Dan begitulah awal mula aku digiring menuju medan pertempuran asing yang bahkan lebih menyiksa dibanding perang asli ini.Tentu aku suka bergaul—hei, jangan samakan aku dengan sifat kutu buku dan pecudangmu itu, ya.Tapi, sekali lagi, untuk tujuan jelas.Tujuanku di dunia ini satu-satunya adalah untuk menjamin supaya masa depan yang menanti—kalau amit-amit aku mesti membusuk di sini selamanya—dan lebih giat lagi nyari tahu apa eksistensi Nadia Yolanda benar adanya.Hm … setelah kuliat-liat lagi, pesta ini enggak sekuno yang kubayangkan.Nah, beberapa dari kalian tentu pernah liat tayangan serial televisi amoral dari platform streaming negeri barat seputar kehidupan remaja.Pasti enggak jauh-jauh dari pesta pora. Narkoba. Dan seks—emang dasar bocah-bocah ingusan, punya hak apa coba mereka sok-sokan ngelakuin ini.Dan gambaran pesta ini enggak jauh dari yang divisualisasikan media mainstream.Hanya aja lebih halus. Lebih tenang. Dan lebih munafik.Aku tahu, pasti di beberapa sudut yang
“Anda bener-bner bikin saya khawatir, Nona. Bisa tolong jelaskan ke mana anda semalaman ini?”Entah multitasking adalah bagian dari kualifikasi pelayan abad ini, atau emang Rose ini manusia setengah robot.Ya … apa pun itu, dandanin sambil ngeinterogasi orang secara bersamaan seperti sekarang bukan pekerjaan mudah. “Enggak.”“Nona …”Huft …Bener juga.Gara-gara bergaul dengan Sean, aku jadi ketularan kebiasaan buruknya yang seakan bicara tanpa berpikir. “Seorang teman ngajak aku menginap semalam.”“Menginap? Tanpa izin terlebih dulu?”Duh … dia ini berisik banget, sih.Emangnya, dia siapa?Ibuku, kah?Well, dalam beberapa aspek, ya, sedangkan menurut aspek lain enggak.Lagian, ya, yang harusnya nanya-nanya begini adalah ‘keluarga’-ku.Tapi, Alfie sama Lucian anteng-anteng aja—dan agaknya kurang biasa.Entah mereka makin enggak peduli, atau ada kejadian lebih penting yang mesti dipikirkan.Oh. Kalau dipikir-pikir ada.Krisis ekonomi kami yang sampe sekarang masih mengarah ke jalan bun
Nah, bukannya aku enggak bisa bersyukur atau malah tamak. Tapi kadang sesuatu yang enggak biasa bisa bikin dirimu enggak nyaman.Tau tentang teori pembentukan kebiasaan selama 21 hari?Iya, iya.Tuh teori dah basi, dan enggak akurat juga—toh pencetusnya juga malah seorang ahli bedah alih-alih psikolog (ibaratnya seorang dokter gigi tanpa latar belakang olahraga apa pun tiba-tiba ditunjuk sebagai pelatih klub sepakbola).Namun, itu kayaknya yang paling pas diaplikasikan ke sini.Nasib buruk beruntun yang datang nyiptain semacam persepsi kalau aku bakal terus gagal.Meski di beberapa kesempatan langka, aku berhasil, tapi itu merupakan peluang yang udah kuprediksi.Ya … ini juga salah satunya, sih.“Jadi kamu bener-bener berhasil, Dik.”Meskipun tengah berada dalam kondisi yang bikin diri biasaku langsung muak—kembali sekereta bersama Lucian.Tapi, well … karena ini hari yang enggak biasa, jadi kurasa … oke …? “Sayang banget kelompokku enggak menang. Tapi, itu nyaris, mesti kuakuin.”Apr
“—dia … Nadia … Nadia …”“Hm? Hah? Kenapa?”Ibu dalam balutan gaun corduroy mocca kekikinannya tersenyum. “Kok kamu berhenti, tadi kamu mau bilang apa?”Bilang apa?Ah. Benar.Aku sedang di tengah jamuan makan malam super glamor di restoran bintang lima.Ayah berinisiatif mengajak kami ke sini sebagai semacam self-reward bersama setelah berhasil ngejatuhin rival bisnisnya dalam pergolakan pasar saham yang ketat.Itu pertarungan yang alot, menegangkan, dan sangat beresiko.Perusahaan Ayah emang merupakan korporasi multinasional yang memonopoli hampir semua bidang.Jaringan berita, platform streaming, parawisata.Untuk meyakinkan para pemegang saham mayoritas, Ayah bahkan mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk mengakuisi beberapa startup potensial, menciptakan citra baik di publik, dan membuat ‘aliansi’ dengan beberapa bekas rival bisnisnya.Meskipun kami mesti kehilangan banyak, tapi kami berhasil melalui itu.Sebagai keluarga.Sebagai suatu kesatuan yang kuat.Menuju akhir bahagia.“Ak
Aku baru aja jadi pembunuh dan rasanya melegakan.Jangan salah.Aku bukan psikopat atau sejenis orang sinting yang bakal menjustifikasi kalau tindakanku beralasan.Well, meski emang beralasan, sih.Tapi, apakah aku bener-bener membunuh?Pada akhirnya, semua kejadian aneh barusan cuma mimpi.Bagian dari imajinasi yang terlalu liar.‘Tapi, apa benar begitu?’ Aku seakan masih mendengar suara-Nya berbisik dari kejauhan.Entah wujud siapa yang Dia pakai.Kalau gitu, semua yang terjadi barusan itu nyata?Aku bakal di sini selamanya?“Nona? Nona? Nona?” Terdengar tiga ketukan di pintu.Aku menyuruhnya masuk tanpa berpikir.Untung yang datang ternyata cuma Rose—ada apaan, sih, denganku sejak bangun ini?Mana kewaspadaan yang kubangga-banggakan itu?“Nona, Tuan Lucian meminta anda untuk—” Rose memekik. “Oh, demi Yang Maha Tinggi. Nona, anda enggak apa?”Hah?Em …Ya ... setelah ngalamin hal luar biasa seperti tadi, pasti setiap orang bakal kacau, ‘kan.Otakku panas. Dan akal sehatku dipertanya
Malam ini, aku bukan diriku.Huft …Aku udah bersikeras untuk menolak, tapi sepertinya sudah jadi naluri alami bangsawan untuk pura-pura enggak dengar.Maksudku, coba lihat kaca sekarang.Yang mewujud di sana bukanlah seorang gadis biasa yang pernah berkata kalau dia bukanlah siapa-siapa, melainkan seorang titisan putri dari kahyangan.Pangeran Zack memang bilang akan memberiku suatu hadiah, “Anggap aja ini hadiah selamat atas keberhasilan kalian.”Satu setel gaun maroon dan alas kaki tertutup yang permukaannya cukup tipis berwarna hitam.Ketika mendapatinya pertama kali, itu merupakan pakaian yang sederhana.Sebuah gaun enggak akan melukai siapa pun, ‘kan?Tapi, ketika kini benar-benar mengenakannya, itu nampak sangat glamor.Aku enggak tahu kalau di dadanya terdapat semacam bros harimau mengaum keemasan, serta beberapa pernak-pernik pelengkap lain.Dasar bangsawan. Mereka semua berlebihan.“Hei … mau sampai kapan dandannya?” Bisa kudengar Ayah mengetuk dengan cukup jengkel.Dibila
Aku pernah baca tentang negeri yang luluhlantak.Konon, dulunya itu adalah tempat asri di mana semua orang berbagi kebahagiaan.Tempat di mana tawa tercipta. Air mata berakhir. Dan keajaiban dimulai.Hingga pada suatu hari, seorang pangeran bebal merusak semuanya.Konon, di sana, terdapat sebuah pedang penuh misteri yang tertancap di batang pohon. Ada beragam misteri yang mengelilinginya.Ada yang bilang, seseorang yang menariknya akan menjadi pimpinan sejati. Tapi, ada beberapa—yang disebut dongeng ini sebagai kaum paranoid—yang menganggapnya bakal merusak keseimbangan dunia.Pada akhirnya, pedang itu ditarik, dan kaum paranoid-lah yang benar.Bencana berdatangan. Tsunami menghantam. Gempa merobohkan semua bangunan. Longsor mengubur semua orang.Yang tersisa hanyalah reruntuhan. Juga sang pangeran yang terdiam dan merenung penuh penyesalan.Lupakan.Itu cuma semacam pengalih sementara untuk situasi kaos saat ini.Tugas seebagai seorang komandan pengawal utama Pangeran Devon mengharus
Kalau gak salah ada sebutan populernya.Call of the void apalah.Ketika dorongan melukai atau membunuh diri sendiri muncul secara tiba-tiba.Gagasan konyol yang dipungkas dari istilah yang lebih tolol.Bagi siapa pun yang merasa bersimpatik dan iba, lebih baik buang jauh-jauh perasaan enggak guna itu.Aku bukannya sedang depresi atau apa, tapi ini lebih ke refleks setelah dua kejadian luar biasa yang udah berlalu.Sekali lagi, kuakuin tindakanku salah.Meski Rachel ‘asli’ saat itu mewujud sebagai jiwa tanpa raga konkrit. Meski Rose pada dasarnya tak punya nilai apa-apa. Aku pun bisa merasa bersalah.Tapi, saat ini, aku bukan memotong rambut sebagai bentuk duka untuk pelayan pengkhianat sialan itu.Atau sang raja.Atau mungkin sisi kemanusiaan yang sepertinya mulai tergerus—lagian apa, sih, sisi kemanusiaan? Bukannya sebagai manusia, kita otomatis punya dan akan selalu punya?Enggak dan enggak.Ya … ini tiba-tiba, tapi Alfie ikut meninggal—aku juga bingung, apa mati sekarang mulai jadi
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w