Mereka diam membisu hingga angin yang cukup kencang menerpa mereka. Daun-daun kering beterbangan searah dengan angin berembus. Tak lama, suara burung gagak mulai terdengar. Ketiga orang tadi yang mendengar suara burung gagak yang saling bersahutan mulai membalikkan badan. Dengan rasa hormat, mereka berjongkok seperti memberi salah yang ada di film, tentang anak buah memberi salam kepada tuannya.Fia mengamati semua itu dalam diam, tak ada niatan untuknya mengatakan apa pun. Tak lama matanya mulai menangkap sosok yang berjalan keluar dari gelapnya hutan. Sosok itu berjalan dengan anggunnya, sosok yang sama dia lihat di ruangan tadi. Ternyata itu tuan dari ketiga sosok di depannya.Fia menatap sosok yang baru sampai dengan sorot mata waspada dan tubuh siaga.Sosok wanita tadi semakin mendekat ke arah Fia dengan senyum misterius. Sosok tadi berhenti beberapa langkah di depan Fia.“Salam Nyai Arawinda” ucap ketiga anak buahnya dengan rasa penuh hormat dan di balas oleh Nyai Arawinda denga
Dengan kasar Nyai Arawinda menarik tangannya dan menatap sosok Clesia dengan sorot mata tajam.Fia menatap ke arah Clesia dengan raut wajah heran dan bertanya.'Kenapa dia bisa di sini?' batin Fia dengN raut wajah heran.“Siapa kau?” tanya Nyai Arawinda dengan raut wajah geram.“Berani kau menyentuhnya, maka kau akan berurusan dengan ku sialan” desis Clesia sambil menatap ke arah Nyai Arawinda dengan sorot mata penuh ancaman.“Apa kau kira gertakanmu bisa membuatku takut?” ucap Nyai Arawinda dengan senyum remeh.Clesia yang mendengar itu sedikit mengeram karena kesal, dengan tajam dia menatap Nyai Arawinda.“Cih!” decih Clesia dengan tak sudinya. Setelahnya dia menyerang Nyai Arawinda tanpa mengatakan apa pun.Nyai Arawinda yang melihat pergerakan Clesia mulai menangkis serangan itu dengan selendangnya. Tanpa menunggu waktu lama perkelahian antar Clesia dan sosok wanita tadi tak bisa terelakkan lagi.Mereka menyerang dengan penuh nafsu, tak ada yang mau mengalah satu dengan yang lainn
Fia masih berusaha mengendalikan pikirannya yang mulai kosong, seperti pikirannya di kendalikan oleh seseorang. Dia masih mencoba hingga suara seseorang masuk ke dalam otaknya.‘Tarik nafas dan keluarkan, lakukan itu dengan beraturan. Setelah mulai tenang kendalikan pikiranmu kembali’ ucap orang itu yang menggema di dalam otaknya.“Paman” gumam Fia tanpa suara.Yah, suara tadi adalah suara pamannya, paman Fia membimbingnya dari jarak jauh. Dia juga mengawasi Fia dari sana.Fia mulai menerapkan perkataan pamannya, dia mulai menutup matanya dan mengatur nafasnya, setelah merasa tenang Fia mulai kembali mengatur pikirannya yang mulai kosong sedikit demi sedikit.Nyai Arawinda mengernyitkan dahinya saat merasakan perlawanan dari Fia, ada raut wajah tak suka di wajahnya. Dengan sorot mata datar Nyai Arawinda menatap ke sosok Fia yang masih berada di atas tanah.Dengan perlahan dia mulai menggerakkan tangannya ke arah dahi Fia. Saat tangan itu menyentuh dahi dingin Fia, tanpa di ketahui Fia
Sosok Arawinda masih berdiam diri di tempat dengan mata yang terfokus ke arah sepasang suami istri tadi.“Lepaskan aku sialan! Aku membutuhkan uang! Aku ingin bertanding ayam dan minum-minum!” ucap sang lelaki sambil mengentakkan tangan sang istri yang memeluk kakinya dengan kasar, hingga membuat sang istri terjatuh di atas tanah dengan kondisi sangat menyedihkan.Nyai Arawinda menatap sosok wanita di depannya dengan sorot mata tanpa emosi dan bergumang,“Lemah” gumam Nyai Arawinda sambil mengalihkan pandangannya dari sosok wanita yang sedang menangis pilu itu.Fia yang melihat itu sedikit iba, tapi rasa iba itu dia tepis dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh. Setelahnya dia mulai menjentikkan jarinya dan membawa mereka ke sebuah ruangan dengan nuansa tradisional.“Tuan, saya mohon. Berikan anak saya” ucap wanita tadi sambil memeluk kaki seorang pria berumur.“Lunasi hutang suamimu dulu baru akan ku berikan anakmu” ucap laki-laki tadi sambil mengentakkan kakinya, membuat wanita tadi
Suara riuh dari penonton membuat suasana menjadi sangat ramai. Fia kembali menjentikkan jarinya, dan di sinilah mereka. Di depan rumah laki-laki yang menjadi tempat pergadaian anak dari wanita tadi.Di depan pintu rumah itu, ada sosok wanita tadi dengan raut wajah bahagia.“Tuan!” panggil wanita tadi dengan senyum mengembang indah.Tok.. tok... tok...“Tuan!” panggil wanita tadi dengan raut wajah tak sabaran.Tak lama pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok laki-laki tadi dengan raut wajah tanpa minat.“Ini tuan, hutang suami saya” ucapnya sambil menyerahkan sekantong koin ke arah laki-laki tadi.“Hm” balas sang lelaki dan menerima uang tadi dengan senyum puas.“Di mana anak saya?” tanya sang wanita dengan raut wajah tak sabaran.“Ck” decak kesal sang lelaki.“Ju! Bawa bayi itu ke sini!” ucap laki-laki tadi dengan nada suara keras.Dari arah belakang datanglah sosok pria dengan bayi di gendongannya.“Anak ibu!” ucap sang wanita dengan senyum semringah.Berbeda dengan sang wanita, p
Fia kembali menjentikkan jarinya dan mereka berada di dalam gubuk yang di tempati oleh sepasang suami istri tadi.Dari dalam gubuk terjadi perkelahian antara mereka berdua, suami istri tadi tak ada yang mau mengalah. Mereka saling membentak satu dengan yang lain. Entah apa masalahnya, yang pasti mereka berdebat sangat hebat.Nyai Arawinda menatapa sepasang suami istri tadi dengan sorot mata datar. Tanpa ada niatan, dia menatap mereka.Perkelahian tadi semakin hebat. Mungkin karena kesal dan geram, sang suami mengambil selendang yang ada di atas meja. Dengan raut wajah marah sang suami mencekik wanita tadi dengan selendang di tangannya.Mata sang istri sampai membola dan beberapa kali mencoba meraih tangan suaminya, dia berusaha melepaskan lilitan di lehernya tapi tak bisa karena kekuatan sang istri yang tak seberapa di bandingkan dengan kekuatan suaminya.Cukup lama sang suami mencekik leher istrinya dengan selendang, hingga tangan sang istri terjatuh di atas tanah dengan lemah.Sang
Fia mulai berjalan mengikuti langkah orang tadi dengan raut wajah penasaran. Langkahnya sangat hati-hati, takut ketahuan akan sosok di depannya.Fia masih mengikuti langkah orang tadi hingga sampailah dia di depan anak tangga bagian pojok. Di sana orang tadi mulai menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya secara tiba-tiba.Bagaikan ada pelekat di kakinya, Fia tak bisa melangkahkan kaki dari tempatnya saat ini.Dengan perlahan sosok tadi mulai mengangkat kepalanya, dengan jelas Fia melihat senyum sinis di bibir orang tadi.“Yara?” ucap Fia dengan raut wajah tak percaya.“Bodoh” ucap Yara dengan senyum sinis setelahnya dia berbalik badan dan berlari menaiki anak tangga, meninggalkan sosok Fia yang masih berdiam diri di tempatnya.“Bodoh? Apa maksudnya?” tanya Fia dengan raut wajah heran dan menatap ke arah depan dengan tanda tanya besar.Beberapa menit kemudian Fia sadar dari lamunannya dan mulai berjalan menaiki anak tangga dengan langkah pelan. Tangga di bagian pojok ini cukup
Sosok itu masih fokus memakan bangkai tadi, bahkan mulut kecilnya itu dengan lahap memakan daging busuk itu.Fia menatap ke sosok tadi dengan sorot mata jijik dan rasanya ingin memuntahkan isi perutnya.Dengan perlahan Fia mulai berjalan mundur dengan perasaan jijik dan mual. Tapi sepertinya kehadirannya telah di sadari oleh sang tuyul, nyatanya sang tuyul mulai menghentikan acara makannya dan mengedipkan mata beberapa kali. Tak lama kepala yang tadinya menunduk mulai terangkan dan dengan perlahan mulai menengok ke arah Fia berada.Saat melihat ke arah Fia, tuyul tadi mulai meletakkan bangkai tadi di atas lantai dengan perlahan.Mulut yang penuh akan darah menyugikan senyum dan tak lama suara tawa khas tuyul pun keluar dari mulutnya. Saat mulut tadi terbuka, gigi kecil tapi runcing yang berada di dalam mulut pun terlihat dan tak lupa darah yang terlihat di gigi dan mulutnya, menambah kesan jijik tersendiri. Fia menatap ke sosok tadi dengan raut wajah menahan mual.Sosok tadi mulai ban
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu