“Apakah mereka berhasil?” tanya seorang lelaki dewasa dengan raut wajah datar.“Hm” balas seseorang yang lebih tua darinya.“Lalu?” tanya orang tadi lagi.“Apa?” tanya lawan bicaranya, karena tak paham dari pertanyaan orang di depannya.“Lalu apa yang akan Ayah lakukan setelah ini?” tanyanya dengan raut wajah malas.“Tentu saja membiarkan mereka untuk menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya” balasnya dengan santai.“Ayah tak ada niatan untuk membantu mereka?” tanya orang tadi dengan raut wajah tak percaya.“Tentu saja membantu, tapi di balik layar” ucap ayahnya dengan raut wajah santai.“Dasar tua bangka” ucap orang tadi dengan kesal dan berjalan menjauh dari sana.“Anak itu tak ada hormat-hormatnya denganku” gumam sang ayah yang masih berdiam diri di tempat dan memperhatikan sosok anaknya yang mulai berjalan menjauh.DI lain tempat.“Kak” gumam Fiko dengan raut wajah sedih.“Kapan lu pulang?” ucap Fiko lagi dengan suara lirih.“Akhh! Kapan lu pulang kak?!” jerit Fiko sambil
Melihat sosok Yuan yang mulai terlelap, paman Fia mulai bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah rak buku yang ada di belakangnya.“Ikuti paman” ucap paman Fia sambil menatap ke arah Fia secara sekilas. Setelahnya dia mulai mencabut salah satu buku yang ada di sana hingga terbukalah jalan rahasia yang selama ini dia sembunyikan. Dengan patuh Fia mengikuti langkah pamannya dari belakang.Di sepanjang lorong mata Fia tak henti-hentinya menatap dengan takjub dengan pemandangan di sekitarnya.Bagaimana tak takjub, ini benar-benar seperti lorong-lorong di dalam gua dan Fia suka itu.Langkah pamannya mulai terhenti dan Fia tak menyadari itu. Dengan pelan kepala Fia membentur punggung belakang sang paman.“Eh?” kejut Fia saat melihat punggung pamannya di depannya.“Konsentrasi Fia” ucap paman Fia dengan datar.“Baik paman, maaf” ucap Fia dengan kepala menunduk, merasa menyesal. Setelah itu mereka kembali berjalan menyusuri lorong tadi, hingga sampailah mereka di titik pusat ruang rahasia
Fia mengambil alih pisau tadi dan mendekatkan ke jari telunjuknya. Dengan mata sedikit tertutup Fia mulai mengoreskan pisau tadi ke jarinya. Entah karena terlalu tajam atau dia yang terlalu menekan, intinya luka yang dia goreskan cukup besar. Nyatanya jarinya mengeluarkan darah cukup banyak.Melihat darah mulai menetes Fia dengan cepat membawa jarinya yang terluka ke arah kalung tadi dan meneteskannya ke tengah bandul yang berbentuk seperti matahari itu. Mungkin karena lukanya terlalu besar membuat darah yang menetes ke tengah bandul sebanyak dua tetes.“Hei” ucap sang paman dengan raut wajah sedikit kaget saat melihat seberapa banyak darah yang keponakannya teteskan ke kalung itu. Fia yang mendengar teguran dari sang paman hanya menatap dengan raut wajah bingung.“Bodoh” ucap sang paman sambil menarik jari keponakannya untuk menjauh dari kalung tadi. Bertepatan dengan itu, darah yang tadinya menumpuk di tengah-tengah bandul mulai terserah ke dalam kalung.“Kenapa?” tanya Fia dengan r
Saat sinar tadi mulai meredup sang paman mulai membuka mata dan menatap ke arah kursi keponakannya. Betapa terkejutnya dia saat tak mendapati sosok keponakannya dan melihat sosok itu sudah tergeletak di atas tanah dengan tak berdaya.“Astaga” ucap sang paman dengan raut wajah panik dan mulai berlari ke tubuh lemah Fia. Dengan sekali angkat paman Fia membawa sosok lemah itu ke dalam gendongannya dan berlari keluar ruangan, hingga melupakan kalung tadi.Di atas meja sudah terdapat kalung yang sangat cantik dan indah. Kalung perak dengan bandul kecil sama persis dengan lambang Surya Majapahit. Kalung yang terlihat elegan dan cantik dalam waktu bersamaan, berbeda dengan penampilan awal tadi. Tadi, sebelum Fia meneteskan darahnya kalung itu terlihat sangat kuno. Dengan benang hitam dan bandul yang cukup besar.Di lain sisi.Paman Fia berlari dengan sosok Fia di dalam gendongannya, dengan raut wajah panik dia menyusuri setiap lorong. Hingga sampailah dia di pintu masuk. Matanya langsung men
Fia duduk dengan raut wajah menahan pusing.“Di mana paman?” tanya Fia sambil menyenderkan punggungnya di senderan sofa.“Di sebelah, mau gue panggilin?” tawar Yuan dengan mata yang masih terfokus ke wajah Fia.“Enggak” balas Fia sambil menatap ke arah Yuan dengan sorot mata sanyuh.Keheningan mulai hadir di tengah-tengah mereka. Yuan yang bingung ingin berbicara apa sedangkan Fia sudah menutup matanya dengan tubuh dia senderkan di kepala sofa. “Kalung lu cantik” ucap Yuan sambil menatap ke arah kalung yang ada di leher Fia.“Hm?” gumam Fia dengan raut wajah heran. Dengan perlahan Fia mulai menatap ke arah lehernya dan di sana terlihat kalung perak dengan bandul Surya Majapahit.‘Kalung siapa?’ tanya Fia di dalam hatinya. Yuan yang menangkap raut wajah heran di wajah Fia sedikit bingung dan di juga baru sadar Fia memakai kalung.“Oh, sudah sadar?” tanya paman Fia di ambang pintu.“Yah” balas Fia dengan acuh tak acuh.Mendengar jawaban dari keponakannya yang seperti itu tanpa di ambil
Fia membuka pintu ruangan dengan perlahan, saat pintu tadi terbuka terlihatlah sosok Fiko yang duduk di atas berangka dengan raut wajah sedih. Sedangkan di sofa pojok ruangan ada sosok Alvin dan Sasa yang sedang makan.Saat melihat sosok Fia, Sasa akan membuka mulut dan menjerit dengan histeris tapi semua itu tak jadi saat melihat peringatan dari sorot mata Yuan. Dengan rapat Sasa menutup mulutnya dengan mata menatap sosok Fia dengan penuh binar.Fia mulai berjalan mendekat ke arah berangka Fiko, sesampainya di sana Fia diam sejenak sambil menatap sosok Fiko dengan sorot mata sulit di artikan.‘Lagi-lagi, perasaan ini datang. Gue mohon semoga ini terakhir kalinya gue ngerasa kehadiran kak Fia ada di sini’ batin Fiko dengan perasaan sedih. Dia mengira bahwa perasaannya saat ini hanya haluan semata, karena sudah beberapa kali dia merasa bahwa sosok kakaknya ada di dekatnya tapi ternyata tak ada sosok yang dia cari.Fiko menunduk dengan raut wajah sedih hingga usapan lembut di kepalanya
Saat ini Fia sedang duduk dengan tenang di sofa ruang inap Fiko. Tadi siang Fiko menjelaskan bahwa kedua orang tuanya setiap pagi ke rumah sakit dan menemani Fiko setelahnya pergi kerja. Sedangkan Bundanya harus banyak-banyak istirahat karena kondisi tubuhnya yang masih lemah.Fia sendiri juga belum melihat sosok orang tuanya, saat ingin pulang Fiko selalu meminta untuk Fia kembali menetap lebih lama dengan alasan dia tak ada yang menemani.Fia menatap sosok adiknya yang sedang tertidur di atas berangka, ada senyum manis yang terpatri di bibirnya saat melihat wajah tenang adiknya.Yuan pamit pulang setelah Alvin dan Sasa pulang. Lagi pula Fia juga tak memiliki alasan untuk tetap menahan Yuan menemaninya di sini.Mereka juga harus mempersiapkan semuanya, untuk dua hari lagi.Dengan perlahan Fia mulai memejamkan matanya dengan posisi duduk. Perlahan Fia mulai menyelami alam bawah sadarnya.Di celah-celah jendela, tanpa di sadari ada mata yang mengintip ke dalam ruangan.‘Ketemu’ ucap so
Fia bangun dari tidurnya dengan perasaan yang sulit di artikan. Ada rasa senang, sedih dan cemas dalam waktu bersamaan.“Apa tadi?” batin Fia dengan raut wajah yang masih belum percaya.Fia diam beberapa saat untuk memikirkan kejadian yang menimpanya tadi. Hingga suara benda jatuh membuyarkan pikirannya. Suara itu berasal dari luar ruang inap Fiko.Fia melihat jam yang ada di ruangan itu dan ternyata sekarang sudah jam 00.05. Saat melihat pukul berapa sekarang hanya ada raut wajah tanpa emosi di wajah Fia.Tanpa mengintip pun dia sudah tau, apa yang menyebabkan suara itu. Yah, tentu saja ‘mereka’ siapa lagi memang.Dengan tenang Fia masih duduk di tempatnya, matanya fokus ke arah tempat tidur Fiko.Hingga suara-suara dari luar pintu mengganggunya. Mulai dari suara roda yang beradu dengan lantai, suara decitan kursi bahkan ada yang berani mengetuk pintu ruang inap Fiko.Bukan Fia namanya kalau tidak cuek, dengan rasa tak pedulinya dia menatap ke arah pintu. Di sana, dapat dia lihat b
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu