Ziang Chen menatap ponselnya dalam diam. Pria paruh baya itu sedang berpikir mencari alasan mengapa Su Liang hanya mengirimkan pesan dua kata untuknya. Ia kemudian menuju sedan hitamnya.Sesaat setelah ia menghidupkan mesin, ponselnya berdering. Nama Wu Xia muncul di layar. Dengan segera ia menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan itu.[Dimana kau sekarang?]“Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah utama.” Ziang Chen menghubungkan panggilan itu melalui handsfree sehingga ia bisa melanjutkan perjalanan. “Su Liang memanggilku. Ada apa?” tanyanya lagi.[Lelaki tua itu juga menyuruhku pulang.]Ucapan Wu Xia membuat Ziang Chen terkejut hingga menginjak remnya tiba-tiba. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukanlah sesuatu hal yang baik sejak ia menerima pesan singkat tersebut. “Apakah kita ketahuan?” tanyanya.Ziang Chen sudah memperhitungkan langkah-langkah yang akan dia ambil saat dirinya ketahuan oleh Su Liang, hanya saja ia tidak menyangka jika mereka akan ketahuan secepat i
“Apakah semua rekaman yang kau berikan padaku ini adalah hasil manipulasimu?”“Wei Fang, bisa kau jelaskan apa yang dimaksud oleh wanita ini?” ujar Wu Xia sambil menunjuk ke arah Su Li.Su Li hanya melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh saudara tirinya tersebut.Semua perhatian menuju Wei Fang yang menegapkan tubuhnya. “Aku tidak paham dengan apa yang kau ucapkan. Namun, aku bisa menjamin bahwa tidak ada yang berubah. Rekaman itu begitu adanya,” ucap gadis itu kemudian berjalan menuju sofa.Wu Xia terkejut dengan perkataan Wei Fang. “Apa yang kau maksud, Wei Fang? Apakah kau yang mengirimkan rekaman itu?”“Jika Ibu tidak mengusik Shen Juan, maka aku tidak akan mengusik Ibu. Sayangnya, kalian pun membunuh Shen Juan,” jawab Wei Fang dengan dingin. Tatapan dingin yang membuat Su Li sedikit bergidik. Ia memang tidak mengerti apa hubungan Wei Fang dengan Shen Juan, tetapi yang dapat ia mengerti adalah bahwa Wu Xia telah melakukan sebuah kesalahan besar
“Kau gugup?”Ziang Wu memeluk Su Li dari belakang. Sedari bangun tidur tadi pagi, sang Istri terlihat gelisah. Su Li menyesap cokelat panasnya dalam diam. Tak dapat dipungkiri ia begitu gugup. Hari ini adalah penentuan dari segala usahanya.“Aku gugup dan takut,” cicitnya. Dapat ia rasa pelukan Ziang Wu mengerat, sang Suami juga berkali-kali mengecup pucuk kepalanya.“Tidak perlu takut. Ingat, ada aku disini.”Su Li kemudian meletakkan mug cokelat panasnya di atas meja. Wanita itu berbalik, dan menatap sang Suami.“Kau tidak apa?” tanyanya. Salah satu kekhawatirannya adalah keadaan Ziang Wu. Walau Suaminya itu tidak mengatakan ataupun menunjukkannya terang-terangan, Su Li yakin bahwa Ziang Wu pasti merasa sangat khawatir.Ziang Wu menenggelamkan Su Li dalam pelukannya. Kepalanya ia letakkan pada bahu sang Istri. “Bohong jika aku baik-baik saja. Aku takut. Ayah adalah satu-satunya orang tuaku yang tersisa.” Su Li mengelus punggung Ziang Wu. “Namun, apa yang dilakukan Ayah tidak akan pe
Satu tahun kemudian.Udara dingin yang menusuk hingga ke tulang agaknya tidak membuat kerumunan rombongan pelayat mengurungkan niat mereka untuk memadati areal pemakaman umum yang berada di pinggir kota Beijing tersebut. Sebuah mobil sedan hitam terlihat mengisi satu slot parkir bersebelahan dengan sebuah pikap yang terlihat sedikit antik.Seorang gadis yang mengendarai sedan tersebut memarikan mesin. Penghangat berderak halus sebelum mati dan suhuperlahan menjadi turun. Ia tampak mengembuskan napas berkali-kali sebelum memutuskan untuk keluar dari mobil. Asap tipis terlihat setiap kali gadis itu mengembuskan napas. Buket lili putih yang ia siapkan tergenggam erat di tangan kanannya.Walau tidak ada aturan khusus saat mengunjungi pemakaman, tetapi gadis itu dapat melihat barisan orang berbaju hitam dan abu-abu yang mengerucut sudah mulai terbentuk di pintu gerbang makam. Setelah ragu-ragu sejenak, ia kemudian mengambil langkah bergabung dengan ratusan orang lainnya yang memiliki agend
Langit kelabu yang menghiasi kota Beijing sejak pagi hari seperti menggambarkan suasana muram di salah satu rumah duka yang terdapat di rumah sakit kota. Beberapa pelayat terlihat memenuhi ruangan aula yang tidak terlalu besar itu, termasuk Wei Fang dan timnya.Ini bukanlah kali pertama dirinya pergi melayat rekan kerja yang gugur saat menjalankan misi, tetapi ia sama sekali tidak pernah terbiasa dengan perasaan yang menggelitik dadanya. Ada sesak dan perasaan yang sulit digambarkan. Pekerjaan mereka memang memiliki resiko yang besar. Setiap misi yang diemban, pasti memiliki resiko tidak akan kembali.Sekali lagi gadis itu perbaiki blazer hitam yang ia kenakan sebelum memberikan penghormatan kepada keluarga almarhum. Perasaannya semakin berkecamuk melihat keadaan istri Inspektur Chou yang terlihat kepayahan.Lingkaran hitam di bawah maniknya yang sayu cukup menjelaskan bahwa wanita itu kurang beristirahat. Tatapan Wei Fang turun ke perut wanita itu yang membuncit. Gadis itu meremat ku
Beijing, Musim Semi 2001.“Aku sudah katakan tidak akan hadir.”Seorang pemuda yang menggunakan jaket baseball biru donker berjalan cepat menghindari dua orang pemuda lainnya yang mengikutinya seperti anak anjing. Pemuda itu menghentikan langkahnya sehingga kedua pemuda tadi menubruk punggung tegap tersebut. “Park Namjun. Ikutlah dengan kami. Kau tidak pernah hadir diacara keakraban seperti ini.” Salah satu pemuda yang berambut cepak itu mendekatkan wajahnya ke telinga pemuda yang ia panggil Park Namjun tadi. “Ketua tim bilang kita akan kedatangan anggota baru. Seorang gadis,” bisiknya dengan menekankan kata gadis. “Jangan merayuku dengan kata-kata tidak masuk akal itu. Sejak kapan Ketua Tim mau memasukkan seorang gadis ke tim kita?” Namjun melipat kedua tangannya sambil menatap kedua temannya dengan tatapan sangsi.“Benar. Aku mendengarnya tadi pagi ketika Ketua Tim menghadap Kapten.” Seorang pemuda lain yang memakai jaket kulit hitam ikut meyakinkan Namjun. “Shen Juan, Lu Hao. Ka
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem