Alvino membuka mata ketika merasakan tepukan halus di pipinya. Sakit di sekujur tubuh membuatnya sulit bergerak. Ketika sinar mentari menembus melalui jendela yang terbuka karena tirai baru saja disibak oleh seseorang, lelaki itu mengucek kedua mata."Bangun, Al!""Rosaline?" Alvino tersentak ketika menyadari siapa yang sedang bersamanya di dalam kamar.Saat pandangan mulai jernih, dia melihat Rosaline duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya diikat menampilkan banyak lebam di bagian leher dan wajah. Apa yang terjadi, bukankah tadi malam mereka lolos dari preman?Ah tidak. Ketika Alvino memutar otak, dia mengingat bahwa ketika mengantar gadis itu pulang, mereka dihadang oleh seseorang. Akan tetapi, Alvino tidak mengingat kejadian selanjutnya."Tadi malam kamu pingsan karena ada yang mukul kamu dari belakang, Al." Rosaline menjelaskan sebelum diminta.Mengedarkan pandangan ke segala arah, lelaki bertelinga palsu itu menyadari dirinya berada di kamar orang lain. Alisnya yang tajam terang
"Kamu mau nganter aku pulang tanpa ada rasa curiga, itu artinya kamu nyelamatin aku, Al. Aku tahu kamu baik, kenapa harus mencari yang lain selama kamu mau?" lanjut Rosaline berapi-api.Selama hidup sampai usianya kini kepala dua, lelaki tampan dengan alis tajam itu belum pernah menjalin suatu hubungan. Bukan tidak pernah jatuh cinta, tetapi dirinya sadar diri mengingat menderita penyakit mikrotia dan gagal cangkok di usia delapan tahun.Orang tuanya saja mengaku putus asa dan takut jika terus melakukan percobaan sehingga memilih telinga palsu. Akibatnya, pendengaran Alvino tidak seperti manusia pada umumnya. Lagi pula, lelaki itu sendiri pun mengaku tidak masalah dengan kekurangannya sehingga proses apa pun akan dia tolak.Dengan kekurangan itu, Alvino akan mengetahui mana saja wanita yang tulus dan hanya memandang dari rupa dan harta. Entah dalam lingkup pertemanan maupun ketika ingin menjalin hubungan sampai jenjang lebih serius. Maka dari itu, Alvino s
"Maaf, kita nggak butuh bantuan siapapun!" Rosaline tersenyum manis sebelum akhirnya menarik kasar tangan lelaki yang baru saja dia inginkan sebagai kekasih, tetapi belum mendapat jawaban.Bukan tidak butuh, gadis itu khawatir lelaki tadi adalah orang jahat atau termasuk komplotan Cakra. Jika benar, maka sia-sia saja pelariannya tadi. Semua terlalu mudah, tentu menimbulkan sedikit kecurigaan. Bagaimana jika semua hanya jebakan?Menguatkan tekad walau kaki terasa pegal, Rosaline mempercepat langkah. Alvino pun tidak ingin ditarik seperti anak kecil sehingga memilih semakin melebarkan langkah untuk menuntun pelarian mereka. Tanpa pernah menoleh ke belakang, terus berlari sampai tiba di sebuah halte bis."Ayolah, ikut saja denganku. Kalian tidak usah takut."Rosaline dan Alvino terkejut bersamaan. Aneh, lelaki berkacamata tadi tiba-tiba berdiri di depannya. Dia mengulurkan tangan, tersenyum seramah mungkin. "Aku Ivan. Kalian berdua?""Jangan
Sesampainya di rumah, Alvino terkejut bukan main karena motornya sudah terparkir di depan. Baru saja dia menoleh ke belakang, tetapi Ivan sudah pergi, padahal diminta singgah sebentar.Siapa pun akan terkejut dengan kejadian yang baru saja dia alami. Motor dan juga tas kesayangannya ada di sana. Saat mencoba memeriksa, masih lengkap, sepeser uang pun tidak hilang dari dompet."Kamu sudah pulang, Al?"Lelaki jangkung itu terkejut. Dia langsung mengambil tas dan juga kunci motor sebelum menghampiri wanita paruh baya dalam balutan kerudung itu. Seorang wanita yang masih terlihat lebih muda dari usia sebenarnya."Salim dulu dong sama Bunda!" Dialah Zanna, sosok malaikat tak bersayap bagi Alvino.Tanpa banyak bicara karena masih ada seribu tanya di dalam pikiran, Alvino langsung menyambut uluran tangan itu lantas menciumnya takzim. "Maaf karena aku telat pulang, Bun. Tadi malem–""Bunda mengerti. Tadi malam teman kamu kecelakaan. Jadi
"Aku juga mau bicara sama kamu." Alvino menarik tangannya menjauh dari tempat itu menuju sebuah pohon rindang di samping rumah dengan tinggi tiga meter.Mereka saling menatap, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alvino masih resah, mengapa Rosaline terlihat santai dan apa maksud pembicaraannya tadi?Entahlah, Alvino akan mencari jawaban itu nanti."Kamu ngerasa ada yang janggal nggak mulai malam itu sampai tiba di rumah?""Maksudnya gimana, Al?""Malam itu, mereka nggak langsung ngebunuh aku dan lari karena dengar suara sirine mobil doang? Terus kita pergi dan ada yang ngehalang, padahal itu bukan jalan ke rumahku. Dia mukul kamu, tapi biarin aku tidur di kamar. Pas kita kabur ...." Alvino menghela napas berat merasa kepala akan segera pecah. "Nggak ada hambatan sama sekali.""Mungkin kebetulan aja, Al. Aku juga bingung. Kamu nuduh aku?""Enggak, bukan gitu. Masalahnya aku sering nonton film thriller atau sejenisnya g
"Diem aja. Aku tahu, kamu udah lama naksir sama dia, 'kan? Kalau iya, biar aku urus!" lanjut Lucky lagi berhasil membuat lawan bicaranya merekahkan senyuman.Mereka sudah lama akrab, bermula dari pertemuan yang tidak disengaja di sebuah mall sampai akhirnya gadis itu sering berkunjung untuk menjadi teman, padahal usia mereka terpaut tiga tahun.Usut punya usut, ternyata dulu Rosaline kuliah di kampus yang sama dengan Lucky, hanya saja mereka tidak pernah bertemu dan satu tahun terakhir terpaksa resign dari pekerjaan karena lebih memilih mengurus sesuatu yang dianggap jauh lebih penting."Serius? Tapi sepupu kamu mau gak sama aku? Secara aku malah masih lebih tua daripada dia.""Beda setahun doang mah gampang. Ada yang pacaran beda lima tahun, tuaan ceweknya. Tergantung sih. Kebetulan juga si Al belum pernah pacaran. Kali aja dia suka sama kamu, cuma malu. Tahu sendiri kekurangannya apa, 'kan?"Rosaline manggut-manggut mengerti, menampilka
"Kenapa kamu yang protes? Memangnya kamu adik Al?" Rosaline langsung memberi tatapan dingin, padahal biasanya dia akan bersikap hangat pada siapa pun. Namun, itu sekilas saja mengingat ada target di sana."Kamu pikir aku nggak tahu kamu, Ros? Kita emang jarang pergi berdua, tapi aku kamu itu gak setia! Jangan coba dekati Alvino karena aku gak bakal biarin dia sakit hati.""Bilang aja kalau kamu cinta sama dia. Beres, kan?"Rena mendelik kesal. Dia menggigit bibir bawah merasa gemetaran mendengar tuduhan tadi. Anehnya, dia tidak bisa mengelak seolah membenarkan semuanya secara gamblang.Suasana berubah menjadi hening. Gadis berambut sebahu itu tetap diam. Sesaat dia sadar, untuk apa melarang jika keputusan tetap ada di tangan Alvino?"Dugaanku benar, ternyata kamu emang cinta sama Al. Oke, aku juga cinta sama dia dan harusnya kita bersaing secara sehat. Siapa yang bisa mendapatkan hati Al, maka dialah pemenangnya. Kamu jangan protes atau n
"Akmal, kamu lebih milih dia ketimbang Ibu? Kamu pikir surga anak laki-laki ada ada anakmu?!" bentak Oma Siska semakin geram. Kedua bola mata terdapat semburat, napas memburu menandakan amarah telah mencapai puncak."Aku tahu surgaku tetap sama Ibu, tapi apa Ibu nggak sadar sudah nyakitin hati aku, Zanna sama Al? Kalau Ibu nggak mau nganggep cucu sendiri, mungkin memang benar kalau Ibu nggak usah datang ke sini lagi." Akmal memalingkan pandangan. Dia lelah berdebat dengan sang ibu selama puluhan tahun.Entah kenapa ibunya menjadi sangat keras kepala. Setelah hampir tiga dekade, apakah tidak ada rasa kasihan di dalam hatinya atau keinginan berdamai dengan takdir dari Tuhan? Akmal tidak pernah mempermasalahkan sang istri yang melahirkan anak satu telinga karena percaya bahwa semua kehendak Tuhan meskipun ada sedikit kesalahan juga dengan mengabaikan kesehatan selama trimester pertama.Jika terus meladeni, maka sampai kiamat pun mungkin tidak akan ada habisny