Jia terkekeh pelan, langkahnya pun terhenti sesaat ia melihat beberapa balon yang sepertinya sengaja di tinggalkan pemiliknya. Menatap lama, membuat Jia tidak menyadari bahwa dirinya tengah diincar seseorang dari jarak yang jauh.
Menyadari hal itu, Revandro segera menarik Jia berlari. Dan benar saja...DOR!DOR!DOR!tembakan beruntun dilepaskan, keadaan yang tenang perlahan berubah menjadi bising akibat baku tembak antara anak buah Revandro dan orang-orang tak di kenal.Masuk kesebuah toilet, Jia menatap Revandro yang mengeluarkan senjata api dari saku jasnya. "Bukankah aku merepotkan?" Tanya Jia di tengah situasi yang menenganggkan.Revandro menatap Jia, lalu tersenyum kecil. "Entahlah, aku masih belum yakin." Jawab Revandro.Jia mengepalkan tangannya, sampai..."Mereka berlari ke arah sini.""Apa kau yakin?""Diamlah mereka bisa dengar!"Percakapan singkat itu, menjadi bukti bahwa ada orang-orang bodoh yang mengikuti mereka. Mengintip melalui bilik, mata Jia memicing tajam. Seolah tengah mencari tahu dari mana asal para bedebah itu muncul, ya... segala pergerakan Jia tak lepas dari mata Revandro.Untuk sesaat Revandro mulai berpikir, membandingkan Jia dengan orang normal yang pada umumnya akan panik mendapati situasi ini. Tapi Jia nampaknya begitu tenang, seolah telah terbiasa dengan situasi ini.Jia tahu Revandro curiga, tapi semua pemikirannya untuk bersembunyi seketika hilang saat menyadari adanya sebuah tato pada leher ketiga Pria bersenjata di depan bilik mereka.Lambang tulip itu..."Shit!"BRAK!BHUK!dengan kecepatan Jia keluar dari bilik toilet, melayangkan beberapa bogumen mentah. Sehingga ketiga orang tersebut tersungkur karena terkejut dan tak siap mendapat serangan mendadak, saat itu salah satu dari mereka berusaha menembak Jia.Namun tindakannya kalah cepat dari Revandro, membuat dirinya tewas seketika.Satu dari kedua yang masih hidup nampak pingsan, sedangkan yang satu lagi nampak tengah Jia hancurkan wajahnya dengan tangan yang mengepal."Jia hentikan, Dia sudah mati." Kata Revandro berusaha untuk menyadarkan Jia, yang sepertinya tak menyadari apa yang Wanita itu lakukan."Jia... ""SIAL MENYINGKIRLAH!!!" Pekik Jia saat tangan Revandro berada di pundaknya. "MENYIKIRLAH SIALAN! MENYINGKIRLAH!" Sambungnya.Revandro menarik kasar Jia, menyeretnya keluar dari toilet. Sebelum akhirnya melepaskannya di depan para anak buahnya, Jia nampak bangkit dan ingin kembali kedalam toilet. Tapi Revandro nampak mendorongnya hingga tersungkur, beberapa kali Revandro melakukannya hingga...Plak!Wajah Jia sontak tertoleh kesamping saking kuatnya tamparan Revandro, suasana penasaran dari para bawahan langsung berganti menjadi rasa kasihan.Jia mengepalkan tangannya, dengan berderai air mata. Bukan karena sakit ditampar Revandro, tapi karena ketidakberdayaan dirinya dalam menguasai emosinya.Revandro mendekat, membelai pipinya yang basah karena air mata. Mengangkat dagunya pelan, menghadap matanya. "Semuanya akan baik-baik saja Jia, jangan menangis jika air mata itu bukan berasal dariku."Jia tersenyum kecil, sungguh kejam perkataan yang seharusnya menghibur dan menenangkannya malah terdengar seperti sebuah aturan bahwa dirinya hanya boleh menangis karena Pria itu.PLAK!Sepertinya... keadaan kembali suram saat Jia menampar Revandro, yah walau sepertinya tamparan itu tidak begitu berdampak pada Revandro."Itu untuk tamparanmu yang tadi, brengsek!" Kata Jia sebelum akhirnya berjalan maju, membela kerumunan anak buah Revandro di depannya. Pergi dari tempat itu, dengan pandangan yang sulit di artikan dari Revandro."Tuan?""Bereskan kekacauan ini, selidiki siapa dalang dibalik ini semua. Setelahnya akan kuurus sendiri para tikus itu." Perintah Revandro dingin.Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka...Bersambung...Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di
Tenggelam dalam pemikirannya, Jia tidak menyadari akan kehadiran seseorang. "Nona?" Bingung orang itu yang diketahui merupakan pelayan, Wanita paruh baya itu bernama Margaret."Huft!" Membuang nafas kasar Jia sadar seketika Margaret memanggilnya, tanpa mengubah posisinya. Ia menatap Margaret yang terlihat membawa sebuah gaun beludru merah di tangannya, berdecak dalam hati Jia bangkit.Tanpa berkata apapun ia yakin jika gaun itu di sediakan Revandro, yah mengingat hanya Pria itu yang mampu bersikap perhatian. Berarti Vier sudah pergi, kan? Tapi walau begitu ia tidak ingin mengenakan gaun itu."Jangan bilang jika aku harus memakai gaun itu?" Ungkap Jia dengan satu jari telujuk yang mengarah pada gaun di tangan Maragaret."Iya. Bos sendiri yang memilihkan gaun ini untuk Nona," Balas Margaret dengan seutas senyum kecil."Aku tidak mau, lagipula aku tidak suka pesta-""Tidak Nona, maksud Bos mengirim gaun ini untuk di pakai makan malam. Bos ingin makan berdua dengan Anda," Jelas Margaret y
Setelah kejadian suram berlalu, Margaret kini terlihat tengah mendandani Jia. Yah, Jia cukup risih dengan penampilannya saat ini yang terlibat bagai countess bangsawan eropa pada abad pertengahan dengan gaun merahnya yang mencolok. Ah... Jangan lupakan cincin permata, kalung, gelang mewah yang melekat pada tubuhnya.Untuk beberapa saat ia terkekeh pelan melihat penampilannya, bagus! Tinggal di tambah mahkota saja, maka Dia akan berubah menjadi jelmaan Ratu Elisabeth yang memimpin britania raya."Sudah lama sekali." Guman Jia sangat amat pelan, yang terdengar hampir seperti sebuah bisikan. Sehingga Margaret tidak dapat mendengarnya, apalagi wanita itu terlihat fokus pada kegiatannya.Bernafas berat, ia termenung. Ingin rasanya ia mencabik-cabik Revandro saat ini, dan mengulitinya hidup-hidup. Eh, tunggu! Mengapa ia bisa berpikiran kejam bak psikopat itu? Tidak, ia hanya bercanda. Oke?Sampai lamunannya buyar oleh perkataan Margaret yang tiba-tiba, "Mari keluar Nona, Bos sudah menungg
Setelah beberapa saat berjalan, Jia akhirnya sampai di tempat makan. Tempat Revandro menunggunya, ia kemudian duduk berhadapan dengan Revandro.Beberapa detik hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu. Keheningan terjadi, Jia tampaknya enggan untuk membuka suara. Dan sepertinya, Revandro juga bersikap acuh tak acuh.Tapi bukan tak mungkin jika Revandro terus melirik Jia lewat ekor matanya, mengawasi ekpresi Perempuan di depannya yang datar.Jelas saja ekpresi Jia tidak bersahabat dan masam, lagipula siapa juga yang mau di lihat secara intens saat makan? Dari tatapan Revandro, Jia tahu jika Pria itu tengah menganggumi parasnya. Ditambah lagi, aura yang ia keluarkan adalah aura khas keturunan Hernso. Membuat Jia menjadi sangat berbeda di mata Revandro.Detik berikutnya, Revandro melepas pandangannnya dari Jia. Meminum winenya sekali teguk, sebelum kembali menatap Perempuan itu. "Ada yang ingin kau katakan?" Tanya Revandro saat Jia balas menatapnya."Apa kau tidak akan mele
Bukannya takut, Jia malah terlihat tidak peduli. Ia bahkan terus mempertahankan ekspresinya yang memandang remeh Revandro, "oh, aku jadi penasaran. Apakah yang akan kau lakukan jika kesabaranmu itu habis?""Kau cukup mengenalku Jia. Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu,""Membunuhku, kah?" Revandro bungkam tidak menjawab, matanya menubruk retina terdalam Jia yang tampak api kobaran amarah yang semakin besar di sana.Berikutnya ia menunduk, menjatuhkan pandangannya pada jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Sudah waktunya, kegiatan inti yang harus ia lakukan sebelum malam semakin larut.Bangkit dari posisinya, merapikan jasnya. Sorot mata Revandro yang tajam menenang, "berdiri. Ikut aku," katanya dengan nada tenang."Kalau aku tidak mau, bagimana?""Kau ingin kuseret Jia sayang?""Dasar tidak waras, begitukah caramu membuatku jatuh cinta padamu?"Revandro tersenyum lembut penuh arti, "aku tidak peduli, mencintaiku adalah pilihanmu jika tidak ingin terus menjadi tawanan di
Jia menaikan satu alisnya tak kala mendengar intonasi nada Revandro yang berubah, menjadi lebih tenang dan terkesan dingin."Bangkit dari dudukmu, sebelum aku menyeretmu dengan paksa." Lanjut Revandro dengan tatapan tajam.Jia memiringkan kepalanya sebentar, memperhatikan lamat-lamat Pria di depannya. Berpikir apakah Vier mengambil alih? Tidak, Pria di depannya masih Revandro. Karena jika itu Vier, Dia mungkin sudah menyeretnya dengan kasar.Kesal, ia tidak berniat bergeming dari tempatnya hingga Revandro berkata. "Ketika aku menyeretmu, jangan salahkan aku jika lenganmu putus dari tanganmu. Aku tidak bercanda!" Ancamnya.Membuang nafas kasar, Jia bangkit dari duduknya. Menghadiahkan senyum palsu singkat sebelum mengangkat tangannya dengan satu jari tengah yang di acungkan, lalu mengumpati Revandro. "Shit! My middle finger like you!" Kemudian melangkah lebar mendahului Revandro yang tersenyum kecil, terlihat jelas menahan tawanya.****"Kau mau membawaku kemana?" Tanya Jia yang berjal
Jia menatap Revandro, masih dengan telapak tangan yang membekap setengah wajahnya. Ia tersenyum penuh arti di balik telapak tangannya, Jia pikir Revandro sudah salah dalam menilai tindakannya saat ini.Pada akhirnya semuanya Jia artikan sebagai cara Revandro untuk membuatnya tunduk pada Pria itu, jelas ini bukan cara untuk membuatnya terikat benang merah. Tapi sebuah cara, untuk menjeratnya dalam rantai yang Pria itu ciptakan.Takut?Kebingungan?Atau melakukan sesuatu yang membuat dirinya memohon supaya Revandro tidak melakukan sesuatu yang dapat menyakitinya? Apa itu yang Revandro pikirkan saat melihat reaksinya?"Hah... sudah kuduga,"Ucapan singkat dari Jia membuat Revandro sontak merubah raut wajahnya, kata Jia yang terdengar santai dan kini nampak bersikap biasa saja membuat Revandro penasaran. Tak hanya itu, ekspresi Jia kian detik menjadi datar. Tanpa ekpresi, membuat Pria itu berpikir apakah yang ia pikirkan sebelumnya adalah salah?"Revandro Maxio, Putra tunggal Maxio. Pewa
"Karena aku tidak sama dengan mereka!" Dengan lantang, "Bagaimana bisa kau berharap jika aku akan mengormatimu sama seperti mereka? Disaat kau tahu sendiri yang kuinginkan bukanlah perlindungan dari kekuasaanmu, tapi kebebasan!" Sambungnya.Tangan yang mengepal erat, Jia menunjukan emosi bahwa ia tengah tidak baik-baik saja saat ini. Amarah seakan membakar seluruh akal sehatnya, Dia. Jia, meluapkan emosinya.Sedangkan Revandro? Pria tertegun sejenak, sebelum akhirnya kembali tertawa namun bukan tawa jahat. Tapi sebuah tawa yang terdengar lirih, Pria itu memandang Jia lama. "Huftt! Padahal aku sudah berusaha menekannya, tapi ungkapanmu barusan benar-benar membuatku kehilangan kendali atas kesadaranku. Sungguh luar biasa,"Jia mengerutkan keningnya, mencerna arti dari setiap kata yang terucap dari mulut Pria di depannya. Hingga di detik berikutnya retina mata Pria di depannya berubah, sorot mata yang sangat jelas diingat Jia.Vier, Dia mengambil alih Revandro."Lama tidak jumpa little g
"Melihat apa?" Tanya Vier yang menoleh mengikuti arah pandang Jia. "Oh itu, hanya beberapa dokumentasi dari karya-karya yang berhasil aku ciptakan. Akan kuberi salah satunya jika kau menyukainya,"Jia menatap ngeri Vier, apa pikirnya dengan pandangan yang terarah pada foto itu membuat Vier berpikir jika ia tertarik pada foto itu? Oh Tuhan, siapa juga yang menginginkan foto dengan gambar yang mengerikan.Mayat dengan beberapa luka ukiran hasil tangan Vier, nampak sangat menjijikan dan membuat mual jika bukan karena Jia sudah terbiasa dengan hal mengerikan yang sang ayah lakukan. Mungkin saat ini ia sudah pingsan, tidak! Mungkin ia sudah mati, saking terkejutnya."Tidak!" Tolak Jia tegas setelah beberapa saat terdiam, "aku masih waras,""Tapi percayalah, semua wanita yang ada pada foto itu tidak pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Maksudnya, aku tidak pernah melakukan pembunuhan dan penyisaan di ruangan ini. Khusus untukmu, ruangan ini hanya khusus digunakan untuk Perempuan istimewa
'SIAL! SIAL! SIAL!!'Entah sudah berapa kali Jia mengumpat dalam hati.Ia mengumpati Pria sialan di depannya, yang asik menciptakan huruf demi huruf pada lengannya. Yah tak lupa juga mengumpati dirinya sendiri karena tidak bisa melawan, dan malah bersikap patuh seperti ini. Ia yakin, di hadapan Vier ia tak ada bedanya dengan seekor kelinci yang tak berdaya di hadapan singa. Merindingnya belum juga hilang, matanya memejam erat. Ingin menangis rasanya, tapi sekuat tenaga ia menahannya. Karena jujur saja ia tidak ingin Pria atasnya ini merasa menang, juga sebagai pertahanan satu-satunya agar tidak dianggap lemah dan berakir tewas di tangan Vier.Ketika duri menggores kulitnya, rasanya sangat sakit bahkan lebih sakit daripada tertusuk jarum. Tapi ketahuilah, rasa sakit itu bahkan bukan apa-apa jika berniat menghancurkan pertahanannya. Ia harus menahannya, sedikit lagi. Sebentar lagi, Vier akan menyelesaikan kegiatan tidak warasnya.Dan benar saja..."Selesai," ucap Vier setelah menyelesa
Selesai mengatakannya, Vier mengambil setangkai bunga mawar putih pada salah satu vas bunga yang tak jauh darinya.Memusatkan pandangannya pada Jia, "justru sebaliknya, kau akan terbakar dengan cintaku Jia sayang..."Tangai mawah putih itu ia gigit, Jia yang melihatnya mendadak merasakan perasaan asing yang sama seperti di saat Vier menyentuhnya waktu itu. Pria itu menaiki ranjang kembali, masih dengan tatapan sama.Jia sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak keluar, entahlah. Ia tidak paham mengapa dirinya bereaksi berlebihan seperti ini, ia tidak ingin menjadi lemah dihadapan Vier."Jia-""Tidak Vier, itu bukanlah cinta. Sedikitpun tidak, itu adalah obsesi. Obsesimu karena melihatku yang berbeda dari orang lain dalam menanggapimu,"Vier memekan pelan bahunya agar terbaring, naik keatasnya. Memandangnya dalam, "Jia, sadarlah. Aku mencintaimu,""Tidak, kau tidak mencitaiku Vier. Harus berapa kali kukatakan padamu!" Tekannya dengan suara pelan. "Kau hanya mencitai dirimu sendiri,
"Anggaplah aku gila karena saat itu memberimu kesempatan untuk menjamah tubuhku, namun kali ini... tidak, tidak lagi. Kejadian itu tak mungkin ku ulang lagi," Jawab Jia dengan gelengan kepala pelan, menjawab perkataan Vier yang keterlaluan.Apa Vier pikir jika dirinya semurah itu sampai harus rela di sentuh kembali oleh Pria itu?"Aku tidak peduli, aku ingin menyentuhmu seperti saat itu. Kali ingin biarkan aku melakukannya dengan benar,"Dada Jia sontak naik-turun mendengar penuturan Pria di depannya, napasnya memburu dengan mata tajam yang menyorot pada Vier. Tangannya bahkan mengepal erat, tidak peduli dengan luka yang baru saja ia terima. Sedangkan Vier? Pria itu bingung, entah mengapa ia tidak suka dengan reaksi Jia yang terlihat penuh amarah di depannya. Mengenyahkan pemikirannya, Vier kembali berucap. "Ayalah Jia sayang, kau menginginkan sentuhanku bukan? Itulah sebabnya waktu itu kau memberiku kesempatan, Kau mendambakan tubuh ini bukan? Kau juga-"Bukk!Melayangkan satu boge
Tak memedulikan perkataan Jia, Vier malah membelai seluruh rahang Jia dengan gerakan pelan menggunakan pisau itu. Gerakan yang sangat pelan, tidak melukai wajah Jia sedikitpun."Kau tahu, aku jadi tidak sabar untuk menacapkannya pada kedua mata hitammu dan mencabutnya keluar." Kata Vier dengan menghentikan pisaunya tepat di depan mata Jia.Menahan nafas sejenak, Jia memutuskan untuk mengakhiri drama kepura-puraannya. "Singkirkan!""Ouw! Kau benar-benar takut heh?""AKU BILANG SINGKIRKAN SIALAN!" Seru Jia dengan menyingkirkan pisau di depannya, menepis kasar pisau tersebut menggunakan tangannya hingga terlepas dari genggaman Vier.Menghempaskannya jauh ke lantai, hasil perbuatannya. Jia mendapatkan luka gores yang cukup dalam pada telapak tangannya, membuat cairan merah pekat merembes keluar.Vier menatap pisau yang kini tergeletak di lantai sebentar, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada Jia dengan raut wajah ketidapercayaannya."Kau nekat juga ternyata," katanya, "Kemarikan
"Karena aku tidak sama dengan mereka!" Dengan lantang, "Bagaimana bisa kau berharap jika aku akan mengormatimu sama seperti mereka? Disaat kau tahu sendiri yang kuinginkan bukanlah perlindungan dari kekuasaanmu, tapi kebebasan!" Sambungnya.Tangan yang mengepal erat, Jia menunjukan emosi bahwa ia tengah tidak baik-baik saja saat ini. Amarah seakan membakar seluruh akal sehatnya, Dia. Jia, meluapkan emosinya.Sedangkan Revandro? Pria tertegun sejenak, sebelum akhirnya kembali tertawa namun bukan tawa jahat. Tapi sebuah tawa yang terdengar lirih, Pria itu memandang Jia lama. "Huftt! Padahal aku sudah berusaha menekannya, tapi ungkapanmu barusan benar-benar membuatku kehilangan kendali atas kesadaranku. Sungguh luar biasa,"Jia mengerutkan keningnya, mencerna arti dari setiap kata yang terucap dari mulut Pria di depannya. Hingga di detik berikutnya retina mata Pria di depannya berubah, sorot mata yang sangat jelas diingat Jia.Vier, Dia mengambil alih Revandro."Lama tidak jumpa little g
Jia menatap Revandro, masih dengan telapak tangan yang membekap setengah wajahnya. Ia tersenyum penuh arti di balik telapak tangannya, Jia pikir Revandro sudah salah dalam menilai tindakannya saat ini.Pada akhirnya semuanya Jia artikan sebagai cara Revandro untuk membuatnya tunduk pada Pria itu, jelas ini bukan cara untuk membuatnya terikat benang merah. Tapi sebuah cara, untuk menjeratnya dalam rantai yang Pria itu ciptakan.Takut?Kebingungan?Atau melakukan sesuatu yang membuat dirinya memohon supaya Revandro tidak melakukan sesuatu yang dapat menyakitinya? Apa itu yang Revandro pikirkan saat melihat reaksinya?"Hah... sudah kuduga,"Ucapan singkat dari Jia membuat Revandro sontak merubah raut wajahnya, kata Jia yang terdengar santai dan kini nampak bersikap biasa saja membuat Revandro penasaran. Tak hanya itu, ekspresi Jia kian detik menjadi datar. Tanpa ekpresi, membuat Pria itu berpikir apakah yang ia pikirkan sebelumnya adalah salah?"Revandro Maxio, Putra tunggal Maxio. Pewa
Jia menaikan satu alisnya tak kala mendengar intonasi nada Revandro yang berubah, menjadi lebih tenang dan terkesan dingin."Bangkit dari dudukmu, sebelum aku menyeretmu dengan paksa." Lanjut Revandro dengan tatapan tajam.Jia memiringkan kepalanya sebentar, memperhatikan lamat-lamat Pria di depannya. Berpikir apakah Vier mengambil alih? Tidak, Pria di depannya masih Revandro. Karena jika itu Vier, Dia mungkin sudah menyeretnya dengan kasar.Kesal, ia tidak berniat bergeming dari tempatnya hingga Revandro berkata. "Ketika aku menyeretmu, jangan salahkan aku jika lenganmu putus dari tanganmu. Aku tidak bercanda!" Ancamnya.Membuang nafas kasar, Jia bangkit dari duduknya. Menghadiahkan senyum palsu singkat sebelum mengangkat tangannya dengan satu jari tengah yang di acungkan, lalu mengumpati Revandro. "Shit! My middle finger like you!" Kemudian melangkah lebar mendahului Revandro yang tersenyum kecil, terlihat jelas menahan tawanya.****"Kau mau membawaku kemana?" Tanya Jia yang berjal
Bukannya takut, Jia malah terlihat tidak peduli. Ia bahkan terus mempertahankan ekspresinya yang memandang remeh Revandro, "oh, aku jadi penasaran. Apakah yang akan kau lakukan jika kesabaranmu itu habis?""Kau cukup mengenalku Jia. Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu,""Membunuhku, kah?" Revandro bungkam tidak menjawab, matanya menubruk retina terdalam Jia yang tampak api kobaran amarah yang semakin besar di sana.Berikutnya ia menunduk, menjatuhkan pandangannya pada jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Sudah waktunya, kegiatan inti yang harus ia lakukan sebelum malam semakin larut.Bangkit dari posisinya, merapikan jasnya. Sorot mata Revandro yang tajam menenang, "berdiri. Ikut aku," katanya dengan nada tenang."Kalau aku tidak mau, bagimana?""Kau ingin kuseret Jia sayang?""Dasar tidak waras, begitukah caramu membuatku jatuh cinta padamu?"Revandro tersenyum lembut penuh arti, "aku tidak peduli, mencintaiku adalah pilihanmu jika tidak ingin terus menjadi tawanan di