Su Li mengerjapkan matanya. Kali pertama yang ia lihat adalah wajah tertidur suaminya. Walau terpejam, Su Li dapat melihat begitu jelas mata Ziang Wu yang bengkak. Sampai pemuda itu tertidur dalam pelukannya, ia sama sekali tidak bersuara. Hanya isak tangis yang mengantarnya hingga terlelap.Su Li memainkan telunjuknya pada rambut sang Suami yang terlihat lebih panjang dari terakhir kali ia memperhatikan. Pucuk hidung Ziang Wu memerah. Su Li yakin, suaminya itu pasti akan pilek, karena Ziang Wu memiliki rhinitis yang membuatnya mudah sekali pilek ketika terjadi peradangan pada saluran pernapasannya. Setelah menangis selama berjam-jam, sudah pasti hidung dan juga tenggorokkan suaminya itu akan meradang.“Apa yang membuatmu sampai menangis tersedu seperti itu?” gumam Su Li. Setelah menyadari hampir waktu untuk berangkat kerja, Su Li beranjak dari tempat tidur dengan perlahan. Ia tidak mau mengusik tidur Ziang Wu.***“Apakah ada jadwal pertemuan selanjutnya?”Nona Lin menggeleng dan mem
“Jadi, ada apa Nyonya menghubungiku?”Su Li dan Nona Lin sedang berada di sebuah kafe yang tidak jauh dari Park Hyatt Tower. Ia sedang menunggu pesan dari Ziang Wu yang sedang bersama Ayah mertuanya. Tadi ia meminta Nona Lin untuk menjemputnya dan mengelabui semua orang. Seakan dirinya mempunyai pekerjaan yang mendesak. Selain karena rencananya dengan Ziang Wu, Su Li juga sampai di batas kesabaran untuk bersama dengan para pembunuh sang Ibu.Jika saja telepon masuk dari Nona Lin terlambat sedikit saja, bisa dipastikan rencana mereka malam ini gagal karena dirinya tersulut emosi.“Aku hanya perlu kau mengeluarkanku dari situasi yang mendesak. Terima kasih Nona Lin,” ucap Su Li kemudian menyesap ice Americano miliknya.“Sudah seharusnya menjadi tugas saya untuk selalu memenuhi panggilan anda, Nyonya.”Diam-diam Su Li meneliti ekspresi wajah dari gadis yang berada di hadapannya saat ini. Ia sedang menimbang apakah memutuskan untuk mempercayai Nona Lin atau tidak. Sejauh ini ia belum mene
Langit Beijing masih gelap dengan sedikit kabut tipis. Sebagian besar penghuni kompleks apartemen itu pun masih terlelap. Tidak ada pergerakan selain dua bayangan hitam yang terlihat mengendap-endap keluar dari salah satu gedung. Dua bayangan itu kemudian menyelinap memasuki sebuah mobil.“Untung saja mereka masih memiliki akal sehat untuk tidur di dalam kamar,” ucap Su Li setelah keduanya berhasil masuk ke dalam mobil. Napasnya naik turun, tak jauh berbeda dengan Ziang Wu.“Kenapa kita harus sembunyi-sembunyi?”Ziang Wu terkejut kala Su Li membangunkan dirinya, padahal ia baru saja terlelap. Terlebih lagi, sang Istri mengajaknya bergerak dengan mengendap-endap seperti pencuri.“Ayahmu tidak tahu kalau aku datang. Bukankah kau mengatakan bahwa kita bertengkar?”Pemuda itu mengangguk setuju dengan alasan masuk akal Su Li. “Apakah Wu Xia juga melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan?”Su Li mengangkat bahunya. Ia tidak mau ambil pusing, tujuannya hanyalah untuk mendapatkan bukt
Su Li sekali lagi memastikan semua hal yang ingin ia berikan pada sang Ayah sudah lengkap. “Tidak ada yang tertinggal, bukan?”Ziang Wu tersenyum tipis saat melihat tingkah sang Istri yang terlihat gugup. Beberapa kali, wanita itu menggumamkan kata yang sama. “Sayang, lihat aku.”Su Li kemudian menatap Ziang Wu yang sudah menggenggam kedua tangannya.“Tarik napasmu, kemudian embuskan. Jangan gugup, kita pasti akan bisa menyelesaikan ini.”Wanita itu menuruti apa yang dikatakan sang Suami dengan patuh. Saat ia memejamkan matanya, ia dapat merasakan bibir tipis Ziang Wu menyapa dahinya. Satu kecupan beberapa detik itu berhasil membuatnya sedikit tenang.“Apapun yang Ayah katakan, jangan lupa bahwa aku akan selalu bersamamu.”Su Li mengangguk, kemudian mengecup pipi Ziang Wu. “Terima kasih, Sayang.”Serangan tiba-tiba dari Su Li membuat Ziang Wu menahan pergerakan sang Istri yang ingin keluar dari mobil.“Aku juga perlu amunisi sebelum berperang,” ucapnya sebelum mempertemukan bibir mere
Ziang Chen menatap ponselnya dalam diam. Pria paruh baya itu sedang berpikir mencari alasan mengapa Su Liang hanya mengirimkan pesan dua kata untuknya. Ia kemudian menuju sedan hitamnya.Sesaat setelah ia menghidupkan mesin, ponselnya berdering. Nama Wu Xia muncul di layar. Dengan segera ia menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan itu.[Dimana kau sekarang?]“Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah utama.” Ziang Chen menghubungkan panggilan itu melalui handsfree sehingga ia bisa melanjutkan perjalanan. “Su Liang memanggilku. Ada apa?” tanyanya lagi.[Lelaki tua itu juga menyuruhku pulang.]Ucapan Wu Xia membuat Ziang Chen terkejut hingga menginjak remnya tiba-tiba. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukanlah sesuatu hal yang baik sejak ia menerima pesan singkat tersebut. “Apakah kita ketahuan?” tanyanya.Ziang Chen sudah memperhitungkan langkah-langkah yang akan dia ambil saat dirinya ketahuan oleh Su Liang, hanya saja ia tidak menyangka jika mereka akan ketahuan secepat i
“Apakah semua rekaman yang kau berikan padaku ini adalah hasil manipulasimu?”“Wei Fang, bisa kau jelaskan apa yang dimaksud oleh wanita ini?” ujar Wu Xia sambil menunjuk ke arah Su Li.Su Li hanya melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh saudara tirinya tersebut.Semua perhatian menuju Wei Fang yang menegapkan tubuhnya. “Aku tidak paham dengan apa yang kau ucapkan. Namun, aku bisa menjamin bahwa tidak ada yang berubah. Rekaman itu begitu adanya,” ucap gadis itu kemudian berjalan menuju sofa.Wu Xia terkejut dengan perkataan Wei Fang. “Apa yang kau maksud, Wei Fang? Apakah kau yang mengirimkan rekaman itu?”“Jika Ibu tidak mengusik Shen Juan, maka aku tidak akan mengusik Ibu. Sayangnya, kalian pun membunuh Shen Juan,” jawab Wei Fang dengan dingin. Tatapan dingin yang membuat Su Li sedikit bergidik. Ia memang tidak mengerti apa hubungan Wei Fang dengan Shen Juan, tetapi yang dapat ia mengerti adalah bahwa Wu Xia telah melakukan sebuah kesalahan besar
“Kau gugup?”Ziang Wu memeluk Su Li dari belakang. Sedari bangun tidur tadi pagi, sang Istri terlihat gelisah. Su Li menyesap cokelat panasnya dalam diam. Tak dapat dipungkiri ia begitu gugup. Hari ini adalah penentuan dari segala usahanya.“Aku gugup dan takut,” cicitnya. Dapat ia rasa pelukan Ziang Wu mengerat, sang Suami juga berkali-kali mengecup pucuk kepalanya.“Tidak perlu takut. Ingat, ada aku disini.”Su Li kemudian meletakkan mug cokelat panasnya di atas meja. Wanita itu berbalik, dan menatap sang Suami.“Kau tidak apa?” tanyanya. Salah satu kekhawatirannya adalah keadaan Ziang Wu. Walau Suaminya itu tidak mengatakan ataupun menunjukkannya terang-terangan, Su Li yakin bahwa Ziang Wu pasti merasa sangat khawatir.Ziang Wu menenggelamkan Su Li dalam pelukannya. Kepalanya ia letakkan pada bahu sang Istri. “Bohong jika aku baik-baik saja. Aku takut. Ayah adalah satu-satunya orang tuaku yang tersisa.” Su Li mengelus punggung Ziang Wu. “Namun, apa yang dilakukan Ayah tidak akan pe
Satu tahun kemudian.Udara dingin yang menusuk hingga ke tulang agaknya tidak membuat kerumunan rombongan pelayat mengurungkan niat mereka untuk memadati areal pemakaman umum yang berada di pinggir kota Beijing tersebut. Sebuah mobil sedan hitam terlihat mengisi satu slot parkir bersebelahan dengan sebuah pikap yang terlihat sedikit antik.Seorang gadis yang mengendarai sedan tersebut memarikan mesin. Penghangat berderak halus sebelum mati dan suhuperlahan menjadi turun. Ia tampak mengembuskan napas berkali-kali sebelum memutuskan untuk keluar dari mobil. Asap tipis terlihat setiap kali gadis itu mengembuskan napas. Buket lili putih yang ia siapkan tergenggam erat di tangan kanannya.Walau tidak ada aturan khusus saat mengunjungi pemakaman, tetapi gadis itu dapat melihat barisan orang berbaju hitam dan abu-abu yang mengerucut sudah mulai terbentuk di pintu gerbang makam. Setelah ragu-ragu sejenak, ia kemudian mengambil langkah bergabung dengan ratusan orang lainnya yang memiliki agend
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua