Fia bangun dari tidurnya dengan perasaan yang sulit di artikan. Ada rasa senang, sedih dan cemas dalam waktu bersamaan.“Apa tadi?” batin Fia dengan raut wajah yang masih belum percaya.Fia diam beberapa saat untuk memikirkan kejadian yang menimpanya tadi. Hingga suara benda jatuh membuyarkan pikirannya. Suara itu berasal dari luar ruang inap Fiko.Fia melihat jam yang ada di ruangan itu dan ternyata sekarang sudah jam 00.05. Saat melihat pukul berapa sekarang hanya ada raut wajah tanpa emosi di wajah Fia.Tanpa mengintip pun dia sudah tau, apa yang menyebabkan suara itu. Yah, tentu saja ‘mereka’ siapa lagi memang.Dengan tenang Fia masih duduk di tempatnya, matanya fokus ke arah tempat tidur Fiko.Hingga suara-suara dari luar pintu mengganggunya. Mulai dari suara roda yang beradu dengan lantai, suara decitan kursi bahkan ada yang berani mengetuk pintu ruang inap Fiko.Bukan Fia namanya kalau tidak cuek, dengan rasa tak pedulinya dia menatap ke arah pintu. Di sana, dapat dia lihat b
Fia masih menunggu di dalam lift hingga sampailah dia di lantai lima. Pintu lift mulai terbuka dan terpampanglah seorang perawat dengan pasien di kursi roda. Perawat itu mulai mendorong kursi roda tadi memasuki lift. Fia hanya menatap mereka tanpa minat dan raut wajah yang masih setia datar. Tapi ada secercah rasa penasaran saat melihat kedua orang di sampingnya ini.Mereka berdua sama-sama menundukkan kepala, bahkan helaian rambut menutup wajah sang perawat, padahal setahunya perawat di sini semua rambutnya di gulung tak ada yang tergerai.Tak ingin berpikir terlalu lama Fia hanya mengangkat bahunya dan kembali sibuk dengan pikirannya sendiri.Matanya menelisik ke sepenjuru lift untuk menghilangkah rasa bosannya dan tanpa sengaja matanya tertuju ke arah kaca yang ada di dalam lift. Di kaca itu hanya menampilkan sosoknya, tak ada kedua sosok di sampingnya, dan jangan lupakan ada sebuah kursi roda, selang infus dan botol air PO yang melayang-layang.Dengan datar Fia menatap kedua sosok
Pagi harinya Fia sudah segar dengan pakaian barunya. Semalam Ridwan bukan hanya membawakan buku untuknya tapi juga beberapa pasang baju untuk dia pakai.Dengan wajah segar, Fia berjalan ke arah sofa di pojok ruangan. Dia berniat melanjutkan acara bacanya yang sempat tertunda karena harus bersih-bersih.Dengan raut wajah serius dan konsentrasi penuh Fia membaca kata demi kata yang ada di setiap lembar kertas di depannya. Kalau ada beberapa hal yang penting maka dia akan mencatatnya di buku note. Agar jika dia lupa tak perlu membaca berpuluh-puluh lembar kertas, cukup membuka di buku note yang sudah dia sesuaikan dengan pembatas buku.Baru beberapa saat dia membaca buku, suara derit ranjang rumah sakit membuyarkan konsentrasinya. Di atas berangka ada sosok Fiko yang mulai terbangun. Dengan senyum cerah Fia menatap ke sosok adiknya dan tanpa suara dia mulai berjalan mendekat ke arah Fiko, meninggalkan tumpukan buku di atas meja.“Nyenyak?” tanya Fia sambil mengelus rambut Fiko dengan say
Tadi pagi waktu kebersamaan mereka di habis dengan canda tawa. Fia yang terkadang menggoda Fiko dan Fiko akan mengadu ke Bundanya.Tapi kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama, karena suara dering telepon sang ayah mengganggu mereka. Ayahnya mendapatkan panggilan dari kantor. Dengan buru-buru sang Ayah keluar dari ruang inap Fiko, dengan Bundanya menyusul langkah sang suami.Mereka meninggalkan kedua anaknya dengan perasaan sedikit kecewa. Apalagi Fiko, wajahnya langsung sedih dan lesu.Tak lama dering ponsel Fia membuyarkan lamunan mereka dan di layar itu tertera nama sang Bunda. Setelah mengangkat panggilan itu sang Bunda menjelaskan kalau Ayah mereka mendapat panggilan dari kantor dan kantor Ayahnya belakangan ini mengalami penurunan yang mengharuskan sang Ayah memberikan bayak waktu untuk pekerjaannya, bahkan sang Bunda terkadang membantu menyelesaikan masalah di kantor.Fia dan Fiko yang mendengar penjelasan sang Bunda mulai paham dan menerima penjelasan sang Bunda dengan lapang
Malam harinya, Fia duduk termenung di ayunan taman belakang rumahnya. Dia sedang memikirkan kondisi adiknya. Dalam benaknya bertanya, apakah adiknya bisa melihat kembali seperti semula? Apakah sosok adiknya bisa kembali pulih?.Dengan nafas gusar Fia menutup matanya, ingin rasanya dia memberikan mata ini untuk sang adik. Jika kalau dia tak ingat tentang ucapan kedua orang tuanya mungkin dia sudah melakukannya.Orang tuanya bilang ‘Kamu masih mempunyai banyak hal yang harus di selesaikan, tanggung jawabmu bukan hanya Fiko. Pikirkan lagi tentang keputusanmu itu Fia’ kurang lebih seperti itu.Selain itu, dia juga memikirkan apa yang terjadi di hari itu, apakah dia akan menang atau kalah.Fia menatap ke atas dengan raut wajah gusar. Di sana, terdapat pemandangan yang cukup tak asing. Awan gelap dengan beberapa butir bintang, terkadang juga terlihat banyak dan jangan lupa bulan sabit yang terlihat sangat indah dan menawan.Fia masih memerhatikan langit malam hingga dia merasakan seseorang
“Kak” panggil Fiko membuat pikiran Fia buyar dalam sekejap.Dengan perlahan Fia menatap ke arah sosok adiknya. Senyum getir terpatri di bibirnya saat melihat bagaimana sosok itu berjalan mencarinya. Tangan itu yang meraba-raba di sekelilingnya dan kaki yang dengan ragu melangkah ke arah depan.Tanpa Fia sadari air matanya mulai menetes melewati pelupuk matanya tanpa permisi. Matanya menelisik sosok di depannya dengan raut wajah sulit.Mata Fia sedikit membola saat melihat ke mana arah tujuan sang adik. Dengan kasar dia berlari ke arah Fiko sebelum sosok itu tercebur ke kolam ikan yang tak jauh darinya. Saat Fia akan menarik adiknya untuk menjauh, kejadian tak terduga malah menimpa mereka. Kakinya tersandung saat memegang tangan sang adik, membuat mereka berdua tercebur ke dalam kolam bersama.Fiko yang merasakan sakit dan tak tahu apa-apa hanya dia dengan raut wajah cengoh. Sedangkan Fia meraup wajahnya yang basah dan menatap tak percaya ke arah depan. Dalam benaknya dia merutuki kaki
Saat ini Fia tidur di dalam kamar adiknya, tentu saja atas keinginan sang adik. Dia tidur di samping Fiko, dengan tangan memberikan usapan lembut di kepala adiknya.Matanya menatap ke wajah Fiko dengan raut wajah kosong, dirinya juga tak merasakan kantuk. Mungkin karena ramainya pikiran dia saat ini.Usapan di rambut Fiko terhenti dan tangan Fia berpindah di bentuk wajah Fiko. Tanpa sadar, senyum kecil hadir di bibirnya.‘Gue berharap lu cepet sembuh dek’ batin Fia sambil menyentuh mata Fiko pelan dan memberi sebuah usapan kecil di kelopak mata Fiko.“Kak” panggil Fiko saat merasakan jari-jemari Fia mengelus lembut kelopak matanya.Dia memang belum tidur sendari tadi, seperti kakaknya, dia juga banyak pikiran yang menghantui otaknya. Saking banyaknya, dia sampai bingung sendiri sedang memikirkan apa.“Belum tidur?” tanya Fia sambil menjauhkan tangannya dari kelopak mata Fiko.“Gak bisa tidur” ucap Fiko apa adanya.“Apa perlu gue baca ‘in dongeng sebelum tidur?” ucap Fia dengan nada su
Hari yang di tunggu pun telah datang. Pagi ini Fia sudah menyiapkan semuanya di dalam tas punggungnya. Hanya menunggu hari menjelang malam dan dia sudah siap untuk berangkat.“Kak” panggil Bunda Fia dari pintu kamar.“Iya Bunda?” balas Fia sambil menengok ke arah Bundanya.“Makan dulu” ujar sang Bunda dan berjalan ke arah putrinya dengan senyum kecil.“Fiko udah turun?” tanya Fia sambil menatap sosok Bundanya.“Udah di meja makan sama Ayah” balas sang Bunda dan mengelus rambut Fia dengan sayang.“Ya udah, ayo” balas Fia dan tersenyum ke arah Bundanya. Dengan lembut Fia menarik tangan sang Ibunda menuju ke lantai bawah.Bunda Fia hanya bisa mengikuti langkah Fia dengan senyum kecil. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sang anak.“Pagi semua” ucap Fia dengan senyum manisnya.“Pagi” balas Ayah Fia sambil menatap sang putri dengan senyum kecil.“Pagi kak” balas Fiko yang masih menatap ke depan dengan sorot mata kosong.“Adiknya kakak udah mandi nih ye..” goda Fia sambil me
Sudah satu minggu setelah kejadian itu, dan Fia sudah tak sesedih kemarin dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yara.Dia juga sesekali mampir ke rumah Yara untuk menjenguk mama Yara atau di ajak adik Yara untuk mampir ke rumah. Dengan senang hati Fia menerima ajakan adik Yara.Satu yang membuatnya heran, kenapa orang tua Sasa tak pernah sekali pun mencari keberadaan sang anak yang hilang bagaikan tertelan bumi? Dan ternyata Fia mendapat satu fakta yang tak terduga, Sasa adalah anak dari papanya dengan selingkuhannya, sebab itu mereka tak peduli dengan sosok Sasa, bahkan saat ini orang tua Sasa sedang menyiapkan sidang penceraian mereka.Fia yang mendengar cerita itu hanya memasang raut wajah sedih dan prihatin.Tapi, walau orang tua tak mencarinya, masih ada Alvin yang menanyai keadaan Sasa dan menanyakan kondisi Sasa kepada Fia. Seperti menanyakan ‘Sasa di mana ya? Bagaimana kondisinya? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar?’ dan di jawab Fia dan Yuan dengan mengangkat b
Yuan yang melihat tingkah lucu Fia hanya memasang raut wajah gemas dan senyum geli.“Ayo” ucap Yuan sambil menatap Fia dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.“Iya” balas Fia dengan lesu dan dengan malas Fia membuka pintu mobil. Fia keluar dan di sambut oleh Yuan dengan senyum kecil.Yuan memegang tangan Fia dengan lembut dan membawanya ke arah pintu rumah. Mereka memasuki rumah Fia dengan kerutan di dahinya.Bagaimana tidak, di depan mereka sudah berkumpul keluarga Fia. Fia yang melihat keluarganya yang sedang canda tawa hanya memasang raut wajah datar dan sorot mata ke tidak sukaan.Yuan yang tahu akan pikiran Fia hanya bisa menguatkan pegangannya di tangan Fia dan memberi usapan kecil di punggung tangannya.“Fia, sini sayang” ucap salah satu bibinya dengan senyum mengembang indah.Fia yang mendengar panggilan dari sang bibi hanya diam membisu dan masih di tempatnya dengan raut wajah datar.“Fia?” kata sang bibinya lagi dengan kerutan di dahinya.“Ada apa ini?” tanya Fia den
Pemakaman Yara berjalan dengan sangat hikmat, banyak orang yang meneteskan air mata saat melihat peti Yara memasuki lian lahat.Fia mengikuti acara pemakaman dengan raut wajah datar dan sorot mata kesedihan. Dia berada di samping mama Yara. Mama Yara yang memintanya untuk di sampingnya dan Fia hanya menurut tak bisa membantah. Dengan langkah pelan keluarga Yara mulai menjauh dari mekan Yara. Mama Yara sudah mengajak Fia untuk pulang tapi Fia menolaknya, dia ingin menetap di sini untuk beberapa saat.Fia menatap ke arah gundukan tanah di depannya dengan sorot mata kepedihan. Dia masih merasa bersalah dengan Yara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok Disa yang menatap ke arah gundukan di depannya dengan air mata yang masih mengalir.Fia menatap ke arah Disa dengan senyum kecil dan berjalan ke arah Disa dengan perlahan.“Ayo” ajak Fia sambil memegang pundak Disa dengan senyum kecil di bibirnya.Disa menatap ke arah Fia sebentar dan kembali menatap ke gundukan tanah tadi setelahnya
Hari pemakaman Yara, Fia datang dengan Yuan di sampingnya. Dia sudah membulatkan tekatnya, entah di terima atau tidak kehadirannya di sana. Niatnya untuk mengantarkan Yara ke peristirahatan terakhirnya, sebagai bentuk terima kasih dan penyesalan.Fia berjalan memasuki ambang pintu rumah Yara, saat dia masuk matanya sudah melihat banyak orang di sana dan tak lupa peti jenazah Yara yang di kelilingi oleh keluarganya. Sanak saudara berhilir mudik dan bergantian melihat wajah Yara untuk terakhir kalinya. Sosok Yara terlihat sangan memukau di hari terakhirnya sebelum di kebumikan.Fia mulai berjalan memasuki rumah Yara dengan Yuan di belakangnya. Mereka berdua memakai baju berwarna hitam polos tanpa ada corak seperti yang lainnya.Saat Fia memasuki rumah Yara, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya tapi tak dia anggap.Dengan langkah pelan, Fia mendekat ke arah peti Yara, saat langkah kakinya semakin dekat dengan peti Yara berada tiba-tiba langkahnya terhenti saat sosok mama Yara
“Semua ini di sebabkan oleh saya” ucap Fia setelah menguatkan dirinya untuk jujur.Saat mendengar perkataan Fia barusan, membuat pandangan mama Yara langsung tertuju ke arah Fia.“Apa maksudmu?” tanya Mama Yara dengan sorot mata tak bersahabat.“Yara meninggal karena saya, dia mengorbankan nyawanya untuk saya,” ucap Fia terhenti sejenak untuk mengambil nafasnya karena dadanya terasa sesak.“Dia melindungi saya dari tusukan yang seharusnya saya terima, seharusnya saya yang berada di posisi Yara” ucap Fia dengan tertunduk dalam.Mama Yara yang mendengar perkataan Fia hatinya merasa marah, bahkan tangannya terkepal sangat erat. Dengan langkah cepat dia berjalan ke arah Fia dan menamparkan begitu keras untuk melampiaskan kemarahannya.Plak!Sang suami yang melihat tingkah sang istri merasa sedikit terkejut dan mencerna semua kejadian tadi, ucapan Fia tadi kembali mengulang di otaknya.“Pembawa sial!” ucap Mama Yara di depan wajah Fia.“Mah!” ucap sang suami saat sadar akan keterkejutannya
Lama Fia dan Yuan berpelukan hingga Fia melepaskan pelukan itu, dengan raut wajah sembab Fia menatap Yuan.“Makasih” gumam Fia dengan senyum tulus.“Hm” balas Yuan sambil mengelus rambut Fia dengan senyum simpul.“Ayo” ajak Yuan sambil menggenggam tangan Fia dan menuntunnya masuk ke dalam ruangan tadi.Di dalam ruangan ada sosok Disa yang menangis sesegukan sambil menatap sosok Yara yang terbaring kaku di depannya.Fia berjalan mendekat ke arah Yara dan menggenggam tangannya pelan.“Maaf” ucap Yara dengan lirih dan sorot mata sedih.‘Maaf, semua ini gara-gara gue Yar. Andai dulu lu gak deket sama gue, andai lu gak ngelindungi gue pasti lu masih ada di sini’ batin Fia dengan senyum getir.“Gue bener-bener minta maaf” ucap Fia penuh sesal.Suara hening mulai mengisi ruangan tadi, Disa yang menangis dalam diam sedangkan Yuan dan Fia menatap ke sosok Yara dengan raut wajah sedih.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan tadi. Dengan refleks mereka melihat ke sumber suara, d
Mereka masih di posisinya, dengan pemikiran masing-masing. Sedangkan Ridwan sedikit menjauh untuk memberi kabar orang tua Yara akan kondisi anaknya. Setelah memberi kabar orang tua Yara , Ridwan mulai memberi kabar keluarganya tentang keberhasilan Fia. Kabar yang di beri tahukan Ridwan membawa kebahagiaan di keluarganya.Beberapa menit kemudian pintu UGD mulai terbuka, terlihat sosok berjas putih keluar dari ruangan dengan raut wajah penuh penyesalan.“Bagaimana keadaan teman saya dok?” tanya Disa sambil berjalan mendekat ke arah sang dokter. Dalam diam Fia berjalan mengikuti langkah Disa.“Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik. Maaf, Tuhan berkehendak lain, teman adik dinyatakan meninggal karena telat akan penanganan yang seharusnya dia terima. Teman adik terlalu banyak kehilangan darah” ucap sang dokter dengan raut wajah lesu, karena pasiennya gagal untuk dia selamatkan.“Gak, dokter pasti salah” ucap Disa dengan raut wajah tak percaya dan memu
Fia mulai membuka matanya dan menatap ke arah Disa dengan raut wajah serius.“Dis” panggil Fia tanpa emosi.“Iya?” balas Disa dengan raut wajah heran.“Pegang batu ini dan baca mantra yang tertulis di sini” ucap Fia sambil menatap ke arah Disa dengan raut wajah masih sama.“Kenapa?” tanya Disa dengan raut wajah heran.“Ini kunci keluar dari sini” balas Fia apa adanya.“Oke” balas Disa dan mulai berjalan mendekat ke arah Fia. Tanpa membutuhkan waktu lama Disa mulai membaca mantra yang ada di batu tadi. Mantra tadi tertulis dengan aksara Jawa, dan entah kenapa Disa dengan lancar mengucapkannya, setiap kata terdengar sangat jelas.Tak lama cahaya di batu tadi semakin terang, cahaya yang tadinya putih berubah menjadi abu-abu. Tak lupa ada juga beberapa kunang-kunang yang hadir mengelilingi mereka.Fia yang melihat pemandangan di depannya sedikit menatap dengan sorot mata memuja. Tak lama, cahaya tadi mulai redup dan mereka sudah berada di luar gerbang sekolah.“Kondisinya semakin memburuk
Fia yang mendengar jeritan Sasa hanya menatapnya dengan raut wajah tanpa emosi.“Fia tolongin gue” ucap Sasa dengan raut wajah memohon ke arah Fia.“Gue gak bisa” balas Fia dengan acuh tak acuh.“Gue minta maaf, gue ngaku gue salah. Gue mohon bantu gue, lepasin gue dari rantai ini” ucap Sasa dengan air mata yang menetes melewati pipinya.“Gue gak bisa, itu bukan kemampuan gue” balas Fia apa adanya.Tak lama dari itu Fia mulai mendengar jeritan tak jauh darinya.“Yara!” ucap Disa saat baru saja bangun dari pingsannya, dan saat dia membuka mata pandangan pertamanya adalah sosok Yara dengan darah di tubuhnya. Dengan raut wajah panik Disa menatap ke arah Yara.“Yar, aku minta maaf jangan kayak gini” ucap Disa sambil menepuk pipi Yara beberapa kali.“Dia akan mati kalau gak ambil tindakan dengan cepat” ucap Fia dengan raut wajah tanpa emosi.“Yuan, boleh minta tolong? Tolong gendong Yara, karena gak mungkin kalau gue atau Disa yang gendong” ucap Fia sambil menatap ke arah Yuan dan di anggu