Aku emang ngelakuin banyak kekeliruan.Awal dan puncaknya adalah terlahir sebagai putri dari dua beban masyarakat.Dan banyak lainnya.Karena, lagian, meski punya wajah sesempurna bidadari dan tabiat semulia malaikat, aku masih manusia yang akan selalu punya cela.Tapi, yang tadi itu bukan salah satunya—kurasa.Bentar.Kuingat dulu.Jadi, di mata uji ketiga celaka itu, kami kedapatan disuruh mengarang puisi bebas—padahal, seingatku nih akademi meski isinya cuma sekumpulan remaja tolol dan sepuh bau tanah kolot yang moralitasnya perlu dipertanyakan, seenggaknya mereka punya satu visi masuk akal: melahirkan generasi pemimpin bermartabat, bukannya pengangguran sok tau yang kerjanya cuma mendulang mimpi dan ngehalu.Belibet?Dasar pemalas merepotkan.Gini, biar kusingkat.Bukannya menyinggung, tapi penyair nyataanya gabungan antara parasit dan sampah.Tapi, well, sebagai orang yang udah profesional sejak dini, aku tetap kerjain.Walau itu perintah yang gak manusiawi. Walau itu instruksi y
Ya.Aku tau.Itu tindakan sembrono.Tempat berhenti kami adalah lingkungan antah-berantah.Kalau James punya sedikit kepintaran, mungkin aku yang udah jadi mayat.Tapi, apa yang kamu harapin dari rakyat jelata yang hidup ketika demokrasi belum populer?Seenggaknya, sekarang agak tenang sedikit dunia.Itu jalanan berliku yang jauh banget.Keluar hutan. Masuk hutan. Naik bukit. Turun pegunungan.Apa dunia ini punya semacam roh mistis pendengki yang suka menyesatkan, atau kusir gak gunaku emang buta jalan?“Sudah sampai, Nona,” sahut James begitu aku ingin melabraknya lagi.Hm. Nada barusan terdengar lebih formal, lesu, dan … takut?Aku tau sebagian besar cowok itu bego, tapi lebih bego lagi cowok zaman dulu.Aku turun tanpa disuruh dan tiba-tiba saja berhadapan dengan rumah hantu.Eh bukan, pondok angker.Eh bukan. Bukan.Bentar.Benar ini lokasinya?Kuambil petanya dulu.Benar, kok.Seakan membuktikan sekaligus menyanggah kecurigaanku, pintu bangunan nyaris runtuh itu terbuka dan dari
Ingat ketika kubilang semua ini hanyalah mimpi buruk yang kepanjangan?Kurasa begitu.Kurasa, awalnya, aku baru aja pulang dari jam lembur yang bikin otak hampir meledak.Bersama sejumlah orang-orang menyusahan yang mesti kusebut ‘kolega’ (dalam bahasa halusnya, sih: teman kerja, tapi mana sudi aku sebut mereka teman).Sekumpulan orang tolol yang cuma puas akan satu tujuan.‘Asal kebutuhan rumah cukup. Asal dapur masih ngebul. Asal besok masih bisa makan.’Cuih!Kuperingatkan, ya.Yang namanya ‘cukup’ cuma mitos.Cuma ada ‘kurang’ dan ‘kaya.Bakal selalu ada tuntutan lain. Bakal selalu ada kemalangan yang gak terduga.Mereka yang ngebatasin diri seperti itu cuma bakal jadi seonggok pion dalam papan catur yang lebih besar.Sesuatu yang gak signifikan.Sesuatu yang bakal disingkirin kalau udah gak berguna.Dan figuran kayak mereka berani berpikir untuk ngekritisin aku?Ya … bodo amat juga, sih.Pendapat mereka sama gak pentingnya kayak lalat di tong sampah. Dan itu juga bukan kejadian
Aku direndahkan.Diinjak-injak.Ditelanjangi.Oke.Yang dua awal itu emang gak terjadi secara harfiah, tapi yang ketiga iya.Pakaianku dilucuti.Kupikir itu sejenis sopan santun dan pengabdian klasik bawahan ke majikan—Rose juga bersikeras untuk memandikanku di ‘rumah’ dan mesti kubentak berkali-kali hingga akhirnya dia inisiatif berhenti.Tapi, enggak.Enggak ada air.Enggak ada sabun atau pembersih badan yang digunakan.Aku bahkan gak dituntun menuju kamar mandi.Ada prasangka kalau nyatanya tujuanku terbongkar—setelah mendengar omongan York yang selalu samar beberapa saat lalu, bisa kusimpulkan kalau si nenek sialan itu juga ketangkap.Itu kabar bagus.Aku bahkan sempet minta untuk dibawa ke tempat apa pun itu di mana si nenek ditahan.Biar bisa kulempar batu, kuukir wajahnya dengan kayu tajam, dan mencekiknya hingga hampir mati.Tapi, aku malah dilarang dan mereka berkata, “Itu gak penting, Nona. Kita akan melakukan hal besar hari ini.”Karena kata-katanya jadi terlalu menyenangka
“Saya rasa itu aja, Folkstein.”“Maaf?” Rasanya aku bahkan belum melakukan apa-apa.Yang kami lakukan selama sepuluh menit ini cuma bertukar kabar. Berbincang basa-basi yang tak mengarah pada apa pun, dan … selesai.“Itu aja?”Tuan Dylan mengangguk dan tersenyum. “Saya sungguh senang mendapati generasi muda kami sudah mempertimbangkan baik-baik bagaimana dia bisa berkontribusi pada masyarakat. Itu modal yang signifikan. Terutama untuk anda.”Dia membicarakan ‘berkah’ yang kumiliki.Tentu aja, ini sudah jadi rahasia umum di kalangan pelajar.Lebih-lebih, pria di depanku inilah yang ngasih Ayah surat rekomendasi eksklusif. “Itu berarti … saya lolos?”“Saya enggak bisa menjanjikan apa-apa.” Tuan Dylan berdeham. “Tapi, bisa dibilang, sejauh ini, hampir semua orang mendapat hasil impresif.”“Be-begitu …” Kata ‘tapi’ itu masih bikin aku gelisah. “Kalau saya … kalau saya lulus dari sini, apa Tuan bisa ngasih surat rekomendasi ke Guardian Dorm?Akademi Andromeda memang menjadi institusi pend
Aku salah.Sejak awal, seharusnya tak kuikuti arahan nenek sesat itu.Lagian, kalau dipikir-pikir, rasanya semuanya terasa sangat mustahil.Nyulik putri seorang bangsawan aja udah gila. Belum lagi mesti berurusan dengan para pedagang budak.Cih. Orang-orang berengsek gak bermoral itu.Tetapi, mesti diakui, untuk suatu pekerjaan kecil dan instan, hasilnya sangat menggiurkan. Maksudku, siapa yang bisa nolak?Dan ketika diberitahu, rencananya benar-benar tersusun matang.Kapan dia akan datang, bersama siapa, dan di mana kira-kira spot paling krusial untuk menyeludupkannya ke luar negeri.Prediksinya hampir akurat hingga terasa mengerikan. Seolah dia tahu dan sadar apa yang akan terjadi. “Katakan.” Suaraku mengalun serak.Entah udah berapa lama aku mendekam di sini.Dikerubungi kegelapan, tikus, kotoran, dan bau pesing; semua hal mulai terasa sureal.Wewangian tak sedap dan dingin yang mencekik membuatku tak bisa tidur.Apa Isabelle dan Anna juga ngalamin kemalangan yang sama.Dibiarin ke
Nyatanya, punya kuasa segede gaban, enggak berarti orang lain bakal nurut gitu aja.Iya, ini tentang proses ekskeusi orang-orang sialan itu.Ada pengadilan, sesuatu merepotkan bernama hak pembelaan diri, dan—ternyata—menghukum mati banyak orang bakal dipandang sebagai genosida—tindakan keji yang dibenci dewa dan segenap manusia.Sementara mereka mengglamorkan perang dan invasi.Dasar sekumpulan masyarakat munafik.Hambatan terbesar adalah anak-anak—di mana-mana, mereka ini emang menyusahkan.Anak dianggap sebagai keberadaan tak berdosa, mulia, dan tak pantas menanggung kesalahan orang tuanya.Cih!Aku enggak ngerti pemikiran orang-orang ini.Kalau kubiarkan mereka hidup sebatang kara, cuma bakal ada kesengsaraan yang menanti.Kelaparan. Kesepian. Ketidakpastian.Jika diganderungi hal mengerikan itu terus-menerus, kematian lebih nampak seperti suatu anugerah, ‘kan.“Bisa lebih cepet?” Selanjutnya, kuserahin aja perkara ini ke Lucian atau Alfie. Toh itu gunanya laki-laki, dan ada satu h
Apa?Kau enggak berpikiran kalau kuberitahu semuanya kepada Rose secara gamblang, bukan?Kalau iya, maka kau lebih tolol dari udang—eh, apa udang itu tolol, ya? Entahlah, otaknya kecil, tapi aku juga bukan ahli eksotis, jadi … cari tau sendiri, deh.Karena pertama, itu tindakan gegabah.Aku emang bakal dapat pengakuan, tapi dalam konteks negatif.Rose menganggap ini sebagai bencana dan mengira penyakitku sudah mencapai stadium akhir. Memberitahunya ke Lucian. Lucian mulai mendiskusikannya bersama Afie, memutuskan apakah sebaiknya aku segera disembelih atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa terdekat—bentar, zaman ini udah ada belum, ya?Semuanya bakal jadi runyam.Yang kubutuhin lagian cuman selembar kertas, dokumen, atau perkamen. Dan alat tulis.Lagian, aku cuma butuh diakui oleh satu pihak yang paling penting: diriku sendiri.Oke.Mari kita mulai.Mulai dari mana, enaknya, hm.Nama.Ya. Nama.Namaku Nadia Yolanda.Aku lahir 16 Juni 1996, jadi menurut perhitungan tahun dunia nyata, seh
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w