Sejak kematian istri dan anaknya, Mas Agung berubah drastis. Dia sering melamun dan selalu terlihat murung. Aku kesal sekali karena belum berhasil merebut hatinya. Padahal aku selalu menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia masih punya aku dan bayi perempuan kami yang baru saja lahir.Aku merasa sangat bahagia karena ternyata putriku sangat cantik. Walaupun dia masih bayi, tapi kecantikannya sudah mulai terlihat. Dan untuk menguatkan posisinya di keluarga Wicaksono, aku sengaja memberinya nama Anida Putri Wicaksono.Aku selalu berusaha mendekatkan Anida pada Mas Agung. Walaupun Mas Agung selalu menolak dan mengatakan bahwa Anida bukan putri kandungnya, tapi aku tidak pernah putus asa untuk membuat mereka dekat dan menjalin ikatan batin layaknya ayah dan anak kandung."Mas, ayo gendong anak kita," ucapku sambil meletakkan Anida di pangkuan Mas Agung."Jauhkan dariku, dia bukan putriku," ucap Mas Agung sambil mengembalikan Anida padaku.Rasanya kesal sekali, kesabaranku benar-benar diuj
Sampai saat ini aku masih sangat membenci Arini. Karena walaupun dia sudah mati, tapi namanya masih selalu disebut oleh Mas Agung. Bahkan do'anya tak pernah putus untuk almarhumah istri dan anak laki-lakinya yang bernama Akbar itu.Huuh, aku benci sekali dengan kenyataan ini.Tok tok tok.Lamunanku buyar saat mendengar suara ketukan. Aku bangun dari pinggiran tempat tidur yang kududuki, lalu berjalan ke pintu kamar.Kreeek. Pintu kamar ku buka."Ada apa?" tanyaku saat melihat--Bik Nur--salah satu asisten rumah tangga di rumah ini berdiri di depan pintu kamarku."Maaf, Bu Sukma, di bawah sedang ada keributan.""Apa?!"Dengan cepat aku berjalan melewati Bik Nur lalu turun ke bawah, Bik Nur pun mengikutiku di belakang."Memangnya ada apa sih, Bik?" tanyaku sambil terus menuruni anak tangga."Tadi ada yang datang, Bu. Laki-laki dan perempuan, mereka mencari Pak Bagus. Yang perempuan marah-marah sama Pak Bagus, tadi sempat saya dengar dia mencari adiknya yang bernama Mita."Mendengar ucapa
(POV Miranti)"Sayang, udah dong jangan nangis terus. Pokoknya kita akan berusaha mencari Mita sampai ketemu." Mas Rayhan berusaha menenangkan aku, tangan kirinya mengelus punggungku dengan lembut, sedangkan tangan kanan memegang stir mobil."Gimana aku nggak nangis, Mas, aku khawatir banget sama Mita. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi sama dia," jawabku masih sambil terisak. Lalu aku membuang ingus menggunakan tissue, cairan dari hidung itu seolah berlomba dengan air mata yang sedari tadi seakan tak mau berhenti mengalir."Iih, Bunda jorok," ucap Mas Rayhan saat melihat tissue-tissue habis pakai itu bertumpuk di pangkuanku. "Itu dikumpulin mau dijual ya?" tambahnya lagi mengajakku bercanda."Mas, jangan bercanda. Aku nggak suka bercanda saat seperti ini," sungutku sambil merenggut.Mendengar ucapanku Mas Rayhan tertawa, lalu dia membelai kepalaku yang tertutup hijab dengan perasaan sayang. Aku tahu Mas Rayhan hanya berusaha mengalihkan pikiranku, agar aku tidak terlalu bersedih de
(POV Ridwan)"Astaghfirullah!"Betapa terkejutnya aku, saat membuka pintu bak belakang mobil truk yang akan aku bersihkan.Nampak sesosok tubuh tergeletak di bagian pojok dalam keadaan meringkuk.Karena kaget dan juga heran, refleks aku berteriak memanggil ibu dan bapak yang sedang duduk santai di teras rumah."Pak ... Bu ..., sini sebentar!"Mendengar teriakkanku, membuat kedua orang tuaku heran. Mereka masih duduk dan belum beranjak menghampiriku."Ada apa sih, Wan, teriak-teriak kayak gitu?" tanya ibu masih sambil menguyah singkong goreng yang sedang mereka nikmati sore ini."Iya, ada apa sih teriak-teriak kayak orang melihat hantu saja." Bapak ikut menimpali, lalu dia mengambil dan menyeruput teh panas yang baru diletakkan oleh Sri--istriku di atas meja di depan Bapak."Kesini dulu sebentar, Pak. Ini kok ada orang di dalam mobilku."Mendengar ucapanku membuat kedua orang tuaku dan juga Sri berpandangan, lalu mereka kompak bagun kemudian dengan tergesa menghampiriku. "Yang benar k
(POV Fachri)"Ibu mau kamu menikah lagi. Carilah pengganti Nindy," ucap Ibu pelan.Seketika semua terdiam. Bahkan Bang Ridwan dan Mba Sri berhenti mengunyah martabak. Mereka berdua saling tatap, kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Mereka mengangguk tanda setuju dengan permintaan Ibu.Mendadak suasana menjadi hening. Ya, selalu saja begini bila Ibu sudah membahas calon pendamping untukku.Ibu memang sudah sejak lama menginginkan aku menikah kembali. Begitupun dengan Bang Ridwan yang tentu saja mendapat dukungan dari Mba Sri.Hanya Bapak yang terlihat santai. Bapak memang tidak pernah mendesakku untuk menikah lagi, meskipun aku tahu beliau juga menginginkan hal yang sama. Tetapi Bapak menyerahkan semua padaku. Bapak percaya bila memang sudah waktunya, aku pasti akan menikah lagi. Tentu saja dengan perempuan pilihanku sendiri dan bukan karena paksaan.Bapak mengambil gelas teh miliknya yang isinya masih tersisa setengah, kemudian meminumnya sampai habis. Sedangkan Ibu masih menatap
(POV Rumini)"Jadi Mba dari Bekasi? Jauh banget!" Sri nampak terkejut. Sebenarnya bukan hanya Sri, aku pun sama terkejutnya. Tak menyangka bahwa perempuan yang terbawa oleh mobil truk Ridwan ternyata berasal dari kota yang sangat jauh. Bahkan, tempat tinggal kami dipisahkan oleh lautan yang sangat luas."Maaf, memangnya ini di mana?" tanya Mita pelan dengan ekspresi bingung. Dia menatap Sri, kemudian beralih padaku.Melihat ekspresi wajah Mita, sekarang gantian aku yang bingung. Apa dia tidak ingat, kalau dia naik mobil truk Ridwan dan akhirnya sampai disini? Ah ya aku lupa, saat kami menemukannya dia dalam keadaan pingsan. Mungkin setelah berhasil naik truk Ridwan, kemudian dia langsung pingsan. Apalagi saat kami menemukannya, dia memang dalam keadaan demam tinggi. Mungkin hal itulah yang membuatnya bingung saat ini.Kasihan sekali perempuan ini. Entah kejadian apa yang sebenarnya menimpanya? Aku jadi semakin penasaran mendengar kisahnya. Andai dia bersedia bercerita, tentu aku akan
(POV Mita)Tiba-tiba terdengar suara motor datang dan berhenti di depan rumah. Tak lama muncul seorang laki-laki tampan di depan pintu. Melihat laki-laki itu, semua orang yang ada di ruangan ini tersenyum, termasuk aku, walaupun aku tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki yang baru datang itu.Setelah mengucapkan salam, laki-laki itu langsung masuk. Dia mencium punggung tangan Bu Rumini dan Pak Rahmat secara bergantian dengan takzim. Kemudian dia duduk di samping Pak Rahmat. Pak Rahmat tersenyum lalu menepuk pundak laki-laki itu."Sehat, Nak?" tanya Pak Rahmat."Alhamdulillah, Pak," jawab laki-laki itu sambil tersenyum."Fachri, kamu sudah makan siang belum, Nak? Kalau belum, biar Ibu diambilkan," tanya Bu Rumini.Siapa sebenarnya dia? Kenapa Pak Rahmat dan Bu Rumini memanggilnya dengan sebutan 'Nak'. Apakah dia adalah anak bungsu Bu Rumini dan Pak Rahmat yang katanya tinggal terpisah dengan mereka?"Nggak usah, Bu. Tadi aku sudah makan di rumah," jawabnya santun. Dari caranya memanggil
(POV Author)"Sebenarnya ..., dulu kami sekeluarga pernah tinggal di Jakarta," ucap Bu Rumini memulai kisahnya. Ia tercenung seolah sedang mengingat-ingat kejadian di masa lalu.Sementara semua orang yang berada di ruangan itu menyimak dengan baik, apa yang disampaikan oleh perempuan paruh baya itu."Semua berawal dari kisah kedua orang tua Ibu. Mereka memutuskan untuk merantau ke Jakarta, untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Mereka berdua meninggalkan orang tua, dan juga desa Jenang ini yang merupakan tempat mereka dilahirkan." Bu Rumini kembali menghentikan ucapannya, sebelum akhirnya melanjutkan lagi kisah hidupnya."Saat Emak dan Bapak membawa Ibu untuk mengadu nasib di ibukota, umur Ibu saat itu sekitar lima tahun. Nasib baik berpihak pada Emak dan Bapak, saat tiba di Jakarta mereka langsung mendapat pekerjaan di rumah keluarga kaya yang sangat baik dan juga dermawan. Emak diberi pekerjaan sebagai pembantu, sedangkan Bapak menjadi sopir pribadi.Keluarga itu sangat baik, m
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia