Saat ini mereka sudah baris di belakang garis start. Aba-aba sudah di dengar dengan ragu-ragu Fia meniup balon di tangannya. Fia terus meniup balon itu tapi masih kalah cepat dengan regu yang lainnya.
“Fia ayo semangat” kata Lida dengan raut wajah menyemangati.
“Ayo Fi buruan” kata Liza dengan raut wajah gereget.
“Segini?” tanya Fia sambil menyodorkan balonnya ke arah teman seregunya. Terlihat balon itu masih terlihat cukup kecil, nafas Fia semakin pendek.
“Kurang Fia, ayo tiup lagi” kata Putri dengan nada suara kesal.
Mendengar perkataan Putri barusan Fia hanya bisa diam dan kembali meniup balon tadi. Anggap saja Fia cupu karena tak bisa mengutarakan keinginannya.
“Udah, gue capek” kata Fia saat baru meniup balon tadi beberapa saat karena dadanya mulai terasa sakit.
“Masih kecil itu, tiup lagi!” kata Liza dengan nada suara kesal saat mendengar perkataan Fia.
Mendengar penjelasan dari sang kakak pembina membuat raut wajah mereka menjadi panik dan cemas.“Ini masih bisa di tangani kalian tenang saja” kata seseorang yang baru saja sampai, sepertinya dia tenaga kesehatan.“Yang akan ganti ‘in dia siapa? Lomba akan segera di mulai” kata sang kakak pembina dengan datar.“Biar gue aja” kata Lulu dan mulai bangkit dari duduknya dan berlari ke arah teman seregunya berada.Lomba pun di mulai, seperti kejadian tadi bukanlah sesuatu hal yang bisa mengganggu.Di lain sisi.Tubuh Fia mulai di dudukkan dan punggungnya di senderkan di kaki sang tenaga kesehatan. Posisi kaki tadi sebagai penyanggah dan kepala Fia sedikit di dongakkan. Dengan perlahan sang tenaga kesehatan mulai memberi instruksi untuk Fia untuk mengendalikan sesak yang ada di dadanya. Dia di suruh untuk mengambil nafas secara perlahan.“Kamu kendalikan emosimu, jangan berpikir negatif. Tenan
Malam harinya, saat ini Fia sedang duduk termenung di dalam mes. Malam ini tak ada kegiatan karena semua kegiatan sudah di selesaikan tadi sore. Besok siang mereka akan pulang ke rumah masing-masing dan besok mereka di bebaskan untuk jalan-jalan di dekat perkemahan.Dengan perasaan lesu Fia melihat ke dalam ponselnya dan Jam menunjukan pukul 19.06, setelah itu dengan gerakan tenang Fia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari mes sendirian. Karena semua teman regunya sedang keluar dan Fia juga sudah terbiasa dengan kesendirian, jadi dia tak ambil pusing jika dia di tinggal sendirian oleh seseorang. Saat ini Fia berjalan sendirian di tengah gelapnya malam. Bukannya merasa takut akan kegelapan, Fia malah merasa tenang dan nyaman.Fia terus berjalan di jalan setapak yang ada di belakang mes, dengan pencahayaan dari lampu senter ponsel, Fia mulai berjalan mengikuti arus. Fia terus berjalan hingga tanpa sadar pandangannya tertuju ke kebun kosong di samping kirinya, ke
Lama mereka saling diam akhirnya ada yang memecahkan dinding kecanggungan itu.“Gak patroli?” tanya Fia tanpa menatap ke arah Arif.“Enggak, ini waktunya pembina istirahat” ucap Arif dengan kekehan di akhir kalimat.“Oh” balas Fia sambil menganggukkan kepala paham.Setelah itu kesunyian kembali menerpa mereka tapi hanya untuk beberapa saat.“Menurut lu gue itu orang yang kayak gimana?” tanya Fia dengan nada suara lirih dan sorot mata yang masih menatap ke arah depan dengan tatapan hampa dan kosong.“Lu aneh,” ucap Arif menjawab pertanyaan Fia barusan.Mendengar perkataan Arif barusan membuat Fia menatap ke aranya dengan sekilas dan raut wajah tak suka.“Iya lu aneh, lu cewek teraneh yang pernah gue temui” ucap Arif dengan tenang dengan senyum gelinya.“Sulit bagi gue buat paham tentang sifat lu, kasih gue bocoran kek biar bisa lebih paham tenta
Pagi harinya, saat ini Fia sudah siap-siap dengan jaket yang melekat di tubuh rampingnya. Dengan gerakan tenang Fia keluar dari tenda dan berjalan menuju ke arah tempat Arif menunggu.Beberapa menit kemudian Fia sampai di tempat yang di maksud dan sudah mendapati sosok Arif tak jauh darinya.“Lama?” tanya Fia dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Enggak, baru aja sampai” balas Arif dengan senyum manisnya.“Ayo” ucap Arif dengan senyum manisnya dan menggenggam tangan kanan Fia dengan erat. Fia yang di perlakukan seperti itu hanya diam membisu.“Semoga aja gak telat” ujar Arif dengan bahagia, entah apa yang membuatnya sebahagia ini.“Hm” balas Fia sekenannya. Kepala Fia tak bisa berhenti, dia menatap ke sekelilingnya dengan raut wajah datar sambil menikmati udara dingin yang menerpa wajahnya. Mereka terus berjalan dengan tangan yang terus berpegangan.“Mau denger musik?&rdqu
Lama mereka berdiam diri di sana hingga suara dari Arif membuyarkan lamunan mereka.“Udah lumayan siang, mau lanjut jalan atau di sini?” tanya Arif sambil menatap ke arah Fia dengan raut wajah bertanya.“Mau ke mana lagi?” tanya Fia dengan heran.“Ke sana” ujar Arif sambil menunjuk ke arah jalan yang ada di bagian kiri mereka.Fia menatap ke arah yang di tunjuk oleh Arif, dengan heran Fia menatap ke arah Arif.“Di sana ada apa?” tanya Fia dengan heran.“Udah ikut aja” ucap Arif dengan senyum misterius dan mulai menarik tangan Fia untuk mengikuti langkahnya.Sepertinya Arif sangat pandai memanfaatkan keadaan, contohnya seperti saat ini. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggenggam tangan Fia walau hanya satu detik.Mereka berjalan dengan langkah tenang dengan senyum manis yang ada di wajah Arif menambah suasana cerah di sekitar mereka.Fia menatap ke sekel
Setelah perdebatan kecil di antara mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali berjalan menurun hingga sampailah mereka di danau kecil. Pandangan Fia terfokus ke arah dua pohon besar yang berdampingan. Kedua pohon itu seperti sebuah gerbang masuk menuju danau, akar-akar yang menjuntai ke tanah menambah kesan tersendiri dari kedua pohon itu. “Gue kira kalau pagi hari jadi tempat romantis ternyata masih serem” ucap Arif sambil menatap ke arah depan dengan raut wajah lesu.“Gue ikut prihatin” kata Fia sambil menatap wajah lesu Arif dengan senyum geli dan menepuk bahu Arif tiga kali.“Ck, makasih” ucap Arif dengan raut wajah kesal dan menatap Fia sinis.“Lu gak cocok sama ekspresi kayak gitu” ucap Fia dengan tenang dan mulai berjalan menuju kedua pohon beringin tadi. Saat Fia berjalan di tengah-tengah pohon itu entah kenapa dia merasakan angin menerpa wajahnya hingga membuat Fia menutup mata. Angin y
“Butuh senderan?” kata Fia sambil menatap Arif dengan senyum manisnya.Mendengar perkataan Fia barusan membuat Arif menatap ke arah mata Fia lamat-lama untuk mencari rasa kasihan di matanya tapi bukannya rasa kasihan, yang dia dapat malah perasaan tulus. Dengan gerakan pelan Arif mulai menaruh kepalanya di bahu kecil Fia.“Makasih” ucap Aruf sambil menutup matanya saat merasakan nyaman di bahu kecil Fia.“Hm” balas Fia sambil menatap ke arah depan menerawang.“Baru kali ini gue cerita sama orang lain tentang masalah hidup gue” ucap Arif tanpa membuka matanya.“Kenapa?” tanya Fia dengan raut wajah datar dan mata yang masih setia menatap ke arah depan.“Gue takut, akan respons mereka. Banyak orang yang pasti menatap gue kasihan setelah denger cerita gue,” ucap Arif dengan mata yang mulai terbuka dan menatap ke arah depan.“Tapi gue gak lihat rasa kasihan di ma
Siang harinya mereka sudah bersiap-siap untuk pulang, semua Siswa/i sudah menaiki kendaraan yang akan membawanya ke sekolah.Di sepanjang perjalanan banyak canda tawa yang menghiasi, tapi ada beberapa yang hanya diam sambil menikmati dunianya sendiri, Fia dan Disa contohnya. Fia yang sudah tertidur sedangkan Disa sedang melamun entah memikirkan apa.‘Apa yang gue pikir ‘in’ batin Disa sambil menggelengkan kepalanya cepat untuk menyingkirkan pikirannya tadi. Setelah itu dia mulai menatap ke arah jendela dengan raut wajah datar dan kosong.Di lain sisi.Fia masih tidur dengan nyaman hingga beberapa detik kemudian ada guratan tak nyaman di wajah Fia. Saat ini Fia duduk sendiri di kursi belakang guru, entah ke mana pasangan duduknya.Di alam bawah sadar Fia.“Gue di mana?” gumang Fia saat melihat sekelilingnya.Banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi serta ada jalan setapak yang menyuruhnya untuk berjalan me
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu