimana ceritanya, wanita ini bisa membawa senjata dan untuk tujuan apa. “A-aku, mau kamu ikut perintahku mas!” bergetar suara Fania mengucapkan itu. Waldi, menimbang sesaat kejadian ini, dia, yakin ini pasti ada hubungannya dengan tertangkapnya Davon. Suami, Fania. “Turunkan senjatamu!” ucap Waldi, sambil melangkah, menuruni tangga dengan tenang. Tak sedikit pun raut gentar di wajahnya. Pak Darsi, sang mertua yang justru takut. “Jangan kesana, nak. Nanti dia menembakmu!” ucap pak Darsi pelan. “Tidak apa-apa, pak. Saya, hanya minta tolong bapak, segera hubungi mama dan tolong jaga Karmila di atas, jangan sampai dia melihat kejadian ini.” pinta Waldi pada mertuanya. “perempuan itu, siapa nak? Dari tadi Bapak dengar dia ingin bicara sama kamu, tapi Ibrahim menahannya, dan tiba-tiba langsung mengeluarkan pistol begitu.” Agak bergetar suara orang tua ini, tentu karna takut dan, beliau tak pernah melihat kejadian