Apa?Kau enggak berpikiran kalau kuberitahu semuanya kepada Rose secara gamblang, bukan?Kalau iya, maka kau lebih tolol dari udang—eh, apa udang itu tolol, ya? Entahlah, otaknya kecil, tapi aku juga bukan ahli eksotis, jadi … cari tau sendiri, deh.Karena pertama, itu tindakan gegabah.Aku emang bakal dapat pengakuan, tapi dalam konteks negatif.Rose menganggap ini sebagai bencana dan mengira penyakitku sudah mencapai stadium akhir. Memberitahunya ke Lucian. Lucian mulai mendiskusikannya bersama Afie, memutuskan apakah sebaiknya aku segera disembelih atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa terdekat—bentar, zaman ini udah ada belum, ya?Semuanya bakal jadi runyam.Yang kubutuhin lagian cuman selembar kertas, dokumen, atau perkamen. Dan alat tulis.Lagian, aku cuma butuh diakui oleh satu pihak yang paling penting: diriku sendiri.Oke.Mari kita mulai.Mulai dari mana, enaknya, hm.Nama.Ya. Nama.Namaku Nadia Yolanda.Aku lahir 16 Juni 1996, jadi menurut perhitungan tahun dunia nyata, seh
“So … em … aku masih enggak ngerti apa yang terjadi. Kamu ngelabrak para pengajar, kamu hampir ditahan, dan tiba-tiba aja nilaimu enggak valid?”Jean berheni dan berbalik. Menggeleng-gelengkan kepala. “Intinya aku dicurangi. Dan jangan dibahas lagi. Mending kita fokus.”“Fokus?” Hari baru aja menjelang dan lorong masih sepi. “Fokus untuk apa?”Jean menghela napas dan menatapku seolah tengah menghadapi bayi tolol korban ibu pecandu alkohol. “Kontes Kecakapan itu butuh lebih dari dua orang. Minimalnya bahkan mesti empat.”“Oke.” Yang itu mah aku juga tau.Eh. Bentar. Jangan bilang … “Kamu belum punya ide untuk ngajak siapa lagi?”“Kirain kamu punya.”Huft …Anak ini.Kalau dia enggak punya potensi yang bisa kujadikan jaminan dan kumaanfatkan kedepannya, udah kusingkirin sejak awal.“Minggir!”Uahh!Dasar orang gak sopan!Apa-apaan, sih, teriak-teriak ngagetin pagi-pagi gini.Itu … ternyata mereka.Siapa lagi kalau bukan rombongan Irene. Dan seperti biasa, gadis itu diapit Sara, si cewek
“Lucian enggak bisa diharapkan.” Maksudku, liat aja sikapnya tadi. Dan lawan kami Putra Mahkota? Kayakynya gagasan kalau aku enggak nyata mulai terdengar lebih masuk akal. “Bagus. Kita enggak butuh dia.” “Jean bener. Cukup kita bertiga dan udah terwujud keluarga bahagia. Menakjubkan. Mereka masih sama seperti sebelumnya. Jean masih keras kepala. Dan Arsenault adalah Arsenault. Kombinasi yang sempurna. Ck! Lucian kayaknya ada benernya. Aku mesti lebih pilih-pilih cari sekutu lain kali. “Lagian, apa, sih, Kontes Kecakapan itu?” Kenapa semuanya dibikin rumit? Dari format yang dijabarkan, rasanya tes ini bisa dilakoni perorangan. “Kamu mesti mulai mandiri, Dawver. Instruksi dan petunjuk itu ada untuk dibaca.” Tapi, Jean akhirnya jelasin juga. Jadi … itu terdengar rumit dan berbelit-belit—apa semua kutu buku kerjaannya selalu mempersulit sesuatu agar mereka keliatan lebih pintar, ya? Sekarang rasanya aku ngerti kenapa kebanyakan dari mereka dirundung. Anyway, singkatnya: ini
Huft … Enggak sia-sia rasanya aku ikut seminar mingguan kantor. Meski topiknya bikin bosen setengah mampus dan pengisi acaranya cuma motivator ecek-ecek, aku dapat beberapa pelajaran berharga. Salah satunya adalah gimana cara bikin orang mau melakukan apa yang kita mau. Cerita menarik: ternyata mudah. Giring pemikiran mereka hingga mereka berpikir kalau itu keinginan mereka. Anakmu enggak mau belajar? Sita fasilitasnya dan mulai biasain dia jogging lima kilo sehari. Karyawanmu males-malesan dan enggak produktif? Kasih dia seminar gak guna yang durasinya lama dan sensasi boseninnya bahkan lebih buruk dibanding dikurung di neraka. ‘Temenmu’ enggak mau ngelakuin tugas mereka? Well, kasih tau kalau pilihan yang menanti cuma dropout, menggelandang, dan jadi pecundang. Ada gunanya juga konsep dualisme moral gini, ya. “.… Kebangaan, keagungan, dan kemuliaan abadi. Tentu aku anggap semboyan negeri kita tercinta ini sangat tangguh. Perkasa. Mencerminkan negeri sakti yang takkan pernah
Dan begitulah awal mula aku digiring menuju medan pertempuran asing yang bahkan lebih menyiksa dibanding perang asli ini.Tentu aku suka bergaul—hei, jangan samakan aku dengan sifat kutu buku dan pecudangmu itu, ya.Tapi, sekali lagi, untuk tujuan jelas.Tujuanku di dunia ini satu-satunya adalah untuk menjamin supaya masa depan yang menanti—kalau amit-amit aku mesti membusuk di sini selamanya—dan lebih giat lagi nyari tahu apa eksistensi Nadia Yolanda benar adanya.Hm … setelah kuliat-liat lagi, pesta ini enggak sekuno yang kubayangkan.Nah, beberapa dari kalian tentu pernah liat tayangan serial televisi amoral dari platform streaming negeri barat seputar kehidupan remaja.Pasti enggak jauh-jauh dari pesta pora. Narkoba. Dan seks—emang dasar bocah-bocah ingusan, punya hak apa coba mereka sok-sokan ngelakuin ini.Dan gambaran pesta ini enggak jauh dari yang divisualisasikan media mainstream.Hanya aja lebih halus. Lebih tenang. Dan lebih munafik.Aku tahu, pasti di beberapa sudut yang
“Anda bener-bner bikin saya khawatir, Nona. Bisa tolong jelaskan ke mana anda semalaman ini?”Entah multitasking adalah bagian dari kualifikasi pelayan abad ini, atau emang Rose ini manusia setengah robot.Ya … apa pun itu, dandanin sambil ngeinterogasi orang secara bersamaan seperti sekarang bukan pekerjaan mudah. “Enggak.”“Nona …”Huft …Bener juga.Gara-gara bergaul dengan Sean, aku jadi ketularan kebiasaan buruknya yang seakan bicara tanpa berpikir. “Seorang teman ngajak aku menginap semalam.”“Menginap? Tanpa izin terlebih dulu?”Duh … dia ini berisik banget, sih.Emangnya, dia siapa?Ibuku, kah?Well, dalam beberapa aspek, ya, sedangkan menurut aspek lain enggak.Lagian, ya, yang harusnya nanya-nanya begini adalah ‘keluarga’-ku.Tapi, Alfie sama Lucian anteng-anteng aja—dan agaknya kurang biasa.Entah mereka makin enggak peduli, atau ada kejadian lebih penting yang mesti dipikirkan.Oh. Kalau dipikir-pikir ada.Krisis ekonomi kami yang sampe sekarang masih mengarah ke jalan bun
Nah, bukannya aku enggak bisa bersyukur atau malah tamak. Tapi kadang sesuatu yang enggak biasa bisa bikin dirimu enggak nyaman.Tau tentang teori pembentukan kebiasaan selama 21 hari?Iya, iya.Tuh teori dah basi, dan enggak akurat juga—toh pencetusnya juga malah seorang ahli bedah alih-alih psikolog (ibaratnya seorang dokter gigi tanpa latar belakang olahraga apa pun tiba-tiba ditunjuk sebagai pelatih klub sepakbola).Namun, itu kayaknya yang paling pas diaplikasikan ke sini.Nasib buruk beruntun yang datang nyiptain semacam persepsi kalau aku bakal terus gagal.Meski di beberapa kesempatan langka, aku berhasil, tapi itu merupakan peluang yang udah kuprediksi.Ya … ini juga salah satunya, sih.“Jadi kamu bener-bener berhasil, Dik.”Meskipun tengah berada dalam kondisi yang bikin diri biasaku langsung muak—kembali sekereta bersama Lucian.Tapi, well … karena ini hari yang enggak biasa, jadi kurasa … oke …? “Sayang banget kelompokku enggak menang. Tapi, itu nyaris, mesti kuakuin.”Apr
“—dia … Nadia … Nadia …”“Hm? Hah? Kenapa?”Ibu dalam balutan gaun corduroy mocca kekikinannya tersenyum. “Kok kamu berhenti, tadi kamu mau bilang apa?”Bilang apa?Ah. Benar.Aku sedang di tengah jamuan makan malam super glamor di restoran bintang lima.Ayah berinisiatif mengajak kami ke sini sebagai semacam self-reward bersama setelah berhasil ngejatuhin rival bisnisnya dalam pergolakan pasar saham yang ketat.Itu pertarungan yang alot, menegangkan, dan sangat beresiko.Perusahaan Ayah emang merupakan korporasi multinasional yang memonopoli hampir semua bidang.Jaringan berita, platform streaming, parawisata.Untuk meyakinkan para pemegang saham mayoritas, Ayah bahkan mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk mengakuisi beberapa startup potensial, menciptakan citra baik di publik, dan membuat ‘aliansi’ dengan beberapa bekas rival bisnisnya.Meskipun kami mesti kehilangan banyak, tapi kami berhasil melalui itu.Sebagai keluarga.Sebagai suatu kesatuan yang kuat.Menuju akhir bahagia.“Ak
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w